| 0 Comments | 324 Views

Card Image

[Tulisan ini adalah salah satu bab dalam buku Filsuf Membumi dan Mencerahkan: Menyemai dan Menuai Legasi Pemikiran Amin Abdullah. Saya menuliskannya bersama Dr. Hamim Ilyas. Judul asli tulisan ini adalah “Kontroversi Tafsir Tematik: Kesenjangan Epistemik Berakhir Mihnah”.  Saya memuatnya di blog ini sebab cukup relevan untuk sejarah tafsīr di Indonesia secara umum, dan tafsīr dalam tradisi Muhammadiyah secara khusus. Jika hendak mengutip tulisan ini, sebaiknya mengikuti detail pengutipan yang tertera di bawah]

 

Pada hari Ahad, 14 Juli 2002, bertempat di gedung PP. Muhammadiyah di Yogyakarta, berlangsung sebuah peristiwa bersejarah yang mungkin selama ini belum begitu banyak diketahui. Peristiwa itu bersejarah sebab ia merepresentasikan dinamika yang muncul dari kesenjangan epistemologis antara tokoh-tokoh persyarikatan. Sebuah kelompok yang mengatasnamakan Forum Warga Muhammadiyah Peduli Syari’ah bersama dengan beberapa anggota Majelis Tarjih PWM D.I. Yogyakarta mempermasalahkan wacana pemikiran keagamaan yang dituangkan di dalam Tafsir Tematik Al-Qur'an Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama (selanjutnya disebut Tafsir Tematik). Bagi mereka, isi dari tafsir tematik ini telah menyimpang secara akidah. Tema pokoknya adalah isu keselamatan ukhrawi dan klaim kebenaran penganut agama selain Islam. Mereka menganggap tafsir ini mengakui adanya kebenaran di dalam agama lain dan mengafirmasi keselamatan ukhrawi non-Muslim. Gugatan ini kemudian diakomodasi oleh PP. Muhammadiyah dengan melangsungkan sebuah dialog terbatas.

Mereka yang mengalaminya langsung, termasuk Prof. Amin Abdullah, mengenang peristiwa ini sebagai sebuah mihnah. Secara kebahasaan, mihnah berarti ujian. Sejarawan Muslim menggunakan istilah ini untuk mengilustrasikan momen-momen tragis-traumatik di dalam sejarah intelektual Islam dimana beberapa ulama dihadapkan kepada majelis inquisitor yang mempertanyakan keimanan mereka. Jika dikenang dengan lebih positif, maka peristiwa ini memang merupakan mihnah; sebuah ujian bagi upaya pengembangan pemikiran ketarjihan. jika melihat Majelis Tarjih dan Tajdid saat ini, tampak jelas bahwa think tank persyarikatan ini telah lulus dari ujian tersebut. Tulisan ini akan membahas peran ketarjihan Prof. Amin Abdullah yang mengantar kepada peristiwa ini dan mengilustrasikan bagaimana beliau menghadapi mihnah tersebut. Sumber utama dari tulisan ini merupakan transkrip dialog terbatas pada 14 Juli 2002 tersebut.

Prof. Amin Abdullah dan Lahirnya ide Tafsir Tematik

Salah satu perubahan penting dalam tubuh persyarikatan pada peralihan milenium adalah ditambahkannya kalimat “dan pengembangan pemikiran Islam” pada nama Majelis Tarjih. Bagi mereka yang mengikuti dan menghayati pemikiran Kyai Dahlan dan penerusnya, utamanya KH. Mas Mansyur sebagai pelopor Majelis Tarjih, kalimat ini bukanlah sebuah inovasi tercela. Di dalam pemikiran para salaf Muhammadiyah, upaya memurnikan ajaran Islam tidak pernah terpisah dari upaya ‘memajukan’. Sejak awal, purifikasi Muhammadiyah bukanlah sebuah upaya memurnikan ajaran Islam untuk pemurnian itu sendiri. Di dalam nalar Dahlaniyyun, kemurnian ajaran agama dari beban-beban TBC tidak hanya berimplikasi ukhrawi, yakni amalan-amalan kita diterima oleh Allah sebab murni niat dan benar kaifiyatnya. Lebih dari itu, purifikasi merupakan langkah pertama untuk melakukan dinamisasi. Masyarakat yang terperangkap penjara TBC bukan hanya cedera akidah dan tak tepat ibadahnya, tapi juga sulit untuk maju kehidupannya. Maka, spirit dari tajdid Muhammadiyah adalah purifikasi dan dinamisasi (Anwar, 2005). Perubahan nama Majelis Tarjih ketika itu merefleksikan upaya untuk merevitalisasi semangat dinamisasi tersebut.

Profesor Amin Abdullah berada di titik inti pusaran era baru dinamisasi ini. Tampaknya, jajaran pimpinan pusat betul-betul mengharapkan beliau yang ketika itu masih mengabdi di Pasca UIN Sunan Kalijaga untuk mengantar Majelis Tarjih memasuki fase pengembangan pemikiran Islam. Mengenang masa itu, Amin Abdullah bertutur bahwa ketika nama beliau muncul dalam rapat, maka laa ikhtilafa fih: secara aklamasi semua menyetujuinya. Sebagai wujud harapan tersebut, mewakili pimpinan tiga belas hasil Muktamar Aceh, Prof. Amien Rais meminta beliau secara langsung untuk menahkodai Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Amin Abdullah mengenang bagaimana beberapa orang sempat heran melihat Amien Rais mendatangi Pasca UIN Suka untuk mencari beliau yang ketika itu menjabat sebagai Asisten Direktur Satu. Sempat menolak dengan halus, akhirnya Amin Abdullah menerima tawaran tersebut setelah dibujuk oleh beberapa tokoh seperti Prof. Mukhtar Yahya.

Amin Abdullah benar-benar menyadari bahwa ia sedang diamanahi untuk memimpin sebuah majelis yang meskipun memiliki nama baru, tapi telah berakar kuat dalam sejarah persyarikatan. Untuk membantunya menavigasi proses transformasi ini, langkah pertama yang beliau lakukan adalah mengumpulkan ulama-ulama sepuh Tarjih serta beberapa pemikir dari generasi yang lebih muda.

