| 0 Comments | 318 Views
Perdebatan Soal Muasal Tafsīr
Bagaimana sejarah awal tafsīr? Bisakah kita tahu bagaimana para Sahabat yang merupakan audiens pertama al-qurʾān menafsirkan al-Qurʾān? Bagi sarjana Muslim, jawaban untuk pertanyaan ini kira-kira demikian: Sejarah tafsīr dimulai dari Nabi Muhammad sendiri yang selain menyampaikan wahyu dari Aḷḷāh, juga menjelaskan isinya. Setelah itu, beberapa Sahabat penting seperti Ibn ʿAbbās dan Ibn Masʿūd menjadi guru tafsīr bagi generasi setelah mereka. Hasil dari aktivitas pengajaran ini kemudian ditransmisikan ke generasi-generasi berikutnya yang kemudian mengkodifikasikannya di dalam kitab-kitab tafsīr maupun hadis. Tentu ada perdebatan di kalangan sarjana Muslim tentang detail-detail setiap episode sejarah tersebut, tapi outline ini umumnya diterima secara garis besar.
Namun bagi sarjana ‘Barat’, sketsa tradisional tersebut tidak bisa dijadikan landasan kokoh untuk membangun kisah kemunculan dan asal-muasal (origin) tafsīr. Salah satu debat paling seru dalam kesarjaan studi Islam ‘Barat’ adalah soal muasal tafsīr dan perkembangan awalnya. Sampai saat ini, debat ini dianggap masih buntu dan belum ada jawaban yang bisa memuaskan semua pihak. Di dalam kuliah umumnya yang bertajuk "The beginnings of Qur'anic exegesis or, Can we know how the companions of the Prophet understood the Qur'an?" Andreas Görke (Edinburgh) menawarkan perspektifnya.
Menurut Gorke, keengganan sarjana ‘Barat’ untuk menjadikan historiografi Muslim tradisional sebagai basis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dari beberapa observasi terhadap korpus tafsīr awal yang tersedia. Pertama, materi tafsīr yang langsung dari sahabat Nabi ternyata tidak sebanyak yang diperkirakan. Sebagian besar berasal dari generasi kedua atau ketiga (tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Selain itu, terdapat banyak atribusi ganda dimana beberapa penafsiran yang sama disandarkan kepada tokoh dari periode yang berbeda, misalnya kepada Ibn Abbas dan tokoh lain dari masa yang lebih belakangan. Kemudian secara umum, terdapat kontradiksi dan inkonsistensi pemikiran dalam korpora tafsīr yang disandarkan kepada tokoh Sahabat tertentu, khususnya Ibn ʿAbbās.
Menurut pemetaan Gorke, para sarjana Barat terbagi dalam menanggapi dan menginterpretasi temuan dari data tersebut, khususnya terkait historisitas isnād yang menjadi tulang punggung otentisitas materi-materi tafsīr awal tersebut. Sebagian, seperti Motzki, Versteegh, dan Zetskin, berpendapat bahwa terlepas dari observasi tersebut, isnad tetap memiliki historisitas dan bukan sekadar back-projection (penyandaran ke belakang untuk melegitimasi). Namun, sarjana lain seperti Wansbrough dan Rippin berpendapat sebaliknya, bahwa temuan-temuan itu menunjukan bahwa isnad sering kali merupakan hasil back-projection, sehingga tafsir-tafsir tersebut tidak dapat dianggap historis.
Metode Gorke untuk Melampaui ICMA
Untuk melampaui perdebatan ini, menurut Görke terdapat beberapa jalan metodologis yang bisa ditempuh. Pertama adalah Isnad-cum-Matn Analysis (ICMA). Prinsip dasar ICMA adalah mengumpulkan berbagai variasi matan dari suatu riwayat dan melacak perkembangan matan tersebut ke belakang untuk sampai pada common link di dalam rantai sanadnya. Menurut Görke, ICMA sebenarnya berguna, sebab setidaknya, metode ini bisa membuktikan bahwa beberapa materi tafsīr bisa dilacak hingga ke akhir abad pertama Hijriyah, dimana kebanyakan para common link hidup.
Namun dalam konteks tafsīr, metode ini kurang efektif sebab berbeda dari hadis-hadis hukum, riwayat-riwayat tafsīr biasanya tidak memiliki banyak varian, sehingga tidak ada banyak ‘matan’’ yang bisa dibandingkan. Belum lagi jika mengingat tujuan Gorke untuk melacak tafsīr hingga ke masa Sahabat, setidaknya di pertengahan abad pertama Hijriyah. ICMA menjadi impoten dan tak bisa lagi melayani ambisi riset Gorke.
