| 0 Comments | 122 Views
Penjelasan ini disadur dari kitab al-Wāfi fī Syarhi asy-Syāthibīyyah karya Syaikh Abdul Fattah al-Qadhi
Makna dan Lafaz Istiʿādzah
Istiʿādzah adalah memohon perlindungan dari kejahatan dengan pemeliharaan dan penjagaan dari Allah. Yang dimaksud di sini adalah isti‘ādzah sebelum membaca Al-Qur’an menurut pendapat para ulama qirāʾat. Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tentang redaksinya, istiʿādzah pada dasarnya adalah ungkapan yang memiliki makna; “Ya Allah, lindungilah aku dari segala malapetaka dan kejahatan.” Para ulama berijmaʿ bahwa istiʿādzah bukan bagian dari Al-Qur’an. Penjelasan tentang istiʿādzah disebutkan oleh Imam asy-Syāthibī di bait 95-99. Berikut penjelasannya.
95 - إذا ما أردت الدّهر تقرأ فاستعذ ... جهارا من الشّيطان بالله مسجلا
Apabila engkau ingin membaca Al-Qur’an di waktu kapanpun maka ucapkanlah isti'adzah - Dengan jahr memohon terhindar dari syaitan kepada Allah Ta’ala secara mutlak.
96 - على ما أتى في النّحل يسرا وإن تزد ... لربّك تنزيها فلست مجهّلا
Sebagaimana terdapat di Surah An-Nahl karena perkara ini mudah, dan jika engkau menambahkan- (lafaznya) karena maksud mensucikan (Allah Ta’ala) bukan karena engkau orang yang jahil
Penjelasan bait 95-96:
Jika engkau berniat membaca Al-Qur’an pada waktu apa pun, oleh qāri’ mana pun, dari bagian Al-Qur’an mana pun —baik di awal surah maupun di tengah-tengahnya— maka ucapkanlah isti‘ādzah di awal bacaannya dengan suara keras yang jelas, sesuai lafaz yang terdapat dalam surah An-Nahl sebab lafaz itu sangat mudah diucapkan, ringan di lidah karena huruf dan kalimatnya tidak begitu banyak. Bacaan tersebut adalah: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ, tanpa menambah sesuatu pun pada lafaz ini.
Namun jika engkau ingin menambah kata atau frasa lainnya dengan maksud mengagungkan Aḷḷāh dengan sifat-sifat yang layak bagi kesempurnaan dan keagungan-Nya, maka engkau tidak akan dituduh bodoh. Contoh lafaz istiʿādzah dengan tambahan kata dan frasa melebihi lafaz yang disebutkan di atas adalah:
أَعُوذُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Imam asy-Syāthibī menggunakan frasa “إذا ما أردت …” untuk menegaskan bahwa firman Allah:فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآن harus dimaknai sebagai “jika engkau hendak membaca Al-Qur’an”, meskipun yang digunakan adalah kata kerja lampau (fiʿil madhi). Ayat ini menggunakan majāz mursal, yakni menyebutkan akibat, yakni perbuatan membaca, padahal yang dimaksud adalah sebabnya, yaitu niat membaca. Contoh lain majaz ini adalah firman-Nya: إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ yang artinya “jika kalian hendak mengerjakan shalat”, bukan “jika kalian telah selesai shalat.”
97 - وقد ذكروا لفظ الرّسول فلم يزد ... ولو صحّ هذا النّقل لم يبق مجملا
Dan sungguh mereka para ulama menyebutkan lafaz isti’azahnya Rasulullah dan beliau tidak menambahkan (lafaz apapun) - dan seandainya riwayat ini shahih, niscaya ayat tidak lagi bersifat mujmal (samar/global).
Makna bait 97:
Sekelompok qurrā’ dan muhadditsīn menyebutkan cara isti‘ādzah Rasulullah ﷺ, bahwa beliau tidak menambah apa-apa di atas lafaz yang ada dalam surah An-Nahl. Sala satu dari riwayat yang dimaksud menyebutkan bhawa suatu ketika Ibnu Mas‘ūd membaca istiʿādzah di hadapan Rasulullah ﷺ dengan lafaz:
أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيم
Mendengarnya, Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Ibnu Ummi ‘Abd, katakanlah:
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Riwayat lainnya disebutkan oleh Nāfi‘ dari Jubair bin Muth‘im bahwa bacaan istiʿādzah Rasulullah ﷺ adalah,
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Namun kedua hadits ini lemah. Abu Syāmah berkata: “Yang pertama tidak tercantum dalam kitab-kitab hadits, sedangkan yang kedua dikeluarkan Abu Dawud tetapi dengan redaksi yang berbeda.”