“Saya kumpulkan orang-orang lama dan orang-orang baru. Mau apa ini; Majelis ini yang baru dengan nama Pengembangan Pemikiran Islam. Nah, begitulah. Jadi Saya kumpulkan yang sepuh-sepuh, Pak Ismail, Pak Rachim, semua, Pak Asymuni dan lain sebagainya. Bagaimana ini? Pokoknya al-muhafadzah ‘ala al-qadim ash-shalih itu ada, tapi wa al-jadid al-ashlah-nya”

Salah satu karakter paling nampak pada pemikiran ketarjihan dari awal munculnya hingga tahun 90-an adalah penekanannya pada fikih. Amin Abdullah menilai warisan ini sebagai sesuatu yang sangat bernilai dan perlu terus ada. Aspek syariah inilah yang dianggap oleh Amin Abdullah mewakili al-qadim as-shalih dalam perjalanan sejarah Majelis Tarjih. Maka beliaupun meneguhkan Divisi Fatwa dan memastikan bahwa konsultasi keagamaan di Suarah Muhammadiyah tetap berlangsung baik. Untuk melaksanakan amanat pengembangan pemikiran Islam, Amin Abdullah merancang sebuah kegiatan ketarjihan baru, yakni penulisan tafsir. Menurut beliau, fatwa itu sifatnya tuntunan dan memberikan kejelasan hukum bagi suatu peristiwa yang telah berlalu. Ia juga lebih banyak berbicara tentang persoalan-persoalan praktis. Adapun proyek tafsir ini akan menjadi kendaraan bagi upaya pengembangan pemikiran Islam.

Strategi Amin Abdullah ini dapat dipahami lebih baik jika diletakan dalam konteks pemikiran keislaman di Indonesia ketika itu. Menurut penelusuran Rohman (2016), dari tahun 1980 hingga 1990-an, salah satu tema perdebatan ulama dan cendekiawan Muslim di Indonesia adalah upaya menemukan pendekatan baru dalam penafsiran. Tema ini urgen sebab ada keyakinan di kalangan ulama dan cendekiawan Muslim bahwa upaya perbaikan pada keadaan umat harus dimulai dari suatu pemahaman baru atas al-Qur’an. Amin Abdullah tentu ikut berkontribusi di dalam perdebatan tersebut. Beliau bahkan dianggap sebagai salah satu suara penting di dalamnya.

Ada tiga aspirasi penting yang secara konsisten disampaikan oleh Amin Abdullah dalam perdebatan seputar upaya penemuan pendekatan tafsir baru ini. Pertama, perlunya melampaui pendekatan tafsir klasik yang cenderung atomistik dalam memahami al-Qur’an. Kedua, perlunya mengintegrasikan berbagai pendekataan yang diderivasi dari humanity kontemporer dalam menafsirkan al-Qur’an. Ketiga, perlunya tafsir kontemporer untuk menyajikan makna al-Qur’an yang dapat secara langsung beriteraksi dengan masalah aktual yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Menurut Amin Abdullah, berhenti pada tradisi tafsir yang kita warisi tidak akan dapat memenuhi ketiga tututan ini (Rohman, 2016).

Salah satu wacana tafsir alternatif yang berkembang di tahun 1990-an adalah tafsir tematik. Munculnya minat para ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia pada model tafsir tematik dapat dikatakan sebagai sintesis dari gelombang pemikiran dari Barat dan Timur. Pada 1983, karya penting Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Penerjemahan ini membuka akses publik Indonesia kepada model penafsiran tematik ala guru-guru pemikir Muslim neo-Modernis ini. Di sisi lain, melalui berbagai tulisannya Quraish Shihab memperkenalkan pemikiran Syaikh Abd al-Ḥayy al-Farmawi tentang tafsir tematik dalam karyanya al-Bidāya fi al-tafsīr al-mawḍūʿī. Fazlur Rahman menunjukan bahwa tafsir tematik penting untuk mengungkap dan menyajikan makna al-Qur’an dengan lebih koheren, komprehensif, dan kontekstual. Sedangkan pemikiran praktis-metodis dari al-Farmawi menunjukan langkah-langkah melakukan tafsir tematik.

Tafsir tematik segera menjadi media pemikir Muslim Indonesia untuk mengembangkan berbagai scriptural theology. Istilah ini merujuk kepada sebuah tren modern untuk membangun basis teologi untuk menjawab tantangan kontemporer dengan kembali kepada al-Qur’an secara langsung (Saleh, 2020). Mulai dari intelektual berpengaruh seperti Dawam Rahardjo dan Buya Yunahar Ilyas hingga lembaga resmi yakni Departemen Agama turut meramaikan jagat tafsir tematik. Kampus-kampus juga semarak dengan kajian dengan pendekatan tafsir tematik. Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam pun ikut mengekspresikan pemikirannya melalui metode ini. Professor Asymuni Abdurrahman, salah satu sesepuh Majelis Tarjih, menyampaikan bahwa awalnya, Majelis Tarjih hendak menerbitkan berbagai tafsir tematik untuk menjawab berbagai isu filosofis dan praktis yang tengah dihadapi umat, mulai dari isu gender, hubungan antar-agama, hingga isu lingkungan hidup.

Dari berbagai pilihan tematik yang mungkin dieksplorasi, hubungan sosial antar-umat beragama kemudian dipilih. Menurut penuturan Amin Abdullah, peristiwa pilu selama konflik antar-umat beragama di Ambon pada awal tahun 2000 menjadi pemicu penting. Selain, isu hubungan antar-umat beragama juga muncul dalam Munas Tarjih di Malang,

“...ada sepuluh tema atau dua puluh tema itu. Tapi masyarakat saat itu belum ada kejadian Ambon, belum ada kejadian macam- macam [setelah peristiwa Ambon] yang dipilih itu teman-teman itu Tafsir yang kaitan hubungan sosial antar umat beragama. Dan judul ini juga kelihatannya masukan dari Munas Tarjih di Malang...”

Selain terkait dengan peristiwa aktual baik nasional maupun global, wacana tentang hubungan antar umat beragama memang menjadi isu penting di tahun-tahun tersebut. Ada kecenderungan untuk melampaui tawaran-tawaran dari generasi intelektual sebelumnya, baik secara praktis maupun filosofis. Alih-alih berhenti pada adagium agree in disagreement yang dulu ditawarkan oleh Mukti Ali, beberapa pemikir Muslim di Indonesia ketika itu menawarkan berbagai formulasi teologis yang sudah melampaui harmoni sosial menuju pencarian titik temu teologis (Hanik, 2014). Salah satu corak pemikiran yang banyak mempengaruhi upaya intelektual Muslim Indonesia untuk merumuskan teologi pluralis adalah pemikiran Perenialisme. Presentasi pentingnya misalnya adalah Nurcholis Madjid yang dengan eksplisit menggunakan adagium perenialis yang dipopulerkan oleh Schuon yakni kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions) (Munawar-Rachman). Tidak semua pemikir Muslim Indonesia ketika itu menggunakan pola argumen yang sama, tapi motif khas perenialis dimana ada pembedaan antara aspek eksoterik dan esoterik agama dapat dilacak pada argumen mereka (Hanik, 2014).

