| 0 Comments | 3410 Views
Pembuka
Para sarjana Barat selalu tertarik mengkaji
Nabi Muhammad sejak awal mereka bersentuhan dengan Islam. Beliau menjadi sumber
inspirasi, ketakutan, kejijikan, dan kekaguman. Penggambaran tentang Nabi
Muhamamd pun, menurut John V. Tolan, dalam karyanya European Accounts of
Muhammad Life, sering dijadikan sebagai justfikasi invasi militeristik atau
imperialistik ke dunia Islam. Pada masa perang Salib, para pengarang-pengarang
Eropa menjustifikasi invasi pasukan Salib dengan menggambarkan Nabi sebagai
penipu yang menjauhkan orang Arab dari kekristenan. Begitu pula pada masa
kolonialisme, sarjana-sarjana Barat pro-kolonial, menggunakan sosok Nabi
sebagai pembenaran kepada aktivitas penjajahan Barat di dunia Islam dan
penyebaran misi Kristen. Namun demikian, penggambaran Nabi juga mengalami
perkembangan dan tidak semuanya negatif. Tolan membagi perkembangan ini ke
dalam beberapa fase, sejak abad ke 12 M, hingga abad 21 M ini.
Berhala dan Penipu: Nabi Muhammad dalam
Kesarjanaan Latin abad ke-12
Pada penulis Latin di abad ke 12 menggambarkan
Nabi Muhammad sebagai sebuah berhala yang disembah oleh orang-orang Muslim
(mereka sebut saracens). Dalam literatur-literatur tersebut, Nabi
Muhammad secara keliru dianggap sebagai salah satu dari unholy trinity yang
disembah oleh orang Islam, selain dewa Appolin, dan dewi Tervagant. Salah satu
contoh literatur semacam ini adalah Chanson de Roland, atau Song of
Roland yang dikarang oleh Hrotsvitha
of Gandersheim, seorang biarawati Prancis. Dalam tulisan tersebut, Sultan
Abdulrahman III, khalifah Umayyah Andalus, digambarkan sujud kepada tiga dewa
tersebut. Ketika pasukannya dikalahkan oleh pasukan Charles Martel, orang-orang
Muslim lalu membuang berhala-berhala mereka. Salah satu berhala yang dibuang
adalah “Mahomet”.
Selain itu, Nabi Muhammad juga kadang
digambarkan sebagai trickster, atau penipu licik yang berhasil
mengelabui orang-orang Arab. Dalam narasi ini, Nabi dipersepsikan
sebagai seorang penipu ulung yang menjauhkan orang-orang Arab dari ajaran
Kristen dengan cara membuat-buat mukjizat palsu. Salah satu penulis, Gautier de
Compiegne, pengarang buku Otia de Machometi membuat sebuah gambaran yang
cukup konyol. Menurut Gautier, Nabi Muhammad (disebut sebagai Machometi)
melatih hewan-hewan tertentu untuk menunjukan dirinya sebagi utusan Tuhan. Ia
misalnya melatih kerbau (ox) untuk mebawa sebuah kitab di tanduknya, ia
lalu mengumpulkan orang-orang Arab dan menunjukan bahwa kerbau itu membawa
kitab dari Tuhan. Ia juga melatih merpati yang disuruhnya berdiri di pundak.
Merpati itu diklaimnya sebagai penjelmaan roh kudus atau malaikat Jibril.
Penggambaran seperti di atas, menurut John
Tolan, muncul karena orang-orang Eropa ketika itu merasa terancam oleh
eksistensi kekuatan-kekuatan politik Islam, semisal Dinasti Umayyah Andalusia.
Para penulis dalam bahasa Latin itu sengaja fokus untuk menjelek-jelekan dan
menghina Nabi Muhammd, bukannya menyerang ide ajaran Islam. Hal itu dilakukan
agar para pembaca mereka tidak begitu mempedulikan isi dari ajaran Islam, sebab
Islam digambarkan sebagai hasil tipu daya yang konyol.
