| 0 Comments | 6036 Views

Card Image

Sejak kapankah Islam menjadi agama?


Kira-kira itu adalah satu pertanyaan mendasar yang menjadi pusat diskusi dari buku Kemunculan Islam Dalam Kesarjanaan Revisionis (selanjutnya: Kemunculan Islam)Buku ini ditulis oleh Mun’im Sirry, seorang pengajar pada Departemen Teologi di Notre Dame University, Amerika. Ia adalah seorang sarjana asal Indonesia yang telah secara serius menggeluti kajian Al-Qur’an Barat sekaligus rajin menulis dan berdialog dengan diskursus kesarjanaan di dalam negeri. Buku Kemunculan Islam bisa dibilang sebagai karya populer Mun’im, karena sepertinya ia ditulis untuk menyapa pembaca luas, bukan lingkaran kesarjanaan yang biasa menjadi teman dialognya. Oleh sebab itu, kita bisa melihat elaborasinya yang lebih mengalir.


Sīrah Nabawīyah beserta korpus hadis dan tafsir telah memberikan jawaban umum yang lebih kurang cukup komplit untuk pertanyaan di atas. Nabi Muhammad dilahirkan di tahun Gajah, diangkat menjadi Rasul ditandai dengan penerimaan wahyu pada usia 40 tahun, hijrah ke Madinah setelah 13 tahun di Makkah, dan wafat di Madinah meninggalkan sebuah ajaran agama yang telah final dan baku. Namun demikian, kesarjanaan revisionis tidak dengan mudah menerima narasi tersebut.


Buku Mun’im ini secara umum menyebut Sīrah Nabawīyah, hadis, dan tafsir sebagai sumber tradisional. Secara sederhana, ide besar dari buku ini adalah bahwa ‘sumber-sumber tradisional Islam dalam metodologi sejarah bukanlah sumber yang reliabel’. Alasannya, sumber-sumber tersebut ditulis belakangan, sebuah kategori sumber yang tidak memenuhi syarat dalam analisis sejarah. Oleh sebab itu, sumber-sumber tersebut lebih banyak merefleksikan situasi sosial-historis di saat ia ditulis, dan informasinya mengenai Islam awal adalah proyeksi ke belakang.


Selain itu, sumber-sumber tersebut juga memiliki banyak kontradiksi, hingga batas para peneliti tidak bisa menentukan mana narasi yang bisa dipercayai. Oleh sebab itu, sejumlah sarjana, terutama kelompok revisionis, mencarikan jalan keluar untuk itu. Revisionis ekstrim seperti John Wansbrough (1928-2002) dan Michael Cook (lahir 1940) sama sekali meninggalkan sumber-sumber tersebut dan mencarikan sumber alternatif. Di samping itu, ada revisionis moderat yang berupaya mencari jalan tengah antara sumber tradisional dan sumber-sumber alternatif tersebut. Satu karakter penting dari kelompok moderat ini adalah mereka percaya bahwa Al-Qur’an adalah sumber sejarah yang reliabel. Dengan sikap yang berbeda atas sumber tersebut mereka membangun narasi sejarah yang tentu saja berbeda dengan narasi tradisional. Ada tiga hal yang menjadi isu utama kajiannya: sejarah Al-Qur’an, biografi Nabi Muhammad, dan ekspansi kekuasaan Islam.


Buku ini mengkaji perdebatan kesarjanaan Qur’an/Islam di Barat mengenai sejarah Islam awal. Ia menghadap-hadapkan pandangan tradisional dengan pandangan sarjana revisionis modern. Pendekatan revisionis ia definisikan sebagai kerja kesarjanaan non-ortodoks, non-normatif, dan non-konvensional yang menawarkan pendekatan metodologis alternatif terhadap sumber-sumber Muslim tradisional tentang kemunculan Islam. Satu kata kunci penting lainnya bisa kita lihat di bagian penutup: buku ini adalah upaya mendiskusikan sejarah agama dalam perspektif yang humanistik, yaitu perspektif perjalanan sejarah organiknya di dunia.