Konstruksi wacana pluralisme agama yang dibangun di atas aras teologis-filosofis pada akhirnya rentan untuk disalahpahami dan menuai kontroversi. Salah satu indikasinya adalah tidak adanya definisi yang benar-benar disepakati atas istilah ini. Sebagian kalangan memaknainya sebagai bentuk inklusivitas dalam ranah sosial tapi bagi yang kontra melihat istilah ini berimplikasi teologis. Salah satu buku penting yang mengkritik wacana pluralisme agama di Indonesia, Tren Pluralisme Agama, karya Anis Malik Toha mengilustrasikan kerumitan wacana ini. Toha mengembalikan ide pluralisme ke akar-akar filosofisnya dimana pluralisme agama memiliki implikasi teologis adanya pengakuan akan klaim kebenaran agama lain. Dalam hal ini, pluralisme agama bermakna pluralisme jalan keselamatan yang sama-sama valid. Namun mereka yang memakai istilah ini dalam karya mereka nyatanya tidak selalu merujuk kepada pengertian ini, masalah ini pulalah yang membuat beberapa kalangan mengkritik fatwa MUI yang menegaskan kesesatan pluralisme agama (Setiawan, 2021).

Mihnah atau Sebuah Dialog Asimetrik

Pembukaan: semua menginginkan dialog

Di tengah konteks konflik keagamaan yang nyata dan perdebatan para pemikir tentang ide pluralisme agama, Tafsir Tematik lahir untuk memberikan perspektifnya. Namun posisi inilah yang sekaligus membuat Tafsir Tematik akhirnya menjadi pusaran polemik tersendiri. Selain karena rawannya isu pluralisme disalahpahami, polemik ini juga muncul dari pendekatan khas yang dipakai oleh Tafsir Tematik. Di dalam pengantarnya kepada tafsir ini, Amin Abdullah menjelaskan secara eksplisit bahwa tafsir ini mengintegrasikan khazanah pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial humaniora dan ilmu alam disamping ilmu-ilmu keislaman tradisional. Seperti yang akan tergambarkan dalam cuplikan peristiwa mihnah yang akan kami sampaikan di bawah, memang salah satu penyebab panasnya susana dialog tersebut adalah adanya kesenjangan epistemik antara penulis Tafsir Tematik dan mereka yang menentangnya. Jadi, mihnah tersebut pada hakikatnya adalah sebuah dialog asimetrik.

Sebenarnya, Prof. Syamsul Anwar selaku ketua Majelis Tarjih dalam pembukaannya telah memberikan beberapa klarifikasi penting agar terjadi dialog yang kondusif. Beliau menegaskan bahwa dalam menghadapi perkembangan wacana pluralisme agama, Muhammadiyah membutuhkan semacam “gudang” gagasan. Tidak semua yang tersimpan di dalam gudang itu harus menjadi “konsumsi” yang ditelan oleh warga persyarikatan. “Gudang” dalam perumpamaan beliau ini salah satunya adalah Tafsir Tematik. Itulah sebabnya, karya ini bersifat wacana, bukan tuntunan. Fungsi utamanya adalah untuk membuka pembicaraan, merangsang diskusi yang akan memperkaya modal intelektual umat menghadapi isu keragaman agama,

 “[kita] harus mempunyai bekal-bekal, gudang-gudang yang harus kita bawa, yang belum tentu gudang itu akan menjadi sumber pangan bagi warga Muhammadiyah, tetapi merupakan sumber yang kita gunakan untuk berhadapan dengan orang lain”

Bagi Prof. Syamsul Anwar, forum tersebut merupakan hasil yang di satu sisi diharapkan terjadi sebab itu berarti ada dinamika pemikiran di tengah warga, tapi di sisi lain memunculkan kesan buruk sebab mereka yang datang cenderung menghakimi.

“Nama forum yang datang mengindikasikan bahwa Tarjih dan PP tidak peduli Syari’ah, padahal semua warga apalagi MTT dan PP sangat peduli pada Syari’ah... Dialog pada hari ini pada dasarnya bukanlah sebuah pertandingan, kadang-kadang saya mendapat kesan seperti itu [bahwa dialog ini pertandingan] dengan memo sekretaris yang saya baca tadi malam itu. Tetapi ini adalah dialog dan forum silaturahmi untuk mengecek dan sekaligus introspeksi bagi kita semua sebagai warga Muhammadiyah dan sekaligus juga kita memikirkan bagaimana Muhammadiyah ini, apa tantangannya dan ke mana Gerakan Muhammadiyah ini akan kita bawa. Jadi, semangat dialog kita pada hari ini adalah semangat silaturahmi, persaudaraan dan di dalam rangka menggerakkan roda Muhammadiyah supaya lebih dinamis dalam menghadapi berbagai tantangan, tetapi juga ini sekaligus forum silaturahmi. Itulah tujuan kita mengadakan dialog pada hari ini.”

Buya Syafi’i yang berbicara setelah Prof. Syamsul Anwar menegaskan hal serupa. Beliau yang ketika itu mewakili unsur Pimpinan Pusat di satu sisi mengapresiasi diadakannya dialog, namun menyayangkan adanya kesan penghakiman sejak awal dialog tersebut. Buya Syafi’i terutama tidak sreg dengan aspirasi sebagian kalangan untuk menjatuhkan sanksi organisatoris kepada tokoh-tokoh tertentu disebabkan buku Tafsir Tematik.

“Tetapi saya mendapat laporan bahwa ada juga umpamanya dikatakan bahwa si A dan si B itu harus diberi sanksi organisatoris karena begini-begini..... ini tidak perlu. Oleh sebab itu, kalau ada perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan Muhammadiyah, forum seperti ini salah satu cara kita, untuk mempertemukan pemikiran, untuk mengadu argumen secara sehat, yang tidak emosional.”

Karena besarnya harapan Buya agar terjadi dinamika pemikiran di kalangan warga persyarikatan, beliau kemudian mengekspresikan kekecewaan sebab yang menulis kritik sistematis justru Drs. Muhammad Thalib, bukan Tarjih PWM DIY. Buya sangat menyadari apa yang menjadi mahallun nizāʿ, titik seteru dari mereka yang mengkritik Tafsir Tematik, yakni tentang ide “semua agama sama”. Beliau menegaskan bahwa persoalan tersebut tidak bisa begitu saja disimpulkan tanpa klarifikasi memadai.