Di sinilah Gorke memperkenalkan pendekatannya, yakni metode analisis korpora lengkap. Sederhananya, riset ini melihat pada keseluruhan korpus tafsīr yang disandarkan kepada tokoh tertentu, alih-alih semua variasi dari satu riwayat yang disandarkan ke banyak tokoh. Gorke lalu mengajukan beberapa kriteria yang bisa jadi panduan untuk melihat validitas dari korpus penafsiran tersebut.
Kriteria pertama adalah marginality; artinya penyandaran ke tokoh yang marginal kemungkinan besar lebih autentik, sebab tidak ada alasan pragmatis ataupun ideologis untuk menyandarkan tafsīr kepada mereka. Kriteria ini sebenarnya adalah hasil ‘belajar’ dari kasus Ibn ʿAbbās dalam tafsīr dan Ibn Masʿūd dalam qirāʾāt non-Utsmanik. Karena kedanya sangat kondang dan otoritatif, cukup masuk akal bila banyak riwayat tafsīr dan qirāʾāt yang disandarkan ke kedua tokoh ini sebab membuat riwayat-riwayat itu mudah diterima.
Kriteria kedua adalah konsistensi. Intinya, jika sebuah korpus memang berasal dari satu tokoh, tentu isinya akan lebih koheren dan konsisten. Tidak penuh dengan pertentangan dan kontradiksi. Semakin koheren dan konsisten, maka semakin kecil kemungkinan adanya penyandaran acak (random attribution). Begitu juga penyandaran acak akan menghasilkan korpus yang kontradiktif.
Kriteria ketiga adalah originality. Jika sebuah pemikiran atau tafsīr memiliki karakteristik yang benar-benar orisinal, maka kemungkinan besar pemikiran tersebut memang berasal dari tokoh yang pertama kali menyampaikannya. Orisinalitas menunjukkan bahwa tafsīr tersebut tidak sekadar mengikuti arus pemikiran umum pada masanya, melainkan mencerminkan gagasan baru yang autentik dari tokoh yang bersangkutan. Hal ini memperkuat kemungkinan bahwa penyandaran tersebut sahih, karena sulit untuk memalsukan sesuatu yang benar-benar unik tanpa ada preseden yang jelas.
Kriteria keempat adalah early attestation. Penyandaran yang autentik seharusnya sudah muncul dalam tafsīr-tafsīr awal, bukan tiba-tiba muncul dalam tafsīr-tafsīr yang disusun pada masa yang jauh lebih belakangan. Jika sebuah tafsīr atau qirāʾah hanya ditemukan dalam sumber-sumber yang terlambat, tanpa jejak pada sumber-sumber awal, maka kemungkinan besar penyandaran tersebut diragukan keabsahannya. Autentisitas sebuah riwayat lebih kuat jika dapat dilacak ke masa yang lebih dekat dengan tokoh yang bersangkutan.
Kriteria kelima adalah perbedaan antara pandangan guru dan murid. Jika pandangan yang disandarkan kepada seorang tokoh ternyata identik atau sangat mirip dengan pandangan muridnya, maka ada kemungkinan bahwa penyandaran tersebut keliru. Hal ini karena pandangan yang autentik biasanya menunjukkan perbedaan atau nuansa yang khas antara guru dan murid, mengingat setiap individu cenderung memiliki perspektif atau pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan atau memahami sesuatu.
Kriteria keenam adalah opposition to later views. Jika sebuah tafsīr yang disandarkan kepada tokoh tertentu ternyata bertentangan dengan pandangan yang muncul pada masa yang lebih belakangan, maka kemungkinan besar tafsīr tersebut memang berasal dari masa tokoh tersebut, bukan diciptakan belakangan lalu disandarkan ke tokoh awal. Hal ini karena pandangan yang bertentangan dengan arus pemikiran yang dominan di masa kemudian cenderung sulit untuk direkayasa, sehingga memperkuat dugaan otentisitasnya.
Apliaksi ke al-Barrāʾ b. ʿĀzib (d. 690)
Kriteria-kriteria di atas tentu tidak bisa dijadikan dasar untuk membuat sebuah kesimpulan yang mutlak. Gorke menyadari dan mengakui hal itu. Tapi ia telah berupaya menunjukan kegunaan penelitian berbasis korpus lengkap ini ke dua tokoh dari generasi pasca-Sahabat, yakni Abū Mijlaz dan Urwah b. Zubair. Urainnya tentang Abū Mijlaz pernah pula dibahas di blog ini. Nah kini ia berupaya untuk membawanya lebih jauh ke belakang dengan menguji metode ini ke sosok sahabat Nabi.
