| 0 Comments | 1059 Views

Card Image

Cover buku Nabi Muhammad di Kalangan Orientalis

Saya diberikan kesempatan untuk membahas buku Nabi Muhammad di Kalangan Orientalis: Antara Kajian Polemik, Simpatik, dan Akademik yang ditulis oleh mahasiswa IAT S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kegiatan bedah buku tersebut diselenggarakan pada hari Selasa, 23 November 2021 atas Kerjasama antara Prodi Studi Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga bersama Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA). Review ini adalah catatan yang saya persiapkan dalam rangka mengisi kegiatan tersebut.

Ada dua puluh artikel dalam buku ini. Sembilan artikel pertama dikelompokkan kepada kajian polemik, delapan artikel dikelompokkan kepada kajian simpatik, dan tiga sisanya diposisikan sebagai kajian akademik. Buku ini berawal dari tugas kelas bersama almarhum Dr. Alfatih Suryadilaga, dosen Hadis di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, sekaligus ketua Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (Asilha).

Saya akan membagi komentar saya terhadap buku ini kepada dua bagian. Bagian pertama adalah observasi mikro yang lebih menitikberatkan kepada hal-hal internal dalam buku. Di bagian kedua, saya akan membincang buku ini dalam konteks yang lebih luas, yaitu tentang terminology orientalisme dan problem klasifikasi yang digunakan buku. Di beberapa bagian, kedua sisi ini sepertinya tidak bisa dipisahkan, karena kesalinghubungannya yang sangat kuat.

***

Mari kita mulai dari sisi mikro, mulai dari hal-hal teknis hingga yang substansial. 

Pertama, suntingan kebahasaan buku ini belum optimal. Kita menemukan banyak kesalahan ketik dan formulasi kalimat yang tidak sempurna. 

Kedua, buku ini bisa dikategorikan sebagai edited volume, atau apa yang bias akita sebut dengan Bunga Rampai atau Antologi. Sebuah bunga rampai butuh pengantar yang komprehensif (introduction) dari editor. Isi dari pengantar tersebut adalah situasi/perkembangan terkini dalam kesarjanaan/topik terkait, posisi buku terhadap situasi terkini tersebutdan perkenalan isi buku. Satu hal yang perlu diingat, pengantar editor bukanlah laman persembahan, kata pengantar, atau acknowledgement, yang biasanya berisi hal-hal belakang layar dari produksi sebuah buku.

Pengantar editor buku ini lebih dekat kepada acknowledgement daripada introduction. Bagian ini juga ditempatkan sebagai front matter, bukan sebagai bagian isi dari buku. Kita bisa membandingkan, misalnya dengan pengantar Martin van Bruinessen dalam buku Contemporary Development in Indonesian Islam: Explaining the “Convervative Turn” atau pengantar dari Noorhaidi Hasan dalam buku Literatur Keislaman Generasi Milenial: Transmisi, Apropriasi, dan Kontestasi.

Ketiga, agaknya, artikel-artikel dalam buku ini distruktur untuk mengikuti artikel jurnal. Kita melihat di setiap menjelang akhir ada satu sub-bab “analisis”. Agaknya, artikel-artikel di buku ini distruktur untuk mengikuti template IMRAD, meskipun tidak sepenuhnya.

Ada dua hal yang perlu dikemukakan terkait hal ini. Pertama, saya tidak bisa membedakan apa sebenarnya yang ingin penulis-penulis buku ini sampaikan di halaman-halaman sebelumnya di mana mereka menjelaskan (dan menganalisis) pemikiran tokoh yang dikaji dengan mereka sampaikan di sub-bab analisis tersebut. Jadi, tanpa sub-bab itu pun, tidak ada masalah. Adanya sub-bab itu, justru menjadi masalah.

Selanjutnya, sebagai sebuah buku, sebenarnya penulis bisa lebih fleksibel dengan struktur penulisan. Artikel dalam buku berbeda dengan artikel jurnal. Dalam publikasi jurnal, penulis harus bernegosiasi dengan selingkung yang digunakan jurnal. Tidak demikian dengan penerbitan buku. Maka, sebenarnya, penulis bisa mengambil jalan yang lebih sederhana saja, yaitu membiarkan penjelasan dan analisis kajiannya mengalir apa adanya, selama pesan dari buku bisa dipahami oleh target segmen pembaca. Tidak perlu repot dengan template “kanonik” itu.