“Padahal kita baru sedikit saja, umpanya begini ada perbedaan pendapat Tafsir Tematik agama yang dianggap semua sama yang belum tentu betul juga, lalu kita sudah meminta ini harus dijatuhkan sanksi organisatoris. Ini hal-hal yang semacam ini saudara, coba agak cerdaslah kita membaca situasi. Saya rasa itu dan kemudian Saya agak ya, bukan kecewa, ini buku ini ternyata ditulis satu oleh Thalib, dan Bung Umar Budihargo, kenapa tidak dari Tarjih Wilayah yang membuat buku, kenapa bergantung kepada Thalib ? Bukan Saya anti Thalib. Boleh, tidak ada masalah. Kenapa Tarjih Wilayah tidak membuat buat buku, kalau anda tidak setuju?”

Dari mereka yang datang pun sebenarnya menunjukan sentimen yang sama.Umar Budihargo sebagai perwakilan Forum Warga Muhammadiyah Peduli Syari’ah (FWMPS) dan PWM DIY menyampaikan hal senada. Beliau mengklarifikasi bahwa nama forum mereka tidak mengandung tuduhan kepada unsur Tarjih pusat.

“Tentang nama peduli syari’ah itu memang muncul secara tiba-tiba dan bukan dari kesepakatan kita bersama. Mungkin forum yang lebih tepat untuk, atau nama yang lebih tepat untuk forum kita warga Muhammadiyah, kalau tidak forum keprihatinan warga Muhammadiyah atau forum istitabah forum orang-orang yang meminta taubat, itu mungkin yang lebih tepat.”

Namun apa yang beliau sampaikan justru menunjukan asumsi lainnya, bahwa mereka sedang melakukan istitaba; meminta bertaubat. Terlepas dari mungkinnya ada asumsi tersebut, pihak FWMPS juga meniatkan pertemuan tersebut sebagai dialog dan silaturahmi.

Benarkah Tafsir Tematik mengakui kebenaran agama lain?

Setelah sambutan dan kata pembuka dari pihak Pimpinan Pusat, ketua Majelis Tarjih, dan perwakilan FWMPS, maka the elephant in the room pun segera menjadi objek perhatian. Semua orang hendak mengetahui, apakah memang Tarjih pusat telah mengakui kebenaran jaminan keselamatan ukhrawi pada agama-agama lain. Forum inti ini dibuka dengan pemparan emosional dari salah satu sesepuh Muhammadiyah di Kota Pelajar ini, Drs. H. Musthofa Kamal Pasha, B. Ed. Beliau mengingatkan kepada para hadirin bahwa dalam persoalan akidah, para salaf Muhammadiyah tidak pernah main-main. Beliau menyampaikan bagaimana gurunda beliau, KH. Hadjid begitu geram dan murka ketika mengetahui adanya kader yang mencoba mendekati kesyirikan. Salah satu perintis UMY ini pun menyampaikan persepsinya tentang isu pluralisme,

“Masalah pluralisme, masalah toleransi itu akhirnya melahirkan pluralisme, dimana kalau pluralitas adanya keanekaragaman agama dan sebagainya, itu tidak ada masalah buat kami, karena memang realitas seperti itu, kenyataan memang seperti itu. Kalau sekarang bahwa dalam masalah toleransi, masalah pluralisme itu, akhirnya harus mau mengakui bahwa di luar agama Islam ada kebenaran, bahwa di luar agama Islam ada keselamatan..inilah yang menjadikan kami jadi merasa terpanggil untuk bicara di PP Muhammadiyah ini. Kami mengadu, apa seperti ini?”

Tampak jelas bahwa kerangka-pikir yang digunakan oleh Ustaz Musthofa Kamal adalah pembedaan antara pluralisme dan pluralitas. Penggunaan istilah plurality tanpa adanya ism menunjukan bahwa keragaman dianggap sebagai realitas objektif yang perlu diterima. Namun realitas objektif ini tidak perlu mengubah konsepsi teologis soal keselamatan ukhrawi ataupun klaim kebenaran tunggal pada satu agama – yang bagi seorang Muslim tak lain adalah Islam.

Kerangka pikir ini juga jelas dari pemaparan Drs. H. MS Kholil, M.A yang mewakili unsur PWM DIY. Drs. Kholil menyatakan bahwa QS. Ali Imran ayat 19 menjadi kata putus dalam hal ini, sebab ayat ini menjelaskan bahwa satu-satunya din yang diakui di sisi Allah adalah Islam. Tak lupa, ia menekankan pentingnya merujuk kepada otoritas tafsir terdahulu dan memperingatkan agar tidak “mencoba-coba untuk menafsirkan al-Qur’an”.

“Makanya Saya sering mengatakan untuk bisa memahami Al-Qur’an itu bagi kita yang tidak mengerti tafsir, itu cukuplah kita mengacu pada pendapat-pendapat mufassirin saja. Jangan mencoba-coba untuk menafsirkan sendiri. Bahasa Arab saja nggak menguasai, mencoba-coba untuk menafsirkan Al-Qur’an. Ulumul Qur’an saja nggak mengerti, kebetulan mohon maaf itu, mata kuliah saya itu Ulumul Qur’an. Ulumul Qur’an saja nggak mengerti mau coba-coba menafsirkan Al-Qur’an dan sebagainya.”

Masalahnya, benarkah Tafsir Tematik adalah wujud tafsir coba-coba yang malah memberikan pengakuan pada klaim kebenaran dan keselmatan ukhrawi kepada agama lain? Penjelasan Prof. Syamsul Anwar menunjukan bahwa pembacaan semacam itu tampaknya terlalu terburu-buru. Pertama, beliau menunjukan bahwa Tafsir Tematik juga merujuk kepada otoritas-otoritas tafsir terdahulu, jadi tuduhan meninggalkan tradisi juga tidak sepenuhnya benar. Hanya saja, dalam membahas keragaman agama, Tafsir Tematik banyak mengintegrasikan kajian-kajian terkini baik yang bersifat filosofis, sosiologis, maupun hermeneutik (penafsiran) tentang keragaman agama dalam Islam. Prof Syamsul Anwar kemudian memberikan jawaban tegas bahwa Tafsir Tematik sama sekali tidak mengusung paham salvific pluralism, suatu paham yang menginginkan suatu pemeluk agama mengakui klaim kebenaran agama lainnya

“Saya juga ikut menulis beberapa bagian di dalamnya. Yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa, paling tidak seingat Saya, tetapi mungkin kata-kata di dalam ini mungkin juga bisa diartikan lain, itu tidak tersirat sama sekali di dalam penulisan Tafsir ini dengan sengaja, atau ada suatu keinginan, atau ada suatu target untuk menyatakan semua agama itu benar.”