Serangan Terpelajar: Mendebat Muhammad di abad
12-15 Eropa
Dari sekitar abad ke-12 hingga 15, muncul pula
penulis-penulis yang mencoba fokus untuk menyerang ajaran Islam. Meskipun
begitu, tetap saja, sosok Nabi Muhammad menjadi inti dari polemik mereka. Corak
polemik ini, oleh John Tolan disebut learned assault, sebab mereka
mengambil strategi yang lebih akademik. Tidak sekedar menghina dengan
karikaturis. Salah satu karya yang populer pada masa ini adalah terjemahan dari
sebuah kitab berbahasa Arab berjudul Risalah al-Kindi. Karya ini berisi
dialog polemis antara seorang Kristen Arab, bernama Abdul Masih al-Kindi dan
seorang Muslim bernama Abdullah al-Hasyimi. Karya ini menggunakan sumber-sumber
Islam sendiri, tapi diinterpretasikan dan diserang dari perspektif Kristen. Risalah
al-Kindi cukup populer di kalangan Krsiten berbahasa Arab di Andalus dan
diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa.
Karya lainnya yang muncul dalam milieu ini
adalah tulisan Ramon Martı bertajuk De seta machometi, ditulis sebelum
tahun 1257. Marti adalah seorang rohaniawan ordo Dominican yang mempelajari
Islam dari submer-sumber berbahasa Arab. Namun ia tetap membaca sumber-sumber
tersebut dari perspektif Kristen dan menilainya dari biasnya sendiri, hasilnya
adalah De seta. Dalam karya ini, Marti fokus pada dua topik, pertama
menggugat kerasulan Nabi Muhammad dan membela Bible dari tuduhan distorsi. Pada
bagian pertama, dia banyak fokus kepada kehidupan seksual Nabi dan ajaran Islam
terkait seks dan seksualitas. Sebagai seorang rohaniawan yang hidup selibat
(tidak kawin), tentu ajaran Islam yang cukup positif terkait seks dan
seksualitas tampak menjijikan bagi Marti. Dia sengaja fokus kepada hal-hal yang
akan mengangetkan audiens Eropa seperti poligami dan penggambaran surga berisi
bidadari. Bagi orang Kristen selibat seperti Marti, hal-hal itu sungguh
bertentangan dengan ide tentang kesucian. Ia bahkan menganggap Islam
membolehkan homoseksualitas sebab pembuktiannya yang cukup sulit (butuh empat
saksi), sehingga orang-orang Islam akan bebas saja melakukannya.
“Mahomet” Di tengah wacana anti-Turki,
anti-Deis, dan pro-Kolonial (Abad 16 hingga 17)
Pada abad ke-16 hingga 17, Eropa mengalami dua
dinamika yang turut mempengaruhi persepsi intelektual-intelektual Eropa
terhadap Nabi Muhammad. Pertama adalah semakin menguatnya kesultanan Turki
Usmaniyyah yang gencar melalukan penaklukan dan ekspansi ke jantung Eropa. Pada
masa ini, istilah Turk menjadi sinonim dengan Muslim, dan kerap menjadi
istilah untuk menggambarkan hal-hal buruk. Tentu saja, serangan kepada Muslim
atau Turki, akan sering berfokus kepada sosok Nabi Muhammad. Dinamika kedua
adalah mulai munculnya intelektual-intelektual anti agama terorganisir (organized
relgion), misalnya gerakan kaum Deis. Intelektua-intelektual ini kerap
menyerang semua agama, terutama Islam, Kristen dan Yahudi. Banyak intelektual
Krsiten yang kemudian bangkit melawan orang-orang Deis itu.
Salah satu karya Deis yang dengan keras
menyerang agama-agama monoteisme adalah sebuah risalah anonim berjudul Le
traite des’ trois imposteurs (The Treatise of the Three Impostors). Risalah
ini menggunakan cara-cara serangan orang Kristen kepada Nabi Muhammad, tapi
juga menerapkannya kepada Yesus dan Moses. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa
baik Muslim, Kristen, maupun Yahudi, intinya sama saja. Sama-sama pengikut
seorang penipu (imposter). Merespon tren ini, seorang intelektual
Kristen Anglikan, Humphrey Prideaux, menulis The True Nature of The
Imposture Fully Display’d in the Life of Mahomet (1697). Dalam karyanya
ini, Prideaux ingin menegaskan bahwa penipu yang sesungguhnya adalah Muhammad.
