| 0 Comments | 2174 Views

Card Image

Pembuka

Para sarjana Barat selalu tertarik mengkaji Nabi Muhammad sejak awal mereka bersentuhan dengan Islam. Beliau menjadi sumber inspirasi, ketakutan, kejijikan, dan kekaguman. Penggambaran tentang Nabi Muhamamd pun, menurut John V. Tolan, dalam karyanya European Accounts of Muhammad Life, sering dijadikan sebagai justfikasi invasi militeristik atau imperialistik ke dunia Islam. Pada masa perang Salib, para pengarang-pengarang Eropa menjustifikasi invasi pasukan Salib dengan menggambarkan Nabi sebagai penipu yang menjauhkan orang Arab dari kekristenan. Begitu pula pada masa kolonialisme, sarjana-sarjana Barat pro-kolonial, menggunakan sosok Nabi sebagai pembenaran kepada aktivitas penjajahan Barat di dunia Islam dan penyebaran misi Kristen. Namun demikian, penggambaran Nabi juga mengalami perkembangan dan tidak semuanya negatif. Tolan membagi perkembangan ini ke dalam beberapa fase, sejak abad ke 12 M, hingga abad 21 M ini.

Berhala dan Penipu: Nabi Muhammad dalam Kesarjanaan Latin abad ke-12

Pada penulis Latin di abad ke 12 menggambarkan Nabi Muhammad sebagai sebuah berhala yang disembah oleh orang-orang Muslim (mereka sebut saracens). Dalam literatur-literatur tersebut, Nabi Muhammad secara keliru dianggap sebagai salah satu dari unholy trinity yang disembah oleh orang Islam, selain dewa Appolin, dan dewi Tervagant. Salah satu contoh literatur semacam ini adalah Chanson de Roland, atau Song of Roland yang dikarang oleh  Hrotsvitha of Gandersheim, seorang biarawati Prancis. Dalam tulisan tersebut, Sultan Abdulrahman III, khalifah Umayyah Andalus, digambarkan sujud kepada tiga dewa tersebut. Ketika pasukannya dikalahkan oleh pasukan Charles Martel, orang-orang Muslim lalu membuang berhala-berhala mereka. Salah satu berhala yang dibuang adalah “Mahomet”.

Selain itu, Nabi Muhammad juga kadang digambarkan sebagai trickster, atau penipu licik yang berhasil mengelabui orang-orang Arab. Dalam narasi ini, Nabi dipersepsikan sebagai seorang penipu ulung yang menjauhkan orang-orang Arab dari ajaran Kristen dengan cara membuat-buat mukjizat palsu. Salah satu penulis, Gautier de Compiegne, pengarang buku Otia de Machometi membuat sebuah gambaran yang cukup konyol. Menurut Gautier, Nabi Muhammad (disebut sebagai Machometi) melatih hewan-hewan tertentu untuk menunjukan dirinya sebagi utusan Tuhan. Ia misalnya melatih kerbau (ox) untuk mebawa sebuah kitab di tanduknya, ia lalu mengumpulkan orang-orang Arab dan menunjukan bahwa kerbau itu membawa kitab dari Tuhan. Ia juga melatih merpati yang disuruhnya berdiri di pundak. Merpati itu diklaimnya sebagai penjelmaan roh kudus atau malaikat Jibril.

Penggambaran seperti di atas, menurut John Tolan, muncul karena orang-orang Eropa ketika itu merasa terancam oleh eksistensi kekuatan-kekuatan politik Islam, semisal Dinasti Umayyah Andalusia. Para penulis dalam bahasa Latin itu sengaja fokus untuk menjelek-jelekan dan menghina Nabi Muhammd, bukannya menyerang ide ajaran Islam. Hal itu dilakukan agar para pembaca mereka tidak begitu mempedulikan isi dari ajaran Islam, sebab Islam digambarkan sebagai hasil tipu daya yang konyol.