Tidak ada dalil yang lebih jelas atas kelemahan kedua hadits ini selain adanya hadits-hadits lain yang lebih shahih dan bertentangan dengannya, di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Sa‘id al-Khudri,
كان رسول الله ﷺ إذا قام من الليل يقول: أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
Dalam Shahih Ibnu Khuzaimah disebutkan, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ وَهَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
Imam asy-Syāthibī sendiri mengisyaratkan kelemahan riwayat-riwayat yang melarang tambahan dalam bait ini:
ولو صحّ هذا النقل لم يبق مجملاً
Maknanya, seandainya riwayat yang melarang tambahan itu shahih, niscaya ayat perintah membaca isitʿādzah tidak lagi mujmal sehingga lafaz istiʿādzah menjadi sebuah lafaz spesifik yang tidak boleh ditambah atau dikurangi. Karena riwayat-riwayat itu lemah dan bertentangan dengan yang lebih shahih, maka perintah istiʿādzah di surah an-Nahl tetap bersifat mujmal, sehingga qāri’ boleh mengurangi lafaz (misalnya hanya mengucapkan أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ) atau menambah (misalnya أَعُوذُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ dsb.). Dalam semua keadaan itu, qāri’ tetap dianggap menjalankan perintah al-Qurʾān untuk membaca istiʿādzah. Namun tetap perlu dicatat bahwa perintah dalam ayat tersebut menurut jumhur ulama salaf dan khalaf adalah untuk anjuran (nadb), bukan wajib.
٩٨ - وفيه مقال في الأصول فروعه ... فلا تعد منها باسقا ومظلّلا
Dan pada pembahasan istiʿādzah ada pendapat (yang berkaitan) ilmu usul dan furu’nya -- maka janganlah engkau melampauinya seperti orang yang meninggalkan pohon yang tinggi (lagi berbuah lebat) dan memberikan naungan.
Penjelasan kosa kata:
(مقال) = mashdar mīmī, maksudnya pembicaraan.
(فروعه) = cabang-cabang.
(باسق) = pohon yang tinggi menjulang.
(مظلّل) = yang memiliki naungan lebat karena banyak daunnya.
Makna bait 98;
Masalah istiʿādzah memiliki pembahasan yang sangat panjang dan bercabang dalam ilmu-ilmu ushūl. Misalnya, di dalam ilmu Ushul Fiqih terdapat pembahasan apakah perintah membaca istiʿādzah pada surah an-Nahl adalah perintah yang sifatnya wajib atau sunnah; apakah lafaznya spesifik (muqayyad) atau global (mujmal)? Sementara di ilmu Ushul Hadits yang dibahas secara lebih detail adalah derajat hadits-hadits yang berkaitan dengan bab istiʿādzah, seputar sanadnya, dan penilaian pada para perawinya.
Di dalam Ilmu Ushul Qirā’āt, seperti yang akan dibahas nanti, topik yang menjadi perhatian adalah apakah istiʿādzah dibaca dengan jahr atau sirr; waqaf atau washāl dengan bacaan sesudahnya. Kata ushūl dalam konteks qirāʾāt juga bisa merujuk kepada kitab-kitab induk disiplin ini seperti al-Kāmil karya Imam al-Hudzalī, al-Idhāh karya Imam al-Ahwazī, dan Jāmiʿal-Bayān karya Imam ad-Dāni.
Imam asy-Syāthibī mengingatkan lewat bagian kedua baitnya agar kita tidak melewatkan pembahasan-pembahasan di ilmu-ilmu ushu tersebut. Juga agar tidak melampaui batas dengan mengikuti atau membuat-buat posisi tanpa dalil dan argumentasi yang bisa diterima. Imam asy-Syāthibī mengumpamakan pembahasan para ulama itu dengan pohon berdaun rindang dan berbuah banyak. Tentu lebih selamat untuk bernaung di bawah pohon itu dibanding pergi mbolang tidak jelas.
Tata Cara Membaca Istiʿādzah: Jahr atau Sirr?
٩٩ - وإخفاؤه فصل أباه وعاتنا ... وكم من فتى كالمهدوي فيه أعملا
Dan menyamarkan bacaan istiʿādzah (dengan suara pelan) ada pembahasan khusus, dan kebanyakan para ulama qirāʾāt tidak menyukai (membaca istiʿadzah dengan suara pelan) -- Akan tetapi betapa banyaknya pemuda seperti “Imam al-Mahdawī” mengamalkannya (yaitu membaca istiʿādzah dengan suara pelan)
Penjelasan Kosa kata dan Kode Qurrāʾ:
الإخفاء : membaca lirih
أبى الشيء : Menghindarinya dan menahan diri dari melakukannya.
الوعاة : Jamak dari wāʿin artinya adalah para ulama qirāʾāt yang teliti.
فصل أباه : fāʾ adalah kode Imam Hamzah, Alif adalah kode Imam Nāfiʿ
Makna Bait 99
Sebagian pensyarah asy-Syāthibīyyah berpendapat bahwa huruf Alif pada kata ʾabāhu adalah simbol untuk Nāfiʿ dan huruf Fāʾ di kata fashlun adalah simbol untuk Hamzah. Berdasarkan kode tersebut, maka bait ini bisa dipahami bahwa Hamzah dan Nafi' melirihkan bacaan istiʿādzah. Di antara yang mengambil pendapat ini untuk Hamzah secara mutlak dalam seluruh al-Qurʾān adalah Imam Abu al-ʿAbbas Ahmad bin ʿAmmar Al-Mahdawī (w. 430) seorang ahli qirāʾāt dan mufassir. Beliau telah mengerahkan pemikirannya dalam meneliti keabsahan, menetapkan, serta membaca dan mengajarkan pembacaan istiʿādzah secara lirih.