Sahabat yang ia pilih adalah al-Barrāʾ b. ʿĀzib (d. 690), seorang sahabat yang dari segi umur bukan termasuk yang paling senior sehingga berumur cukup panjang untuk menjadi guru di Kufah di masa Khulafa Rasyidin. Menurut penelusuran Gorke, dari sisi marginality, justru ketidak penonjolan inilah yang memperkuat dugaan autentisitas. Nama al-Barrāʾ tidak tercatat sebagai salah satu guru tafsīr generasi sahabat dalam biografi-biografi klasik, dan tafsīr yang disandarkan kepadanya hanya beredar secara regional di Kufah. Dengan demikian, kecil kemungkinan ada motif untuk secara sengaja menyandarkan tafsīr kepadanya, karena jauh lebih mudah dan menguntungkan bila disandarkan kepada tokoh besar seperti Ibn ʿAbbās atau Ibn Masʿūd.
Dari aspek konsistensi, tafsīr-tafsīr yang dikaitkan dengan al-Barrāʾ menurut Gorke menunjukkan koherensi yang cukup baik. Misalnya, ketika menafsirkan kata šaṭra dalam QS al-Baqarah, ia secara konsisten menjelaskannya dengan istilah qibali, sebuah parafrase yang sederhana dan lugas. Konsistensi semacam ini menandakan bahwa riwayat-riwayatnya tidak banyak tercampur dengan pendapat lain yang kontradiktif.
Orisinalitas tafsīr al-Barrāʾ juga tampak dalam beberapa contoh. Saat menjelaskan ayat “wa lā tulqū bi-aydīkum ila tahlukah” (QS al-Baqarah: 195), ia menyampaikan tafsīr yang tidak lazim, yaitu bahwa maksud ayat tersebut adalah tentang orang yang berdosa tetapi merasa pasti diampuni sehingga tidak bertobat. Tafsīr ini tidak diterima oleh al-Ṭabarī, tetapi justru di situlah letak orisinalitasnya. Demikian pula ketika ia mengomentari ayat tentang “ṣalātu l-wusṭā” (QS al-Baqarah: 238), menurutnya ayat tersebut telah mengalami naskh, dimana redaksi aslinya adalah ṣalātu l-ʿaṣr. Penafsiran seperti ini memperlihatkan ciri khas yang tidak mudah direkayasa belakangan.
Dalam hal early attestation, memang tafsīr al-Barrāʾ tidak ditemukan dalam karya Mujāhid, tetapi jejaknya ada dalam tafsīr-tafsīr awal lain seperti karya Sufyān dan Yaḥyā b. Sallām. Relasi guru dan murid juga memberi petunjuk penting. Sebagian besar riwayat al-Barrāʾ sampai kepada kita melalui Abū Isḥāq, seorang perawi yang juga meriwayatkan dari tokoh-tokoh besar seperti Ibn ʿAbbās dan Ibn Masʿūd. Namun menariknya, tidak semua riwayat disandarkan kepada dua tokoh besar itu; sebagian tetap dikaitkan dengan al-Barrāʾ. Hal ini menunjukkan bahwa atribusi tersebut memang autentik. Jika riwayat itu sebenarnya milik Ibn ʿAbbās atau Ibn Masʿūd, maka secara pragmatis lebih mudah untuk menisbahkannya langsung kepada mereka.
Adapun dalam konteks opposition to later views, kebanyakan tafsīr al-Barrāʾ akhirnya menjadi bagian dari arus utama, meskipun ada juga yang tidak kanonik. Salah satu contohnya terlihat dalam qirāʾāt. Dalam QS 19:25, ia meriwayatkan bacaan tusāqiṭ yang tidak termasuk dalam qirāʾāt kanonik. Ada pula varian seperti QS 19:24 (man taḥtihā, sarīyan) atau QS 63:4 (khušubun). Meski sebagian bacaan ini kemudian ditinggalkan, keberadaannya justru memperlihatkan bahwa riwayat tersebut berasal dari tradisi awal yang masih cair sebelum kodifikasi qirāʾāt menjadi mapan.
Beberapa tafsīr al-Barrāʾ juga bersifat naratif. Misalnya, dalam menjelaskan QS al-Baqarah:189 tentang larangan masuk rumah dari belakang, ia menuturkan bahwa kebiasaan tersebut dahulu dipraktikkan oleh orang-orang Ansar setelah menunaikan haji. Dalam QS 48:1, ia menafsirkan kata fatḥan mubīnan sebagai peristiwa Perjanjian Ḥudaibiyah, bukan penaklukan Mekah sebagaimana lazim dipahami kemudian. Ia bahkan memiliki pandangan tentang kronologi penutup wahyu, dengan menyatakan bahwa surah terakhir adalah al-Barāʾah dan ayat terakhir adalah QS 4:176.