Serangan Terpelajar: Mendebat Muhammad di abad 12-15 Eropa

Dari sekitar abad ke-12 hingga 15, muncul pula penulis-penulis yang mencoba fokus untuk menyerang ajaran Islam. Meskipun begitu, tetap saja, sosok Nabi Muhammad menjadi inti dari polemik mereka. Corak polemik ini, oleh John Tolan disebut learned assault, sebab mereka mengambil strategi yang lebih akademik. Tidak sekedar menghina dengan karikaturis. Salah satu karya yang populer pada masa ini adalah terjemahan dari sebuah kitab berbahasa Arab berjudul Risalah al-Kindi. Karya ini berisi dialog polemis antara seorang Kristen Arab, bernama Abdul Masih al-Kindi dan seorang Muslim bernama Abdullah al-Hasyimi. Karya ini menggunakan sumber-sumber Islam sendiri, tapi diinterpretasikan dan diserang dari perspektif Kristen. Risalah al-Kindi cukup populer di kalangan Krsiten berbahasa Arab di Andalus dan diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa.

Karya lainnya yang muncul dalam milieu ini adalah tulisan Ramon Martı bertajuk De seta machometi, ditulis sebelum tahun 1257. Marti adalah seorang rohaniawan ordo Dominican yang mempelajari Islam dari submer-sumber berbahasa Arab. Namun ia tetap membaca sumber-sumber tersebut dari perspektif Kristen dan menilainya dari biasnya sendiri, hasilnya adalah De seta. Dalam karya ini, Marti fokus pada dua topik, pertama menggugat kerasulan Nabi Muhammad dan membela Bible dari tuduhan distorsi. Pada bagian pertama, dia banyak fokus kepada kehidupan seksual Nabi dan ajaran Islam terkait seks dan seksualitas. Sebagai seorang rohaniawan yang hidup selibat (tidak kawin), tentu ajaran Islam yang cukup positif terkait seks dan seksualitas tampak menjijikan bagi Marti. Dia sengaja fokus kepada hal-hal yang akan mengangetkan audiens Eropa seperti poligami dan penggambaran surga berisi bidadari. Bagi orang Kristen selibat seperti Marti, hal-hal itu sungguh bertentangan dengan ide tentang kesucian. Ia bahkan menganggap Islam membolehkan homoseksualitas sebab pembuktiannya yang cukup sulit (butuh empat saksi), sehingga orang-orang Islam akan bebas saja melakukannya.

“Mahomet” Di tengah wacana anti-Turki, anti-Deis, dan pro-Kolonial (Abad 16 hingga 17)

Pada abad ke-16 hingga 17, Eropa mengalami dua dinamika yang turut mempengaruhi persepsi intelektual-intelektual Eropa terhadap Nabi Muhammad. Pertama adalah semakin menguatnya kesultanan Turki Usmaniyyah yang gencar melalukan penaklukan dan ekspansi ke jantung Eropa. Pada masa ini, istilah Turk menjadi sinonim dengan Muslim, dan kerap menjadi istilah untuk menggambarkan hal-hal buruk. Tentu saja, serangan kepada Muslim atau Turki, akan sering berfokus kepada sosok Nabi Muhammad. Dinamika kedua adalah mulai munculnya intelektual-intelektual anti agama terorganisir (organized relgion), misalnya gerakan kaum Deis. Intelektua-intelektual ini kerap menyerang semua agama, terutama Islam, Kristen dan Yahudi. Banyak intelektual Krsiten yang kemudian bangkit melawan orang-orang Deis itu.

Salah satu karya Deis yang dengan keras menyerang agama-agama monoteisme adalah sebuah risalah anonim berjudul Le traite des’ trois imposteurs (The Treatise of the Three Impostors). Risalah ini menggunakan cara-cara serangan orang Kristen kepada Nabi Muhammad, tapi juga menerapkannya kepada Yesus dan Moses. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa baik Muslim, Kristen, maupun Yahudi, intinya sama saja. Sama-sama pengikut seorang penipu (imposter). Merespon tren ini, seorang intelektual Kristen Anglikan, Humphrey Prideaux, menulis The True Nature of The Imposture Fully Display’d in the Life of Mahomet (1697). Dalam karyanya ini, Prideaux ingin menegaskan bahwa penipu yang sesungguhnya adalah Muhammad.