Berikutnya, Prof. Syamsul Anwar menguraikan kerangka-pikir yang digunakan oleh Tafsir Tematik dalam memetakan wacana pluralisme agama. Tampaknya salah paham yang beliau tengarai telah terjadi kemungkinan muncul dari perbedaan kerangka-pikir tersebut. Mereka yang menentang Tafsir Tematik memulai dari dikotomi pluralisme-pluralitas, dimana pluralisme ditolak secara total dan pluralitas diterima sebagai realitas objektif. Sementara itu, Tafsir Tematik mengembangkan pemetaan yang lebih kompleks. Tafsir Tematik membedakan antara ragam pemaknaan terhadap pluralisme di satu sisi dan respon terhadap pluralisme itu sendiri.

Makna pluralisme di dalam Tafsir Tematik dibagi menjadi tiga. Makna pertama adalah actual plurality yakni kemajemukan yang secara nyata ditemukan dalam masyarakat. Kedua, pluralisme dapat dipahami dalam konotasi politis, yakni posisi negara yang bersikap netral kepada setiap agama. Pada makna kedua ini, negara dapat mengambil posisi sekular dan anti-agama tapi juga dapat mengambil posisi netral agama dengan tetap mengayomi kegiatan keagamaan setiap warga tanpa diskriminasi. Makna ketiga dari pluralisme yang disebutkan di dalam Tafsir Tematik sama dengan makna pluralisme agama yang dipermasalahkan di dalam forum tersebut. Makna ketiga ini merujuk kepada teori pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama pada akhirnya menuju kepada satu kebanaran yang sama (hal. 19-20).

Sekilas tampak bahwa Tafsir Tematik hanya sekadar menguraikan tiga kemungkinan makna, tanpa memilih salah satunya. Hal inilah yang banyak dikeluhkan oleh mereka yang bertandang ke gedung PP. Muhammadiyah malam itu. Menurut mereka, seharusnya, Majelis Tarjih melakukan peran yang tercermin dari namanya; melakukan tarjih, seperti terekspresikan dalam keluhan Drs. Musthofa Kamal,

“Tahun 1926, ketika Muhammadiyah mengadakan Kongres di Pekalongan, muncullah suatu usulan dari KH Mas Mansur, perlunya dibentuk Majelis Tarjih, karena melihat bahwa kenyataannya amalan warga Muhammadiyah bisa saja berbeda-beda, yang satu begini, yang satu begini, yang satu begini. Sehingga dalam Muhammadiyah itu tidak ada keseragaman dalam pemahaman agama. Oleh karena itu perlu ada satu majelis yang dikenal dengan Majelis Tarjih. Dari berbagai pendapat itu dicari mana yang paling rajih.”

Namun sebenarnya, sikap Tafsir Tematik dapat dibaca dengan eksplisit dalam pemaparannya tentang tipologi respon terhadap pluralisme agama. Tipologi inilah yang dijelaskan ulang oleh Prof. Syamsul Anwar ketika menjawab kegelisahan mereka yang hadir. Mengadopsi dari Ninian Smart, Tafsir Tematik menyatakan bahwa ada lima macam respon terhadap keragaman agama. Pertama, eksklusivisme absolut yang menganggap sama sekali tidak ada kebenaran di dalam agama lain. Kedua relativisme absolut yang menganggap bahwa kebenaran hanya bisa dialami secara subjektif sehingga semua agama benar pada level subjektif ini, tidak ada jalan untuk memverifikasi setiap klaim itu. Respon ketiga adalah inklusivisme hegemonis. Sikap ini melihat ada kebenaran yang terdapat dalam agama lain, namun menyatakan bahwa yang paling benar itu adalah agamanya sendiri.

Tafsir Tematik menyatakan bahwa Ninian Smart mengklasifikasikan Islam sebagai agama inklusif hegemonik, sebab meskipun memiliki klaim kebenaran tunggal, Islam tetap mengakui status kewahyuan agama ahli kitab. Profesor Syamsul Anwar menduga bahwa bagian inilah yang menjadi sumber kesalahpahaman terhadap Tafsir Tematik.

“Jadi, ya mungkin kata-kata inilah yang menjadi sumber [anggapan bahwa] Tafsir ini mengatakan semua agama itu benar. Dan karena itu hapuslah semangat dakwah dan jihad para mubaligh Muhammadiyah yang hujan-hujanan turun ke gunung, naik sepeda motor, bahkan sepeda ontel umpamanya. Jadi, saya kira tidak seperti itu, namanya wacana.”

Kesimpulan Prof. Syamsul Anwar bahwa mereka yang hadir untuk menggugat pada malam itu kemungkinan besar telah salah paham sebenarnya didukung oleh pernyataan Tafsir Tematik di halaman 24. Di situ, jelas dikatakan bahwa Islam dalam sejarahnya telah mengakui pluralisme agama dalam pengertian actual plurality. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ungkapan actual plurality di dalam kerangka-pikir Tafsir Tematik semakna dengan istilah “pluralitas” dalam kerangka-pikir para pengkritik Tafsir Tematik. Jadi, kedua pihak pada hakikatnya setuju bahwa “pluralitas” memang diakui dalam Islam. Mereka hanya menggunakan istilah yang berbeda. Dialog pada malam itu menjadi dialog asimetrik sebab mereka yang datang menginginkan adanya rumusan yang tidak ambigu. Mereka menginginkan agar Majelis Tarjih menegaskan bahwa “pluralitas diterima dan pluralisme ditolak”. Sedangkan Tafsir Tematik melakukan problematisasi dan klasifikasi yang lebih kompleks tapi pada akhirnya sampai kepada kesimpulan yang secara teologis sama saja.

