| 0 Comments | 386 Views

Saya bersyukur mendapatkan kesempatan beasiswa kursus bahasa Inggris Intensif di IALF berkat donasi dari Kemenag. Satu hal yang pasti, saya tidak akan pernah bermimpi untuk mengalokasi begitu besar budget untuk kursus bahasa Inggris. Kursus IALF itu muahhhaalll sekali saudara-saudara. Apalagi dengan kondisi Rupiah yang semakin hari semakin menyusut ini; seperti kerupuk yang disirami kuah soto, tinggal nunggu dimakan sama pelanggan. Konon katanya instruktur di sini digaji dengan Dollar. Wajar aja biasa kursusnya mahal.

Dari situ, saya ingin menuliskan sedikit hal tentang bahasa, terutama bagi para pelajar/mahasiswa studi agama Islam, seperti saya. Pertanyaannya, apakah seorang pelajar agama Islam memerlukan bahasa Inggris?

Al-Quran diturunkan di tanah Arab, berbahasa Arab. Siapapun yang hendak mempelajari Al-Quran tentu harus mempelajari bahasa Arab. Ini hanya konsekuensi logis saja. Bukan hanya itu, semua disiplin ilmu keislaman (sebenarnya hingga taraf tertentu saya kurang setuju dengan dikhotomi ilmu umum dan ilmu Islam) adalah turunan dari Al-Quran. Artinya, bahasa dasar semua ilmu tersebut juga bahasa Arab. Jadi jangan mengaku paling alim dan berilmu tentang Islam jika tidak bisa bahasa Arab. Apalagi jika hanya belajar lewat buku terjemahan dan media sosial.

Bagaimana dengan bahasa Inggris?

Saat ini, lingua franca dunia adalah bahasa Inggris. Jadi, jika kita bisa berbahasa Inggris, kita akan mendapatkan banyak keuntungan. Kemanapun kita berkunjung, kita akan menemui label berbahasa Inggris menemani bahasa lokal, mulai dari ‘Masuk-In’ atau ‘Out-keluar’ hingga ‘No Smoking Area-Dilarang Merokok.’ Ketika jarak geografis disemukan oleh internet, dan sementara teknologi-teknologi yang berkaitan dengannya sebagian besar beroperasi menggunakan bahasa Inggris, maka tiada jalan lain untuk mengambil manfaat darinya selain dengan bahasa Inggris. Oleh sebab itu, sebagai manusia yang lahir dan hidup pada abad ini, bahasa Inggris adalah keharusan.

Iya, saya, Anda, dia, atau mereka sebagai manusia yang hidup pada zaman ini, bahasa Inggris. Lantas, bagaimana dengan saya, Anda, dia, atau mereka adalah manusia yang hidup pada zaman ini, dan pada saat yang sama adalah pelajar agama Islam; seberapa butuhkah terhadap bahasa Inggris? Tidak cukupkah bahasa Arab?

Saya ingin menjawab, sebagai pelajar agama Islam, saya, Anda, dia, atau mereka lebih butuh lagi terhadap bahasa Inggris sebagaimana bahasa Arab. Mengapa demikian? Berikut saya tuliskan dua alasan.

Pertama, sebagaimana dalam postingan beberapa bulan yang lalu tentang mengapa belajar Al-Quran ke Barat, saya menggambarkan bahwa dalam sejarahnya, Al-Quran tidak hanya bersinggungan dengan umat Islam. Bahkan sejak abad pertengahan telah ditemukan non-Muslim yang melakukan studi terhadap Al-Quran. Pada abad 16, Martin Luther menyebut bahwa umat Kristen perlu melihat Al-Quran, untuk melihat bagaimana kitab lain berbicara tentang trinitas. Pada abad 19, sejumlah sarjana Eropa melakukan studi serius terhadap Al-Quran, baik dengan bahasa Jerman maupun bahasa Inggris. Hingga saat ini, kita masih menemukan begitu banyak penelitian, buku, atau artikel yang berbasiskan bahasa Inggris, baik yang ditulis oleh Muslim maupun non-Muslim. Mungkin masyarakat umum tidak perlu tahu sejauh itu. Bagi mereka, ilmu-ilmu dasar praktikal seperti fiqh thaharah, shalat, dan semacamnya sudah cukup. Tapi bagi pelajar Al-Quran? Harus, tentu saja.

Kedua,kita akrab mendengar cerita bahwa ketika perang Salib, perpustakaan di Baghdad dihancurkan dan buku-bukunya ikut dimusnahkan, sehingga air sungai berubah menjadi hitam karena tinta. Perlu digarisbawahi, informasi tersebut disampaikan oleh sya’ir-sya’ir abad pertengahan. Sya’ir seringkali menggunakan hiperbola yang berlebihan. Namanya juga sya’ir. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Buku-buku tersebut dibawa ke Eropa. Begitu juga pada masa kolonialisme. Eropa yang mengaku perberadaban tercerahkan bertanggung jawab mencerahkan penduduk Timur. Tapi itu berkait-kelindan dengan misi kolonialisasi, apa lagi jika bukan eksploitasi natural resources. Ketika itu pun, bangsa Eropa, kaum penjajah juga mengambil dan menyimpan manuskrip-manuskrip di wilayah jajahannya. Saat ini Jerman banyak menyimpan naskah-naskah dari Arab sebagaimana Belanda melakukan hal yang sama untuk Indonesia. Bukan hanya Belanda, saat ini ada sekitar 4000 naskah berbahasa Indonesia, Melayu, Jawa, dan sebagainya di Berlin. Naskah-naskah tersebut diteliti dan direkam dengan bahasa Inggris. Jadi, bangsa Eropa sana lebih banyak mempelajari kita orang Timur daripada diri kita sendiri. Sebagai jembatan untuk akses itu, tentu kita butuh bukan hanya bahasa Inggris, tapi juga bahasa-bahasa Eropa lainnya. Saya sarankan Anda membaca buku Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi, karya terbaru Bapak Al-Makin. Mungkin Anda akan mendapatkan gambaran lebih baik.

Begitu pentingnya mempelajari bahasa, saya teringat dengan salah seorang dosen, Pak Sahiron Syamsuddin, yang selalu mengajak mahasiswanya untuk ‘bertaubat bahasa.’ Jika perlu, bukan hanya Arab dan Inggris, mahasiswa juga sebaiknya mempelajari bahasa Jerman, Perancis, Belanda, dan sebagainya. Dengan gaya yang khas, ia membaca ‘ya ayyuhallazina amanu kutiba ‘alaikum ta’allum al-lughah al-‘arabiyyah wa al-injiliziyyah’ seolah ia sedang membaca Al-Quran. Ia adalah dosen studi Quran. Tentu saja mahasiswa yang dihadapinya adalah para pelajar studi Quran. Ia begitu serius menekankan, bahwa meskipun kalian mempelajari Al-Quran yang berbahasa Arab, kalian juga harus tau bahasa-bahasa lainnya; lebih kurang begitu. Itu hanya konsekuensi saja dari kemuliaan Al-Quran. Ia dipelajari di seluruh belahan dunia, bukan hanya oleh orang Islam, maupun non-Muslim. Maka dari itu, ayo taubat bahasa!!!


Leave a Comment