Selain itu, di periode ini, muncul pula penulis-penulis pro-penjajahan yang menggunakan persepsi negatif tentang Muhammad untuk membenarkan penjajahan. Salah satu yang terkanl adalah William Muir (1819–1905). Ia menuliskan karya tentang hidup Nabi dalam empat volume. Muir menggunakan sumber-sumber Islam, tapi menilainya dari subjektifitasnya sendiri. Selain itu, motif imperialis juga tidak ia sembunyikan. Menurut Muir, ekspansi imperium Britania Raya tidak boleh berhenti sampai jutaan rakyat taklukannya di Timur meninggalkan Mahomet si Rasul Palsu dan memasuki cahaya yang telah dibawa oleh Gospel.

Muhammad Sang Reformer, Negarawan Ulung, dan Manusia Suci (abad 18)

Pada abad ke-18, muncul corak baru dalam melihat Nabi Muhammad di kalangan sarjana Eropa, sebuah corak yang lebih positif. Sarjana-sarjana ini melihat beliau sebagai pembawa pembaruan kehidupan beragama, peletak kehidupan berasas hukum, dan seorang negarawan hebat. Di antara sarjana yang masuk dalam kategori ini adalah penulis Prancis, Henri, Count of Boulainvilliers dalam karyanya yang berjudul the Vie de Mahomed, terbit pada tahun 1730.

Dalam tulisansnya ini, Henri secara langsung merespon penulis-penulis Eropa yang menggambarkan Nabi Muhammad secara negatif, misalnya Prideaux. Bagi Henri, ajaran Muhammad sama sekali tidak irasional seperti tuduhan para polemisis Kristen. Justru, ajaran Islam dianggapnya mengambil semua yang baik dari Kekristenan dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik, termasuk hal-hal irasional seperti ajaran tentang relik keramat dan kerahiban. Penggambaran simaptik dari Henri kemungkinan sama kasusnya dengan Voltaire, yakni sama-sama berangkat dari motif untuk mengkritik, bahkan menyerang gereja katolik. Itulah sebabnya, tulisan Henri dilarang di sejumlah negara Katolik tapi diterbitkan di London dan Amsterdam yang dominan Protenstan.

Penulis lainnya yang juga memberikan gambaran yang positif tentang Nabi Muhammad adalah sejarawan ulung, Edward Gibbon dalam bukunya Decline and Fall of the Roman Empire. Dalam buku tentang keruntuhan Romawi itu, Gibbon menuliskan secara panjang lebar tentang kemunculan Islam dan karir kenabian Muhammad. Meskipun bagi Gibbon, sumber inspirasi Nabi Muhammad bukanlah sesuatu yang heavenly (surgawi), tapi Gibbon mengakui dan mengagumi kesuskesan Nabi sebagai reformer bangsa Arab. Al-Qur’an juga disebutnya mampu medemonstrasikan keesan Tuhan dengan baik dan elegan. Salah satu aspek ajaran Islam yang dikagumi Gibbon adalah zakat yang dianggapnya bentuk kepedulian kepada orang miskin.

Salah satu bukti dari semangat kesarjanaan ini yang hingga kini masih terlihat adalah relief Nabi Muhammad yang dipajang di gedung Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat. Relief tersebut dibuat oleh pematung Amerika kelahiran Jerman, Adolph A. Weinman, pada 1935 sebagai pengakuan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad sebagai salah satu lawgiver umat manusia. Weinman menggambarkan Nabi memegang Al-Qur’an dan sebilah pedang, berdiri di antara Justinian, peletak hukum Kekaisran Bizantium dan Charlemagne, peletak hukum Kekaisaran Romawi Suci.