Argumen utama Kemunculan Islam adalah adanya pergeseran Islam dari bentuk awalnya sebagai ajaran ekumenis menjadi agama yang terinstitusi dan distingtif seperti yang kita lihat sekarang. Bagi Mun’im, pada awalnya, Islam adalah ajaran monotheisme yang ekumenis, yaitu sebuah ajaran yang mentitikberatkan kepada kepercayaan kepada monotheisme dengan mengakomodasi beragam kelompok-kelompok kepercayaan lainnya seperti Yahudi dan Kristen. Islam menjadi agama yang terinstitusi adalah produk sejarah belakangan, yang dalam banyak segi berawal dari masa Banī Umayah. Dengan kata lain, informasi-informasi Islam yang kita terima dari sumber tradisional merekam bias-bias sosial politik di zaman ini, bukan di zaman formasi Islam dan Al-Qur’an.


Berefleksi kepada pengalaman mengampu mata kuliah Kajian Al-Qur’an Orientalis di beberapa semester belakangan, kontribusi buku ini cukup jelas: memberikan bacaan yang cukup aksesibel bagi mahasiswa kajian Qur’an mengenai kesarjanaan Barat mutakhir. Hingga saat saya memegang mata kuliah tersebut, materi kajian di mata kuliah ini masih belum bergerak dari generasi awal, seperti Abraham Geiger (1810-1874)Theodore Nöldeke (1836-1930)Ignaz Goldziher (1859-1921), dsb, yang dibahas dalam format kajian tokoh.


Saya mencoba memberikan tema-tema dan nama-nama baru, ternyata tidak mudah, meskipun untuk jenjang magister. Permasalahannya adalah bacaan yang representatif tapi aksesibel untuk tema-tema kajian Qur’an Barat saat ini sudah semakin langka. Geliat penerjemahan tidak lagi kuat sebagaimana sebelum dekade 2000an. Ketika itu, kita menyaksikan buku-buku Joseph Schacht (1902-1969), Ignaz Goldziher, Montgomery Watt (1909-2006), dsb diterbitkan dalam edisi berbahasa Indonesia.


Saat ini, karya dari nama-nama yang disebut oleh Munim di bukunya tersebut tidak ada edisi terjemahannya. Ini bukan persoalan kajian Qur’an Barat, tapi iklim akademik dan birokrasi pendidikan di Indonesia secara umum, dan tidak tempatnya untuk membahas hal tersebut di sini. Hal ini diperparah dengan rujukan-rujukan sekunder dalam kajian ini lebih bersifat polemik-apologetik daripada resepsi intelektual yang seimbang. Tsunami penerbitan artikel-artikel sekunder/tertier di jurnal-jurnal PTKI juga tidak membantu. Tidak mengherankan jika, misalnya, di dalam tulisan-tulisan mahasiswa kita menemukan apologi-apologi seperti ‘meskipun demikian, kajian mereka ilmiah dan tidak boleh diabaikan begitu saja’ tanpa mengerti bagaimana maksud dari pernyataan tersebut.


Dengan demikian, buku ini akan menjadi bacaan penting bagi para pelajar Al-Qur’an yang memiliki minat untuk mengikuti perkembangan kesarjanaan Al-Qur’an di iklim kesarjanaan Barat. Untuk pembaca tingkat lanjutan, buku ini bisa menjadi pintu masuk untuk bisa masuk secara lebih serius ke rujukan-rujukan primer.


Namun demikian, saya menyebut cukup aksesibel secara sengaja, karena sepertinya meskipun demikian, buku ini bukanlah sangat aksesibel. Pembaca yang sudah memiliki wawasan mengenai kajian Al-Qur’an di Barat tidak akan mengalami kesulitan berarti ketika membaca buku ini. Gaya narasi dan kepadatan data yang disampaikan cukup bisa diikuti. Akan tetapi, bagi pembaca yang pertama kali berkenalan dengan tema ini, Kemunculan Islam masih tergolong rumit. Dapat dipahami, kita bisa melihat Mun’im di sini berupaya memadatkan banyak hal dengan banyak contoh-contoh kasus. Akan tetapi, kasus-kasus yang masuk silih berganti terkesan sporadik dan ini lah yang menjadi kendala bagi pembaca-pembaca pemula.


Secara umum, buku ini telah menyajikan tema-tema kunci dan argumen-argumen penting dalam kesarjanaan revisionis terhadap sejarah Islam awal. Namun demikian, sebagaimana buku-buku lainnya, Kemunculan Islam juga merekam sejumlah permasalahan yang patut untuk dikemukakan. Hal pertama yang perlu dicatat adalah buku Kemunculan Islam sebelumnya telah diterbitkan oleh Mizan  pada tahun 2013 dengan judul Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan RevisionisPada edisi 2013 ini, Mizan melalui Azam Bahtiar dan Haidar Bagir telah memberikan catatan kritis. Ada beberapa poin yang ia sampaikan dalam pengantar tersebut, tapi saya ingin mengangkatkan kembali beberapa hal saja.