Selain Prof. Syamsul Anwar, dan Prof. Amin Abdullah, salah tokoh Tarjih yang pada malam itu turut berkontribusi secara substantif adalah Dr. Hamim Ilyas. Beliau memberikan penjelasan genealogis untuk menguatkan argumen Ninian Smart. Meskipun Tafsir Tematik sendiri tidak secara eksplisit mengamini Smart, tapi menurut Dr. Hamim, tesis bahwa Islam adalah agama yang inklusif hegemonik dapat ditemukan dalam Tafsir al-Manar bahkan hingga ke Imam al-Ghazali,

“Tentang pluralisme yang tadi juga disinggung dalam buku itu. Memang kalau Saya tidak salah ingat, itu ada kutipan dari Ninian Smart, bahwa menurut Islam, Islam itu paradigma hubungan antar agamanya adalah inklusifisme  hegemonik. Dalam agama lain, itu ada kebenaran atau ada keselamatan, dan keselamatan itu diperoleh melalui syarat-syarat yang ada dalam agamanya sendiri. Jadi ada syarat-syarat yang ada dalam Islam. Dalam pembacaan Saya sebetulnya Tafsir al-Manar pun itu paradigma hubungan antar agamanya adalah inklusifisme hegemonik. Saya melihat bahwa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla itu terpengaruh oleh Imam al-Ghazali, yang Imam al-Ghazali itu dalam Fashlut Tafriqah.

Selain itu, Dr. Hamim juga menyampaikan apresiasi kepada mereka yang hadir untuk mengkritik Tafsir Tematik pada acara tersebut. Beberapa di antara mereka adalah muballig Muhammadiyah yang merasakan getirnya menyerukan Islam di pelosok Nusantara. Awalnya, mereka merasa kecewa sebab ketika mereka berusaha keras untuk menyiarkan kebenaran Islam dan melawan upaya pemurtadan, Majelis Tarjih justeru menerbitkan Tafsir Tematik yang mengafirmasi kebenaran agama lainnya. Dr. Hamim membantu mereka meletakan permasalahan ini secara proporsional,

“Tapi meskipun al- Manar, Rasyid Ridla dan Abduh itu mengikuti inklusivisme hegemonik, tapi Rasyid Ridla mendirikan Darud Dakwah wal Irsyad [untuk berdakwah]. Ibaratnya pisau, Muhammadiyah itu pisau yang bermata dua atau bermata tiga. Jadi dakwah jalan terus dengan gigih, terus kemudian dialog juga jalan. Sebab bagaimanapun dialog itu sudah menjadi tuntutan yang ada di zaman sekarang ini. Ketika Pak Syafi’i Ma’arif, Pak Amin Abdullah, ke Kotabaru, itu adalah dalam rangka dialog itu. Dan itu memang semangat zamannya hubungan antar agama, di antaranya adalah dialog itu. Sehingga, kalau perlu kita kan juga pisau bermata tiga. Perlu dakwah ke Ambon, ya ke Ambon, seperti Pak Fauzi, sampai tertembak. Kan begitu. Sehingga, tapi tetap sebagai satu pisau, ada yang pisau dialognya, pisau dakwahnya, pisau jihadnya.”

Penegasan tentang corak pluralisme yang dikehendaki oleh Tafsir Tematik pada akhirnya kembali ditegaskan oleh ulama kharismatik Muhammadiyah yang hadir ketika itu, Prof. Asymuni Abdurrahman. Kepada forum, beliau menyampaikan bahwa Tafsir Tematik pada prinsipnya tidak mengajarkan bahwa semua agama sama. Meski demikian, beliau tetap menyarankan adanya koreksi ulang jika memang ditemukan kalimat yang secara redaksional dapat dimaknai sebagai pengakuan pada salvific pluralism,

Kemudian mengenai Tafsir Tematik yang ini, menurut Saya ada kelemahan- kelemahan yang perlu dikaji ulang, dan juga perlu diadakan suatu kritisi, kalau perlu redaksional termasuk juga i’tikadnya. Sebab kalau kita beri’tikad bahwa agama sama saja ya tidak benar. Tapi Saya lihat tadi kok tidak. Memang ada di sini pluralitas menjadi sama.

Diskusi Berubah “Mihnah” dan Jawaban Prof. Amin Abdullah

Ada banyak lagi tema yang didiskusikan secara panas pada malam itu. Inti kegelisahan mereka yang mengkritik Tafsir Tematik adalah persoalan klaim kebenaran ini. Selain itu, ada pula diskusi yang lebih teknis seperti perbedaan pemahaman tentang teori asbab an-nuzul atau tentang pembacaan yang berbeda terhadap konsep ahli kitab dalam Tafsir al-Manar. Namun seiring berjalannya diskusi, mereka yang hadir untuk menggugat akhirnya menggiring diskusi untuk lebih fokus ke tabayyun dan istitabah. Meminta kejelasan soal posisi teologis Prof. Amin Abdullah dan memintanya untuk bertaubat dari posisi-posisi  yang dianggap menyimpang.

Motif tabayyun tersebut tampaknya menjadi sebab fokus diskusi berubah dari Tafsir Tematik ke tulisan pribadi Prof. Amin Abdullah. Drs. Muhammad Thalib menjadi tokoh yang mengalihkan perhatian forum kepada pemikiran pribadi Amin Abdullah. Ia bahkan menyerang beliau (dan anggota Tarjih yang lain) secara pribadi, sebuah ad hominem,

“Saya langsung kepada Pak Amin, yang dalam tulisan beliau yaitu ‘Muhammadiyah di Tengah Pluralitas Keberagamaan’, beliau ada mendasarkan hipotesis- hipotesisnya untuk berpluralitas itu, pertama surat al-Baqarah ayat 213, beliau jadikan sebagai dasar hipotesisnya itu karena berangkat dari ayat itu, yang terjemahannya yang tertulis di sini: “Sebermula sekali ummat manusia merupakan satu kaum”, Dalam penterjemahan ‘satu kaum’ ini, mengganti kalimat terjemahan Arab , ini juga Saya ingin tanya kepada Pak Amin nanti supaya dijelaskan. Itu diterjemahkan apa itu? [....] Tolong Pak Amin jelaskan itu. Jadi, Saya tidak mengharap masalah ini dituntaskan pada sore hari ini. Boleh jadi catatan, dan Saya ingin bahwa masalah ini dikembangkan, benar-benar sebagai pembahasan Majelis Tarjih dengan kualitas orang yang berijtihad. Saya tidak tahu, apakah orang-orang yang duduk di Tarjih ini, memenuhi kemampuan bidang penguasaan Bahasa Arab yang lima belas cabang itu, ha perlu diuji satu persatu, dan siapa yang menguji. Ini perlu sekali. Lima belas cabang Bahasa Arab itu perlu diujikan kepada mereka.”