Keempat, sudut pandang atau fokus kajian buku ini bisa dibilang cukup kreatif. Perhatian kita terkait kesarjanaan Islam orientalis lebih banyak berhubungan dengan kajian Al-Qur’an dan Hadis, bukan sirah nabawiyah. Bahkan, sarjana-sarjana Barat yang membincang Islam Indonesia tapi di luar konteks Al-Qur’an dan Hadis, sebutlah misalnya Martin van Bruinessen, biasanya tidak kita tempatkan alam kajian orientalisme. Apakah van Bruinessen sorang orientalis? Ini akan menjadi bahasan kita nanti. Akan tetapi, poin saya di sini adalah sejauh ini kesarjanaan kita cenderung menyempitkan kajian orientalisme ke dalam kajian Al-Qur’an dan Hadis semata. Meskipun biografi Nabi Muhammad termasuk kepada salah satu topik sentral dalam kesarjanaan Islam di Barat, tema ini biasanya luput dari perhatian sarjana kita. Buku ini membincang semacam ‘titik buta’ dalam kesarjanaan kita.

Dengan demikian, buku ini memperkenalkan sejumlah nama-nama yang tidak cukup populer, paling tidak untuk saya pribadi. Edward Gibbon, Edward Montet, Maryam Jamilah, Thomas Carell, dan Gustave Le Bon adalah nama-nama yang baru saya dapatkan dari buku ini. Namun demikian, kita juga mempertanyakan kehadiran beberapa nama. Karl Marx, misalnya. 

Pertanyaan pertama, apakah ia pernah menulis sesuatu tentang Nabi Muhammad? Ternyata, artikel mengenai Karl Marx bukanlah kajian Marx mengenai Nabi Muhammad, akan tetapi inisiatif penulis membandingkankan satu hal dalam pemikiran Marx dengan Nabi Muhammad. Tentu ini bukan ‘Nabi Muhammad dalam pandangan Marx.’  

Pertanyaan kedua, apakah Marx seorang orientalis? Ini akan kita diskusikan nanti di belakang

Selain itu, kita juga bisa mempertanyakan mengenai nama-nama yang mungkin layak, tapi tidak dimasukkan ke dalam buku ini. Yang paling krusial saya rasa adalah Marshal G. Hodgson, Ira M. Lapidus, dan Philip K. Hitti. Selain itu, Jane Dammen McAuliffe mungkin juga bisa. Saya juga pernah membaca sepintas dari sumber-sumber sekunder mengenai Goethe. Secara personal, nama-nama terakhir ini lebih pantas dimasukkan daripada Karl Marx.

***

Dari sini, kita bergerak ke bagian kedua, dimulai dari sebuah pertanyaan: apa dan siapa orientalis? Pada halaman 2, buku ini menyampaikan definisi yang cukup hati-hati mengenai orientalis, yaitu para pengkaji Barat yang menjadikan Timur sebagai objek kajian. Bagian pengantar terhadap kajian polemik ini juga beberapa kali menekankan bahwa kepentingan orientalisme adalah kepentingan akademik, bukan kepentingan keagamaan. Jadi, jika ada simpulan-simpulan yang bertentangan dengan keyakinan Muslim, maka, menurut buku ini, sadarilah bahwa itu adalah sebuah simpulan dari kajian akademik. 

Dalam penjelasan di bagian ini, terlihat bahwa buku ini memihak kepada pemaknaan Orientalisme sebagai disiplin keilmuan kawasan sebelum menghadapi gelombang protes di tahun 1970an—yang bermuara kepada penghapusan label orientalisme dalam International Congress of Orientalist menjadi International Congress of Human Sciences in Asia and North Africa—dan memuncak dengan kontroversi dari Orientalism Edward W. Said. Orientalism karya Edward W. Said menggarisbawahi signifikansi politis antara orientalisme dengan kolonialisme. Menurutnya, orientalisme adalah disiplin keilmuan yang menopang dan melanggengkan kolonialisme orang-orang Barat atas Timur. Timur dalam konsepsi Said ini juga cukup sempit ke konteks Arab, sehingga memunculkan persepsi yang menghadap-hadapkan antara Orientalisme dan Islam secara antagonis. Tidak mengherankan jika kemudian kita seringkali menemui satu kata kunci penting lainnya, yaitu non-muslim; sebuah kosa kata yang secara kuat memberikan satu dimensi tertentu dalam definisi orientalisme, seringkali kita jumpai sebagai kesarjanaan non-Muslim mengenai Islam. 

Selingan, kembali ke salah satu pertanyaan di atas: apakah Karl Marx seorang orientalis? Jawabannya tergantung kepada interest akademiknya mencakup bahasa, budaya, sejarah, sastra Timur? 

Permasalahan dalam buku ini adalah ambivalensinya antara dua definisi orientalis di atas. Memang benar di bagian pembuka editor berupaya mengangkat dimensi ideologis keagamaan ini dari orientalisme. Akan tetapi, dimensi ideologis keagamaan ini muncul berulang kali di halaman demi halaman buku ini, dilengkapi—terkadang—dengan upaya ‘cuci tangan’ yang apologetik, bahwa ‘tidak semua orientalis menyerang Islam’ atau ‘kajian mereka murni akademik’. Bahkan, kita mungkin bisa menyebut bahwa dengan menggunakan kategorisasi polemis—non-polemis, sebenarnya buku berpijak kepada seintimen ideologis keagamaan tersebut.