Selain itu, di periode ini, muncul pula
penulis-penulis pro-penjajahan yang menggunakan persepsi negatif tentang
Muhammad untuk membenarkan penjajahan. Salah satu yang terkanl adalah William
Muir (1819–1905). Ia menuliskan karya tentang hidup Nabi dalam empat volume.
Muir menggunakan sumber-sumber Islam, tapi menilainya dari subjektifitasnya
sendiri. Selain itu, motif imperialis juga tidak ia sembunyikan. Menurut Muir,
ekspansi imperium Britania Raya tidak boleh berhenti sampai jutaan rakyat
taklukannya di Timur meninggalkan Mahomet si Rasul Palsu dan memasuki
cahaya yang telah dibawa oleh Gospel.
Muhammad Sang Reformer, Negarawan Ulung, dan
Manusia Suci (abad 18)
Pada abad ke-18, muncul corak baru dalam
melihat Nabi Muhammad di kalangan sarjana Eropa, sebuah corak yang lebih
positif. Sarjana-sarjana ini melihat beliau sebagai pembawa pembaruan kehidupan
beragama, peletak kehidupan berasas hukum, dan seorang negarawan hebat. Di
antara sarjana yang masuk dalam kategori ini adalah penulis Prancis, Henri, Count of
Boulainvilliers dalam karyanya
yang berjudul the Vie de Mahomed, terbit pada tahun 1730.
Dalam tulisansnya ini, Henri secara langsung
merespon penulis-penulis Eropa yang menggambarkan Nabi Muhammad secara negatif,
misalnya Prideaux. Bagi Henri, ajaran Muhammad sama sekali tidak irasional
seperti tuduhan para polemisis Kristen. Justru, ajaran Islam dianggapnya
mengambil semua yang baik dari Kekristenan dan meninggalkan hal-hal yang tidak
baik, termasuk hal-hal irasional seperti ajaran tentang relik keramat dan
kerahiban. Penggambaran simaptik dari Henri kemungkinan sama kasusnya dengan
Voltaire, yakni sama-sama berangkat dari motif untuk mengkritik, bahkan
menyerang gereja katolik. Itulah sebabnya, tulisan Henri dilarang di sejumlah
negara Katolik tapi diterbitkan di London dan Amsterdam yang dominan Protenstan.
Penulis lainnya yang juga memberikan gambaran
yang positif tentang Nabi Muhammad adalah sejarawan ulung, Edward Gibbon dalam bukunya Decline and Fall of the Roman Empire. Dalam buku tentang keruntuhan Romawi itu, Gibbon menuliskan secara panjang
lebar tentang kemunculan Islam dan karir kenabian Muhammad. Meskipun bagi
Gibbon, sumber inspirasi Nabi Muhammad bukanlah sesuatu yang heavenly (surgawi),
tapi Gibbon mengakui dan mengagumi kesuskesan Nabi sebagai reformer bangsa
Arab. Al-Qur’an juga disebutnya mampu medemonstrasikan keesan Tuhan dengan baik
dan elegan. Salah satu aspek ajaran Islam yang dikagumi Gibbon adalah zakat
yang dianggapnya bentuk kepedulian kepada orang miskin.
Salah satu bukti dari semangat kesarjanaan ini
yang hingga kini masih terlihat adalah relief Nabi Muhammad yang dipajang di gedung
Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat. Relief tersebut dibuat
oleh pematung Amerika kelahiran Jerman, Adolph A. Weinman, pada 1935 sebagai
pengakuan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad sebagai salah satu lawgiver umat
manusia. Weinman menggambarkan Nabi memegang Al-Qur’an dan sebilah pedang,
berdiri di antara Justinian, peletak hukum Kekaisran Bizantium dan Charlemagne,
peletak hukum Kekaisaran Romawi Suci.