Menghadapi cercaan ini, Prof. Amin Abdullah tidak memberikan jawaban detail. Kesempatan itu justeru dimanfaatkan untuk melihat persoalan pemikiran di tubuh Muhammadiyah yang ditandai salah satunya oleh kesenjangan epistemik antar generasi. Kontroversi yang muncul dari penerbitan Tafsir Tematik adalah hasil langsung dari kesenjangan tersebut,

“Ini jadi sebetulnya perbedaan generasi keilmuan saja kok Pak. Aqidahnya kita tetap  al-Qur’an was as-Sunnah ... Antara Pak Umar dengan Saya itu laa khilaafa fiih [tidak ada perbedaan tentang hal ini]. Al-Qur’an was Sunnah itu tidak boleh ditawar-tawar... Tetapi, Qur’an dan sunnah itu [satu sisi]  Historical Islam [itu sisi lainnya]..., ini lapis satu, lapis dua, lapis tiga.. Dan Saya tidak tahu nanti lapis berapa. For the time being, untuk sementara, adalah lapis satu, lapis dua, lapis tiga. Saya akan tanya, Saya tidak usah menjawab detail, Saya kalah kalau dengan ilmu Pak Thalib itu tadi. Saya agak membedakan sedikit antara sunnah dengan hadits, tasawwuf, falsafah, kalam, lughah. Nah, Pak Thalib tadi di sini Pak Thalib itu lughah. Bapak belum memasuki sebetulnya wilayah falsafah, apalagi tasawuf.”

Prof. Amin Abdullah berusaha menjelaskan kepada forum, khususnya kepada Drs. Muhammad Thalib, bahwa meskipun semua umat Islam bersepakat atas posis normatif al-Qur’an dan Sunnah, tapi analisis yang dikembangkan mungkin berbeda. Perbedaan tersebut muncul sebab ada analisis yang mempertimbangkan berbagai lapis-lapis historis yang telah dilalui oleh umat Islam sedangkan analisis yang lain tidak. Bagi mereka yang membaca pemikiran Amin Abdullah, pola argumen ini tentu akan langsung familiar. Beliau hendak menyatakan bahwa dalam memahami Islam kita perlu peka terhadap aspek normativitas dan historisitasnya.

Di tataran normativitas, pendekatan kebahasaan Drs. Muhammad Thalib tentu memiliki tempat. Bahkan pendekatan ini kemudian dibakukan sebagai pendekatan bayani dalam Manhaj  Tarjih Muhammadiyah. Namun di level normativitas pun, bahasa saja tidak cukup. Seperti yang disampaikan Prof. Amin, diperlukan bantuan perspektif dari falsafah atau bahkan tasawuf. Di dalam bahasa Manhaj Tarjih, bayani perlu diperkaya dengan irfani dan burhani. Bahkan, burhani ala falsafah kalsik pun terkadang belum cukup untuk menguraikan lapis-lapis historical Islam, terutama ketika hendak menerapkan yang normatif itu pada suatu medan historis tertentu. Kondisi inilah yang “memaksa” Muhammadiyah melakukan perluasan horizon dengan mengintegrasikan wawasan dari berbagai disiplin ilmu modern. Prof. Amin melanjutkan,

“Ketika Muhammadiyah menghadapi tantangan baru, bagaimana ini? Kan begitu kan. Nah, Saya usul, tambahlah satu lapisan Historical Islam, pendekatan-pendekatan ini dia. Bagaimana apa yang disebut dengan sosiologi... Kemudian bagaimana dengan antropologi... Kemudian ini ada hermeneutik.. Ini ada etika, ada fenomenologi. Ini dia Pak Thalib, pluralitas itu di situ sudutnya. Jadi memang, masya Allah. Jadi tiga level itu. Jadi qur’an dan sunnah, mau masuk pluralitas, anda harus memasuki fiqh klasik seperti apa, bagaimana sosiologi modern, dan bagaimana pluralitas. .. Nah, kalau Muhammadiyah sebagai gerakan Pembaharuan Pemikiran Keislaman tidak bisa tidak kita harus memasuki ini... Memang perkembangan ilmu seperti itu Pak. Bagaimana apakah sosiologi bisa tidak? Bisa, dia harus kombinasi dengan bahasa. Harus kerjasama itu. Kerjasama keilmuan Saya kira yang paling baik, begitu ya.”

Meskipun telah menjelaskan demikian, Prof. Amin Abdullah masih perlu memberikan jawaban atas tabayyun tentang posisi teologisnya. Sebenarnya, tabayyun ini adalah wujud rasa hormat dari hadirin kepada Prof. Amin Abdullah. Setidaknya hal itu yang dapat ditangkap dari penjelasan Drs. Musthofa Kamal,

“Pak Amin, sekarang ini di perguruan tinggi-perguruan tinggi kita, apakah di UAD, di UMY itu sudah mulai ada kelompok yang mengatakan bahwa di luar Islam ada kebenaran .... belum lagi dengan adanya Jaringan Islam Liberal yang juga begitu rupa. Masya Allah, Muhammadiyah mestinya bisa menjadi semacam batu karang yang kokoh tidak bisa bergerak dalam masalah Tauhidullah ini, [di tulisan pak Amin ada kalimat] “dalam batas-batas tertentu kitab suci al-Qur’an yang menjadi rujukan dan pedoman umat Islam mengakui secara tegas adanya keselamatan di luar dirinya”, artinya di luar Islam. Nah, apa yang dimaksud dengan keselamatan di sini? Tabayyun Pak, ini tabayyun saja. Ya, tabayyun.”

Jawaban Prof. Amin terhadap tabayyun ini kembali menunjukan bahwa beliau berwacana di aras yang kompleks sehingga diksinya memang rawan diinterpretasikan secara keliru. Faktanya, Prof. Amin tidak hendak membuat klaim adanya kebenaran yang berimplikasi keselamatan ukhrawi pada agama lain. Di sini, ia sedang merujuk kepada keselamatan yang dialami oleh umar beragama secara umum di dunia ini. Keselamatan yang dimaksud adalah perasaan tenang dan damai sebagai bagian dari pengalaman keagamaan yang memang di dunia ini bisa dialami oleh siapapun, bukan hanya umat Islam. Adalah fakta bahwa ada banyak orang non-Muslim yang mengklaim menemukan ketenangan di dalam agama mereka. Bagi Prof. Amin Abdullah, ini adalah bagian dari realitas objektif pluralitas (actual plurality) keagamaan yang perlu diakui. Pengakuan ini tentu tidak mesti berimplikasi pada pengakuan akan keselamatan ukhrawi mereka.