Gorke juga menambahkan observasi bahwa tafsīr al-Barrāʾ memperlihatkan ciri-ciri yang khas: parafrasenya sederhana dan cenderung lebih “kasar” dibandingkan penafsiran generasi berikutnya, narasinya mengalami elaborasi dalam proses transmisi, sementara sebagian qirāʾāt yang diriwayatkan masih menunjukkan keragaman awal yang kelak disaring oleh tradisi kanonik. Semua ini memperkuat kesimpulan bahwa penafsiran-penafsiran yang dinisbahkan kepadanya kemungkinan besar benar-benar bersumber dari dirinya, mula-mula beredar secara lokal di Kufah, lalu tersebar lebih luas seiring proses kodifikasi tafsīr oleh para ulama sesudahnya.
Kesimpulan Görke dan Implikasinya Untuk Debat Standarisasi Teks al-Qurʾān
Dus, Gorke percaya bahwa kita bisa merekonstruksi penafsiran sahabat Nabi, dalam hal ini al-Barrāʾ b. ʿĀzib. Meskipun jauh dari memastikan dan mematok kebenaran kesimpulannya, tapi Gorke cukup percaya diri pada metode dan hasil yang ia peroleh. Ada implikasi penting dari temuan Gorke ini yang menarik untuk diungkap, meskipun ia sendiri tidak secara eksplisit tapi sebenarnya cukup menarik dan layak ditarik lebih jauh, terutama dalam kaitannya dengan debat lain dalam studi Quran.
Jika laporan bahwa al-Barrāʾ menyebutkan surah bahkan ayat spesifik yang terakhir kali diturunkan dianggap valid benar-benar berasal dari dia, maka temuan ini menguatkan posisi mayoritas sarjana Barat dan posisi tradisional tentang ‘ketertutupan teks’ al-Qurʾān yang cukup awal. Artinya, bagi al-Barrāʾ, al-Qurʾān sudah merupakan sebuah kumpulan teks yang fiks, sehingga jika saja ada tambahan pos-profetik yang baru di era Abdul Malik misalnya, tentulah para sahabat yang masih hidup, seperti al-Barrāʾ akan mengucapkan sesuatu tentangnya. Gorke juga sempat menyinggung qirāʾāt al-Barrāʾ, yang meskipun non-kanonik, tetap sejalan dengan rasm Utsmani. Menurut asumsi Gorke, hal ini bisa berarti bahwa al-Barrāʾ sendiri ‘belajar’ al-Qurʾān menggunakan mushaf Utsmani.
Penutup
Pendekatan dan hasil riset Gorke setidaknya bisa menjadi gambaran tentang bagaimana para sahabat awal memahami al-Qurʾān, yakni dengan parafrase dan pemberian konteks historis, semacam proto-asbābu n-nuzūl. Meskipun Gorke sendiri mungkin termasuk yang skeptik kepada korpus tafsīr Ibn ʿAbbās dan sahabat-sahabat terkenal lainnya (sehingga tidak marginal), tapi kita dapati bahwa banyak dari laporan tafsīr yang disandarkan kepada mereka memiliki karakteristik yang sama. Setidaknya, laporan tafsīr yang demikian bisa ‘dicurigai’ memang autentik.
Tentu semua diskusi di atas hanya muncul sebab para sarjana Barat, dimana Gorke adalah salah satunya, tidak mau menerima saja hasil autentikasi yang dilakukan di dalam tradisi Islam. Menurut Gorke di sesi tanya jawab, sikap inilah yang menjadi pembeda apa yang ia sebut sarjana ‘Barat’ dan sarjana Muslim. Ia sendiri mengaku bahwa istilah ini problematik dan perlu dicarikan alternatif, sebab ada banyak Muslim yang berkiprah dalam kesarjanaan studi Islam Barat. Namun mereka yang Muslim itu pun ‘terpaksa’’ ikut aturan main, yakni tidak boleh begitu saja menerima hasil taṣḥīh berbasis isnād, aturan main inilah yang membuat mereka masuk dalam kategori ‘Barat’. Aturan main ini bernama metode historis-kritis (HCM). Toh temuan Gorke menunjukan bahwa kadang metode dalam tradisi Muslim maupun HCM bisa bertemu di titik-titik tertentu.
Leave a Comment