Muhammad Sebagai Pembawa Kebenaran Parsial dan
Rasul Abrahamik (Abad 20-21)
Para penulis yang menggambarkan Nabi sebagai
negarawan atau peletak hukum umat manusia umumnya tidak mengakui unsur
ketuhanan dalam karir beliau. Nabi Muhammad memang sosok yang brilian, tapi itu
karena kehebatannya sebagai manusia biasa, bukan karena petunjuk ilahi. Barulah
pada abad ke-20, muncul beberapa sarjana Kristen yang sampai mengakui aspek
ketuhanan dalam risalah Nabi Muhammad saw. Mereka mengakuinya sebagai seorang
yang mendapatkan wahyu dari Tuhan sehingga juga membawa kebenaran. Kadar
pengakuan mereka berbeda-beda, ada yang menanggap Islam sebagai ekspresi tak
sempurna dari kebenaran itu, - menjadi sempurna jika Muslim menerima
Kekristenan, tapi ada pula yang menganggap Islam membawa kebenaran tersendiri
yang tidak lebih rendah ataupun superior dari kebenaran Kristen.
Corak pertama misalnya tampak dalam
karya-karya Luis Massignon dan muridnya Giulio Basetti-Sani. Salah satu karya
Basetti-Sani yang membahas hal ini adalah The Koran in the light of Christ. Sedangkan
pengakuan kepada Islam sebagai sebuah jalan keselamatan tersendiri tampak dalam
tulisan-tulisan Hans Kung dan Montgomery Watt. Hans Kung bahkan mengkritik
deklarasi Vatikan II yang meskipun berisi seruan damai kepada agama-agama besar
dunia, utamanya Yahudi dan Islam, tapi sama sekali tidak menyebut nama Nabi
Muhammad. Bagi Kung, jika memang Gereja Katolik ingin menghormati Islam sebagai
sebuah agama, maka kerasulan Muhammad haruslah diakui.
Penutup
Dari uraian di atas tampak bahwa sosok Nabi
Muhammad saw tidaklah seragam penggambarannya dalam kesarjanaan Barat. Perubahan-perubahan
persepsi tersebut muncul karena dua faktor. Pertama adalah faktor relasi atau
konflik antara kekuatan-kekuatan politik Barat dengan dunia Islam. Ketika
konflik-konflik itu sedang memanas, baik Islam sedang di atas angin seperti
pada masa serangan Umayyah Andalusia ke Perancis dan ekspansi Usmaniyyah,
ataupun umat Islam sedang terpojok seperti di puncak kolonialisme Eropa,
penggambaran Nabi menjadi sumber legitimasi dan alat agitasi untuk memenangkan
konflik itu.
Faktor lainnya yang mempengaruhi penggambaran
sosok Nabi adalah konflik ideologi di kalangan orang Barat sendiri. Seperti
tampak pada tulisan Voltaire, Henri Count of Boulainvilliers, dan Humphrey Prideaux, sosok Nabi Muhammad
sering menjadi instrumen dalam perdebatan internal orang Eropa. Voltaire dan
Henri memuji-muji Nabi sebagai bagian dari polemik dan serangan mereka terhadap
gereja Katolik, sedangkan Prideaux menyerang Nabi sebagai strategi membela Kekristenan
dari serangan kaum Deis.
Meskipun pada tulisan di atas, tampaknya semakin hari sosok Nabi dalam kesarjanaan Barat makin diapresiasi, tapi sebenarnya semua corak di atas masih ada secara simultan hingga hari ini. Pada abad ke-21 ini, memang muncul sarjana yang sangat apresiatif, bahkan pluralis seperti Hans Kung, atau sekedar mengakui kenegarawanannya seperti Juan Cole dalam Muhammad: Prophet of Peace Amid the Clash of Empires. Namun masih saja ada banyak sekali persepsi negatif yang tidak banyak berubah dari rekaan-rekaan konyol ala Gautier di abad ke-12 dulu. Hanya saja, semakin tampak bahwa persepsi-perspesi negatif itu muncul dari luar lingkungan akademia, sedangkan penggambaran yang lebih objektif biasanya muncul dari publikasi-publikasi ilmiyah.
[1] Tulisan ini merupakan
ringkasan dan saduran dari Tolan, John V. "II European accounts of
Muhammad’s life." The Cambridge Companion to Muhammad 226 (2010).
Diringkas oleh Ayub, pengampu mata kuliah Oreintalisme dan Oksidentalisme.
Leave a Comment