Pertama, Bahtiar berkomentar terkait karakter dari ilmu sejarah yang sifatnya interpretif, yang karenanya kepastian sejarah adalah sebuah konsep yang problematik. Dalam buku ini, terlihat kecenderungan bahwa narasi-narasi revisionis mencari kepastian tersebut. Komentar ini masih sangat relevan saat ini, karena sumber tradisional yang disebut reflektif atas situasi ketika ia ditulis, maka sejatinya narasi yang dihasilkan oleh revisionis juga demikian. Di cetakan barunya, Mun’im tidak terlihat mengomentari hal ini. Kita bisa mengasumsikan memang ini sudah menjadi sikap akademiknya.


Komentar penting lainnya dari Bahtiar adalah terkait istilah Muḥammad yang dalam pandangan sejumlah tokoh revisionis bukanlah proper name. Signifikansi dari komentar Bahtiar di sini adalah bahwa ia mengajukan data historis dari inskripsi-inskripsi jahiliyah sebagaimana terkompilasi dalam Corpus Inscriptionum Semiticarum yang menyebut kata Muḥammad sebagai proper name. Muḥammadah juga pernah digunakan sebagai nama perempuan di suku Himyar. Selain itu, beberapa sarjana juga telah mengungkap bahwa nama Muḥammad pernah menjadi nama beberapa tokoh Kristen sebelum kelahiran Nabi Muhammad.


Selain inskripsi jahiliah dan nama-nama tokoh, Bakhtiar juga mengajukan surat-surat Nabi yang telah diteliti dan dikompilasi oleh Muhammad Hamidullah (1908-2002) dalam sebuah disertasi di Universitas Paris. Tidak mungkin dalam surat diplomasi penting tersebut penyebutan kata Muḥammad tidak dalam bentuk proper name, demikian argumen Bahtiar. Selanjutnya, ia juga mempertanyakan sikap Mun’im yang sama sekali tidak mempertimbangkan kajian-kajian Muslim non-tradisional yang juga tak kalah kritisnya.


Komentar Bahtiar ini sangat penting dalam hal ini karena ia menusuk ke jantung permasalahan yang diketengahkan oleh para sarjana revisionis, yaitu problem sumber. Bahtiar telah mengajukan sumber historis penting yang sangat pantas sekali untuk diperbincangkan dengan narasi sejarah nama Muhammad yang dikemukakan oleh Mun’im. Menjadi lebih signifikan lagi, Kontroversi Islam Awal diterbitkan kembali sebagai Kemunculan Islam Awal di tahun 2018. Pertanyaannya, apakah Mun’im meluangkan energinya untuk mempertimbangkan kritik dari Bahtiar, terutama untuk kasus Muhammad sebagai proper name ini, di edisi baru bukunya tersebut? Sayangnya, hal itu tidak dia lakukan; sepertinya, tidak ada revisi berarti dari Kontroversi Islam Awal ke Kemunculan Islam. Tentu saja dia sangat terbuka sekali untuk tidak setuju. Akan tetapi, jika ia benar memegang integritas kesarjanaan revisionis yang mempermasalahkan sumber, maka sudah sewajarnya kritik ini dia dialogkan di cetakan baru bukunya ini. Jika sumber ini valid, maka ia merevisi pandangannya, dan jika tidak, ia perlihatkan dimana permasalahannya.


Terlepas dari kritik dari Bahtiar dan Bagir, ada beberapa poin lagi yang penting untuk dicatat. Ada ambiguitas dalam positioning Mun’im sebagai penulis: apakah ia seorang sejarawan yang sedang mengkaji sejarah Islam awal, ataukah dia adalah seorang pengamat kesarjanaan revisionis mengenai Al-Qur’an dan sejarah Islam awal?


Secara metodologis, kedua posisi ini berbeda, terutama dilihat dari subjek primer kajiannya. Dalam pilihan yang pertama, Mun’im seharusnya berhadapan dengan data-data sejarah dan kesimpulan kajiannya adalah pernyataan/argumen mengenai sejarah Islam. Untuk pilihan kedua, Mun’im akan membincang sejarah kesarjanaan revisionis, bukan sejarah Islam itu sendiri. Karena buku ini membahas Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis, pemisahan kedua hal tersebut memang cukup buram, dan keburaman tersebut juga terlihat di buku ini.