Sekarang, kita beranjak kepada problem kategorisasi. Kategori yang digunakan buku ini adalah kajian polemik, kajian simpatik, dan kajian akademik. Respon pertama pembaca, saya yakin, terhadap klasifikasi ini adalah: apakah kajian polemik dan kajian simpatik itu tidak akademik? Barangkali, jika mendapatkan pertanyaan semacam ini, editor atau penulis buku akan memberikan jawaban ini dan itu. Namun demikian, pertanyaan tersebut bagaimanapun juga masih tetap valid mengingat relasi sintagmatik yang terbentuk dari klasifikasi tersebut.

Selanjutnya, nama-nama yang dimasukkan kepada kelompok polemik ini juga menarik. Para pengkaji Patricia Crone, J.J.G. Jansen, dan Juynboll, misalnya, barangkali tidak akan setuju untuk menyebut nama-nama tersebut sebagai para polemisis. Memang benar mereka tidak percaya begitu saja dengan sumber-sumber tradisional Islam, tapi apakah itu membuat mereka menjadi seorang polemisis? Sayangnya, buku ini juga tidak memberikan penjelasan yang lebih banyak terkait ini.

Dari nama-nama yang dimasukkan ke keranjang kajian polemik, kajian simpatik, dan kajian akademik, kita kemudian bisa mengonfirmasi bahwa sebuah kajian disebut polemik jika ia menentang kepercayaan Muslim dan disebut simpatik jika ia mengonfirmasi keimanan Muslim. Kategori akademik agak sulit dijelaskan, karena hampir semua nama-nama yang disebutkan di buku ini menuliskan karya mereka dalam konvensi akademik, bukan hanya tiga nama yang dimasukkan ke keranjang akademik.

Jelaslah, bahwa kategorisasi ini berpangkal kepada dimensi ideologis keagamaan. Artinya, upaya editor yang mendefinisikan orientalisme secara netral tersebut tidak didukung baik oleh artikel-artikel yang ada maupun kategorisasi yang digunakan. 

Kita harus menyadari bahwa sudut pandang polemis ini masih mendominasi kesarjanaan kita terkait kajian Islam Barat. Dengan demikian, rujukan-rujukan yang para penulis temukan ketika mempersiapkan buku ini sebagian besarnya adalah rujukan polemis. Di banyak halaman, kita menemukan kalimat-kalimat yang secara eksplisit mengamini cara pandang ini. Rujukan-rujukan tersebut pula lah yang agaknya mempengaruhi editor untuk menggunakan klasifikasi seperti yang sekarang ini. Jadi, semangat untuk menghadapi kajian mereka secara historis sudah ada—terlihat dari catatan editor dan dari struktur artikel yang mendedikasikan banyak tenaga untuk mengungkap setting historis semua tokoh—berbenturan dengan keterbatasan literatur non-polemis. 

Penulis sebenarnya bisa mengatasi problem ini dengan lebih fokus kepada sumber primer—buku-buku yang secara langsung ditulis oleh tokoh-tokoh yang dikaji—dan memberikan interpretasi langsung terhadapnya. Kemudian, pemahaman penulis atas sumber primer tersebut didialogkan dengan sumber-sumber sekunder yang penulis temukan. Saat ini, penulis masih banyak menumpang kepada interpretasi-interpretasi sumber sekunder, bukan berdialog dengannya. Hanya beberapa artikel saja yang cukup memberikan perhatian kepada sumber primer.

***

Buku ini berawal dari tugas makalah kelas yang didiskusikan dan ditindaklanjuti dengan publikasi. Dengan demikian, buku ini melanjutkan tradisi publikasi tugas makalah kelas menjadi buku yang telah berlangsung lama di UIN Sunan Kalijaga. Beberapa yang saya ingat di antaranya adalah Yang Membela dan Yang Menggugat oleh Muhammad Makmun Abha (ed.) dari mata kuliah Pemikiran Hadis Kontemporer bersama almarhum Dr. Suryadi, Belajar Hermeneutika oleh Edi Mulyono (ed.) dalam mata kuliah Hermeneutika Al-Qur’an bersama Prof. Dr. Amin Abdullah, dan Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis oleh Kurdi, dkk. dari mata kuliah Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis bersama Dr. phil. Sahiron Syamsuddin. Agaknya, beberapa tahun belakangan tradisi ini mulai memudar, dan buku ini mengingatkan kembali mengenai tradisi yang baik tersebut.[]


Leave a Comment