“Tetapi intinya begini, Pak. Keselamatan Saya tidak tahu, kalau keselamatan di akhirat urusan Tuhan, kita tidak tahu.... kalau keselamatan di dunia, ini yang problem kan Pak, keselamatan di dunia ini. [keselamatan duniawi ini terkait dengan] sakinah. Ketika Saya buka kamus bahasa Inggris, itu kok lebih faham Saya, karena di situ artinya God inspired peace of mind. Jadi sakinah itu adalah kedamaian, supaya tidak konflik dengan istri terus menerus, itu harus ada ilham ketuhanan, ilham Allah, dan itu dikaruniakan pada seluruh agama-agama, supaya peace of mind, hatinya dan pikirannya damai.  Dan ini universal Pak. ... Saya setuju bahasanya itu, secercah kebenaran, karena itu God inspired peace of mind. Jadi di dunia ini, itu tidak monopoli orang Islam, tidak monopoli orang Kristen, tidak monopoli orang Budha, tapi seluruhnya dikarunia Tuhan itu. Itulah, ... Jadi kita agak nuansa sosiologis sedikit. Baik, kunci, cekrek. Keselamatan itu adalah di dunia, di akhirat urusan Tuhan, Saya tidak tahu.”

Epilog: Fikih Baru Sebagai Afterlife Tafsir Tematik ala Amin Abdullah

Tulisan ini dengan singkat memaparkan sebuah peristiwa penting dalam perjalanan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, dimana Prof. Amin Abdullah menjadi titik pusarnya. Inisiatif beliau untuk menggulirkan penulisan Tafsir Tematik sebagai kendaraan bagi wacana pengembangan pemikiran harus berhadapan dengan persoalan pelik sebab tema yang diangkatnya. Tema tafsir itu sebenarnya adalah topik yang perlu mendapatkan kajian lebih mendalam, yakni hubungan sosial antarumat beragama. Namun lanskap dan iklim intelektual di tanah air ketika itu membuat istilah pluralisme menjadi semacam kata kunci yang memancing sikap oposisi dari sebagian elemen umat, tak terkecuali di tubuh Muhammadiyah.

Lanskap pemikiran ketika itu salah satunya dibentuk oleh lontaran pemikiran Cak Nur. Beliau menggunakan istilah pluralisme untuk menggambarkan teologi inklusif yang diturunkannya dari gagasan Perenialisme. Klaim kebenaran Islam dan konsepsi keselamatan ukhrawi eksklusif seperti yang secara tradisional dipahami ter dekonstruksi dengan argumen ini. Dalam bahasa salah satu murid Cak Nur, teologi inklusif ini menghasilkan sebuah shock (Munawar-Rachman .ed, 2019). Ternyata shock itu juga terasa kuat di kalangan intelektual dan warga persyarikatan. Tampaknya mereka yang pada 14 Juli 2002 mendatangi PP. Muhammadiyah untuk tabbyun itu telah membaca Tafsir Tematik dalam suasana batin shock tersebut. Padahal Cak Nur bukanlah Amin Abdullah. Keduanya memang pemikir penting, inovatif, dengan aspirasi progresif, tapi pandangan inklusivitas teologis mereka tidak bisa begitu saja dianggap identik. Amin Abdullah (dan Majelis Tarjih) adalah pemikir independen yang mampu merumuskan sikap sendiri. Ini yang kurang diapresiasi oleh mereka yang menggugat itu.

Secara kelembagaan, proyek tafsir tematik tidak lagi dilanjutkan. Saat ini, Majelis Tarjih menempuh metode tafsir tahlili melalui Tafsir at-Tanwir. Namun bukan berarti ide pengembangan pemikiran yang diprakarsai oleh Prof. Amin Abdullah juga turut mati. Pada dasarnya, beliau menginginkan agar Tarjih senantiasa menerapkan pembacaan-produktif (al-qira’ah al-muntijah) ketika membaca al-Qur’an. Metode yang ia kemukakan adalah hermeneutika dalam bingkai tafsir tematik. Tapi bagaimanapun metode tetaplah wasilah, tujuan utamanya adalah pembacan produktif atas al-Qur’an. Dalam konteks inilah, berbagai Fikih Baru yang dikembangkan oleh Tarjih beberapa dekade belakangan merupakan afterlife dari ide Prof. Amin Abdullah itu. Afterlife merujuk ke ide bahwa ruh dan substansi suatu entitas tetap hidup meskipun bentuk fisiknya telah tiada.

Fikih-fikih baru yang diproduksi oleh Tarjih seperti Fikih Bencana, Fikih Perempuan, Fikih Perlindungan Anak dan sebagainya tersebut membawa ruh al-qira’ah al-muntijah. Meskipun secara metodologi dan format fikih-fikih itu bukan lagi tafsir tematik bernuansa hermeneutika, melainkan pendekatan pertingkatan norma dengan format fikih tematik (Fauzi, 2019). Hal inilah yang kami sebutkan di awal tulisan sebagai keberhasilan melalui mihnah. Kontroversi serupa mihnah Juli 2002 itu tidak lagi menyertai produk-produk fikih baru Muhammadiyah. Semoga ini juga menunjukan semakin terjembataninya kesenjangan epistemik dan kerenggangan manhaji yang dulu sempat berakhir menjadi mihnah.

Wallahu a’lam.

Anwar, S. (2005). Fatwā, Purification and Dynamization: A Study of Tarjīh in Muhammadiyah, Islamic Law and Society, 12(1), 27-44.

Fauzi, N. A. F. (2019). Nalar Fikih Baru Muhammadiyah: membangun paradigma hukum Islam yang holistik. Jurnal AFKARUNA Vol, 15(1).

Hanik, U. (2014). Pluralisme agama di Indonesia. Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, 25(1).

Madjid, N. (2019). Nurcholish Madjid~Karya Lengkap: Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan, Rachman et al (ed), Jakarta: Nurcholis Madjid Society.

Rohman, I. (2016). The pursuit of new interpretive approaches to the Qurʾ ān in contemporary Indonesia. In The Qur'an in the Malay-Indonesian World (pp. 97-150). Routledge.

Saleh, W. A. (2020). Contemporary Tafsīr: The Rise of Scriptural Theology. The Oxford handbook of Qur'anic studies.

[dokumen tidak terpublikasi] Hasil Transkrip Silaturahmi dan Dialog Terbatas Antara Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dan Forum Warga Muhammadiyah Peduli Syari’ah,Yogyakarta Ahad, 14 Juli 2002 Gedung PP. Muhammadiyah

How to cite: 

Ayub and Hamim Ilyas, “Kontroversi Tafsir Tematik:Kesenjangan Epistemik Berakhir ‘Mihnah,’” in Filsuf Membumi dan Mencerahkan:Menyemai dan Menuai Legasi Pemikiran Amin Abdullah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2023), 431–53.


Leave a Comment