Di sebagian besar buku ini, terlihat bahwa ia sebenarnya berada di posisi kedua. Agaknya, ini pula yang menjadi alasan mengapa ia mengabaikan literatur-literatur non-tradisional dari Muslim, karena kesarjanaan revisionis tidak menggunakan literatur tersebut. Akan tetapi, ambiguitas itu muncul ketika di bagian kesimpulan argumen-argumen yang ia sampaikan secara utuh berhubungan dengan sejarah Islam, bukan dengan kesarjanaan revisionis itu sendiri.


Dapat dikatakan, Mun’im di sini berpretensi mengkaji sejarah Islam, hanya saja bukan lewat data-data sejarah primer, tetapi secara kuat berdasarkan kepada data-data sekunder, yaitu kesarjanaan revisionis. Ini adalah model pengkajian yang analogis dengan judul semacam, “Penafsiran Quraish Shihab mengenai awliyā’”, yang meskipun secara umum mengkaji penafsiran Quraish Shihab, tapi kesimpulannya dianggap sebagai makna Qur’an.


Ada satu ambiguitas lagi yang meskipun muncul dalam kasus yang spesifik tapi sifatnya lebih serius. Ketika membincang sejarah ortografi Al-Qur’an dan masuk ke bagian kajiannya atas al-KāfirūnMun’im bermetamorfosis menjadi seorang teolog progresif, meskipun di halaman 59, ia menampik dirinya sebagai seorang teolog.


Sejak bab pertama, Mun’im membahas permasalahan internal dalam sumber-sumber tradisional dan memberikan titik tekan yang sangat jelas kepada sumber-sumber material, seperti sumber dokumenter, koin, atau prasasti. Namun demikian, ketika melakukan rekonstruksi hipotetikal terhadap al-Kāfirūn, keniscayaan sumber-sumber tersebut ia tinggalkan. 


Di bagian ini, ia menjelaskan bahwa sejarah Al-Qur’an tidak sesederhana yang kita bayangkan. Ortografi Al-Qur’an berkembang, dan di beberapa sisi menyentuh aspek yang paling penting dalam Al-Qur’an yaitu integritas pesannya. Penambahan alif misalnya. Di bagian ini, Mun’im berpijak kepada temuan dari Gerd-R Puin yang membandingkan sejumlah manuskrip dengan mushaf edisi Kairo di beberapa ayat. Puin menemukan ada banyak penambahan alif pada mushaf edisi Kairo. Contoh yang secara langsung ia tampilkan adalah surat Yāsīn (36): 22: Wa mā liya lā aʿbudu. 


Mun’im menyebut bahwa dalam sebuah manuskrip, Puin menemukan tulisan yang berbeda, yaitu wa mā lī illā aʿbudu. Ada penambahan alif sebelum lā di ayat ini, sehingga bacaannya bukanlah lā yang berarti tidak, melainkan illā yang berarti kecuali. Jika dalam edisi Kairo, ia diterjemahkan menjadi Dan mengapa aku tidak menyembah, versi manuskrip tersebut terjemahannya adalah Aku tidak punya pilihan kecuali menyembah…


Dengan basis ini, Mun’im menilai bahwa ada banyak kemungkinan makna yang berubah dari penambahan alif ini. Misalnya, jika lā aʿbudu itu penambahan alifnya berada sesudah dan bukannya sebelum lā, maka ia akan menjadi mā lī laʾaʿbudu (Aku tidak punya apa-apa, sungguh aku menyembah…), sebuah makna yang sama sekali berbeda.


Di bagian ini, Mun’im sepertinya sudah beranjak dari Puin dan mengajukan kasusnya sendiri. Agaknya, karena contoh spesifik ini menyebut kata aʿbudu, Mun’im meneruskan eksperimen hipotetikalnya kepada al-Kāfirūn, yaitu pada lā aʿbudu mā taʿbudūn. Jika pada lā di ayat itu huruf alif adalah tambahan, maka seharusnya ia berbunyi laʾaʿbudu mā taʿbudūn, dan terjemahan ayatnya berubah dari aku tidak menyembah apa yang kamu sembah menjadi sungguh aku menyembah apa yang kamu sembah. 