Muhammad Sebagai Pembawa Kebenaran Parsial dan Rasul Abrahamik (Abad 20-21)

Para penulis yang menggambarkan Nabi sebagai negarawan atau peletak hukum umat manusia umumnya tidak mengakui unsur ketuhanan dalam karir beliau. Nabi Muhammad memang sosok yang brilian, tapi itu karena kehebatannya sebagai manusia biasa, bukan karena petunjuk ilahi. Barulah pada abad ke-20, muncul beberapa sarjana Kristen yang sampai mengakui aspek ketuhanan dalam risalah Nabi Muhammad saw. Mereka mengakuinya sebagai seorang yang mendapatkan wahyu dari Tuhan sehingga juga membawa kebenaran. Kadar pengakuan mereka berbeda-beda, ada yang menanggap Islam sebagai ekspresi tak sempurna dari kebenaran itu, - menjadi sempurna jika Muslim menerima Kekristenan, tapi ada pula yang menganggap Islam membawa kebenaran tersendiri yang tidak lebih rendah ataupun superior dari kebenaran Kristen.

Corak pertama misalnya tampak dalam karya-karya Luis Massignon dan muridnya Giulio Basetti-Sani. Salah satu karya Basetti-Sani yang membahas hal ini adalah The Koran in the light of Christ. Sedangkan pengakuan kepada Islam sebagai sebuah jalan keselamatan tersendiri tampak dalam tulisan-tulisan Hans Kung dan Montgomery Watt. Hans Kung bahkan mengkritik deklarasi Vatikan II yang meskipun berisi seruan damai kepada agama-agama besar dunia, utamanya Yahudi dan Islam, tapi sama sekali tidak menyebut nama Nabi Muhammad. Bagi Kung, jika memang Gereja Katolik ingin menghormati Islam sebagai sebuah agama, maka kerasulan Muhammad haruslah diakui.

Penutup

Dari uraian di atas tampak bahwa sosok Nabi Muhammad saw tidaklah seragam penggambarannya dalam kesarjanaan Barat. Perubahan-perubahan persepsi tersebut muncul karena dua faktor. Pertama adalah faktor relasi atau konflik antara kekuatan-kekuatan politik Barat dengan dunia Islam. Ketika konflik-konflik itu sedang memanas, baik Islam sedang di atas angin seperti pada masa serangan Umayyah Andalusia ke Perancis dan ekspansi Usmaniyyah, ataupun umat Islam sedang terpojok seperti di puncak kolonialisme Eropa, penggambaran Nabi menjadi sumber legitimasi dan alat agitasi untuk memenangkan konflik itu.

Faktor lainnya yang mempengaruhi penggambaran sosok Nabi adalah konflik ideologi di kalangan orang Barat sendiri. Seperti tampak pada tulisan Voltaire, Henri Count of Boulainvilliers, dan Humphrey Prideaux, sosok Nabi Muhammad sering menjadi instrumen dalam perdebatan internal orang Eropa. Voltaire dan Henri memuji-muji Nabi sebagai bagian dari polemik dan serangan mereka terhadap gereja Katolik, sedangkan Prideaux menyerang Nabi sebagai strategi membela Kekristenan dari serangan kaum Deis.

 Meskipun pada tulisan di atas, tampaknya semakin hari sosok Nabi dalam kesarjanaan Barat makin diapresiasi, tapi sebenarnya semua corak di atas masih ada secara simultan hingga hari ini. Pada abad ke-21 ini, memang muncul sarjana yang sangat apresiatif, bahkan pluralis seperti Hans Kung, atau sekedar mengakui kenegarawanannya seperti Juan Cole dalam Muhammad: Prophet of Peace Amid the Clash of Empires. Namun masih saja ada banyak sekali persepsi negatif yang tidak banyak berubah dari rekaan-rekaan konyol ala Gautier di abad ke-12 dulu. Hanya saja, semakin tampak bahwa persepsi-perspesi negatif itu muncul dari luar lingkungan akademia, sedangkan penggambaran yang lebih objektif biasanya muncul dari publikasi-publikasi ilmiyah.

 

 

 



[1] Tulisan ini merupakan ringkasan dan saduran dari Tolan, John V. "II European accounts of Muhammad’s life." The Cambridge Companion to Muhammad 226 (2010). Diringkas oleh Ayub, pengampu mata kuliah Oreintalisme dan Oksidentalisme.


Leave a Comment