Diriwayatkan dari Khalaf, dari Sulaim, dari Hamzah, bahwa ia mengeraskan istiʿādzah pada permulaan Surah al-Fatihah dan melirihkannya pada seluruh (bagian) al-Qurʾān lainnya. Diriwayatkan dari Khallād, dari Sulaim, bahwa Hamzah memberikan pilihan kepada qāriʾ antara mengeraskan dan melirihkan istiʿādzah.
Diriwayatkan dari al-Musayyibī dari Nāfiʿ, bahwa ia melirihkan istiʿādzah dalam seluruh al-Qurʾān. Jika dipahami bahwa Alif adalah kode untuk Nāfiʿ dan Fāʾ adalah kode untuk Hamzah, maka kalimat "wa ikhfāʾuhu fashlun" berfungsi sebagai pengecualian dari keumuman kalimat: "Fastaʿidz jaharan minasy syaithāni billāhi musajjalā." Sebab, keumuman pernyataan sebelumnya itu menunjukkan perintah untuk mengeraskan istiʿādzah di semua waktu, dalam seluruh (bacaan) al-Qurʾān, dan untuk semua qā riʾ.
Menurut Syekh Abdul Fattah al-Qadhi, posisi yang benar adalah bahwa tidak ada kode untuk qurrāʾ di dalam bait ini. Perkataannya "fashlun" tidak berfungsi untuk menunjukan kode, tapi dimaknai sesuai arti harfiyahnya, yakni "pemisah/pembeda". Maksudnya, salah satu hikmah melirihkan bacaan istiʿādzah adalah untuk membedakan antara (bacaan) al-Qurʾān dan selainnya. Atau, maknanya adalah bahwa melirihkan istiʿādzah adalah salah satu hukum dan salah satu cara membacanya.
Namun Syaikh Ayman Suwaid justeru mendukung pendapat yang menyatakan bahwa bait ini mengandung kode Nāfiʿ dan Hamzah. Alasan beliau adalah karena keterangan tersebut ada di kitab at-Taysīr karya Imam ad-Dānī yang merupakan basis dari nazham asy-Syāthibiyyah.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, pada bait di atas, disebutkan “ʿabāhu wuʿātunā”, yang maknanya adalah ‘para ulama kita yang hafizh dan terpercaya menolak pendapat melirihkan istiʿādzah. Imam asy-Syāthibi menyampaikan bahwa para imam tersebut lebih memilih untuk mengeraskan istiʿādzah dalam seluruh al-Qurʾān dan untuk semua qāriʾ. Hal ini juga tampak dalam keumuman bait: "fa-staʿidz jihāran.."
Hikmah mengerasakan istiʿādzah adalah menampilkan syiar bacaan al-Qurʾān, seperti mengeraskan talbiyah dan takbir hari raya. Di antara manfaat mengeraskannya adalah bahwa pendengar bacaan al-Qurʾān dapat menyimaknya dari awal, sehingga ia tidak melewatkan sebagian dari bacaan tersebut. istiʿādzah menjadi semacam pengumuman bahwa bacaan al-Qurʾān akan dimulai sehingga para pendengar bersiap menyimak.
Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa istiʿādzah disunnahkan untuk dilirihkan dalam beberapa situasi, dan dikeraskan dalam situasi lainnya. Situasi-situasi untuk melirihkan bacaan istiʿādzah adalah (1) jika seorang qāriʾ membaca dengan lirih, baik ketika sendirian maupun dalam majelis; (2) Jika sedang sendirian, baik membaca dengan lirih maupun keras; (3) Jika berada dalam shalat, baik shalat sirriyah maupun jahriyah, dan baik sebagai munfarid (sendirian), makmum, maupun imam; (4) Jika membaca di tengah-tengah jamaah yang sedang mempelajari al-Qurʾān bersama-sama (mudārasah), dan dia bukan orang yang memulai bacaan. Selain situasi-situasi ini, disunnahkan untuk mengeraskan (jahr) istiʿādzah.
Jika seorang qāriʾ menghentikan bacaannya karena suatu hal yang mendesak di luar kuasanya, seperti bersin, berdeham, atau berbicara yang terkait dengan kepentingan bacaannya – misalnya ragu tentang sesuatu dalam bacaannya lalu bertanya kepada orang di sampingnya untuk memastikan – maka ia tidak mengulangi istiʿādzah. Adapun jika ia menghentikannya karena berpaling darinya, atau untuk berbicara yang tidak terkait dengan bacaan – sekalipun hanya untuk menjawab salam – maka ia memulai kembali dengan istiʿādzah.
Leave a Comment