Kita bisa memahami apa yang dilakukan Mun’im di sini adalah sebuah hiperbola untuk menekankan bahwa sejarah ortografi itu sangat krusial dalam sejarah Al-Qur’an, namun sejauh ini diterima begitu saja apa adanya (taken for granted).


Akan tetapi, hiperbola ini, dalam pandangan saya, kontraproduktif. Pertama, tentu akan ada orang yang tidak bisa dengan mudah melihat elaborasi semacam ini. Mun’im di sini bisa berkilah itu urusan mereka, bukan urusan dia. Tapi jika eksperimen ini justru mengganggu poin utama yang ingin disampaikan, tentu saja ia lebih pantas untuk ditinggalkan. Kedua, di sini Mun’im memperlihatkan sebuah bias, yaitu sebagai seorang teolog progresif. Dia berargumen, bahwa versi rekonstruksi hipotetikal tersebut adalah toleransi sejati, yang juga didukung oleh ayat-ayat lainnya. Ini adalah argumen khas seorang teolog, meskipun berbasis kepada temuan risetnya seorang revisionis.


Hal ini mengingatkan saya pada salah satu tulisan Fred Donner (ironisnya di buku yang diedit oleh Mun’im sendiri) yang menyebut bahwa saat ini juga banyak kajian-kajian apologis yang berbalut argumen akademik (Baca artikel Donner berjudul ‘Reflections on the History and Evolution of Western Study of the Qurʾān’). Ketiga, dan yang paling penting dalam hal ini, Mun’im sama sekali meninggalkan apa yang dia suarakan secara lantang sejak halaman pertama buku ini: sumber yang reliabel!


Untuk kasus ini, Puin menyampaikan sebuah argumen mengenai penambahan alif berlandaskan kepada sumber-sumber dokumenter, yaitu manuskrip-manuskrip. Mun’im seorang sarjana akan menghadapi temuan Puin secara kritis dan jika ia akan mengembangkan argumen dari temuan Puin, juga akan dilakukan secara kritis.


Salah satu bentuk sikap kritis tersebut adalah membuka manuskrip-manuskrip yang ada dan melihat apa saja yang disuguhkan oleh manuskrip tersebut. Sayangnya, hal itu sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Mun’im. Di sini, ia hanya bereksperimen dengan alif di al-Kāfirūn tanpa melakukan verifikasi kepada manuskrip-manuskrip yang ada, sebuah eksperimen yang mengingatkan saya kepada penilain Stefan Wild terhadap kajian Luxenberg, yaitu it (might) yield far too many results (baca tulisan Wild berjudul ‘Lost in Philology). Apakah laʾaʿbudu mā taʿbudūn ada justifikasi dokumenternya? Itu adalah pertanyaan yang seharusnya ia ajukan.


Jika Mun’im mengajukan pertanyaan tersebut, dan melakukan pelacakan, maka dia mesti akan melihat bahwa rekonstruksi hipotetikalnya itu sangat tidak perlu. Saya mencoba membuka corpuscoranicum dan melakukan pelacakan sederhana terhadap beberapa manuskrip di sana.


Untuk surat Yāsīn: 22, ada dua versi tulisan, mā liya lā aʿbudu dan mā lī illā aʿbuduTapi, versi rekonstruksi Mun’im, mā lī laʾaʿbudu, tidak ada. Jadi, poin Puin di sini jelas, tapi tidak dengan poin Mun’im. Selanjutnya, saya juga melacak al-Kāfirūn. Dari sejumlah manuskrip yang saya cek, tidak ada satupun yang menulis laʾaʿbudu mā taʿbudūn.




Kembali, elaborasi Mun’im tidak ada dukungan dokumenternya. Satu hal yang menarik adalah dalam salah satu manuskrip, kata al-kafirūn di ayat pertama tidak ditulis dengan alif setelah kaf. Jadi, poin ini mendukung temuan Puin, bahwa ada tambahan alif. Akan tetapi, kata lā aʿbudu tertulis seperti itu adanya, dengan alif. Ini jelas sekali menganulir eksperimen Mun’im.


Sebenarnya, sebelum melakukan eksperimentasi hipotetikal tersebut, ia bisa mempertanyakan kemungkinan variabel fungsi gramatikal kosa kata dalam penambahan alif. Tapi, sekali lagi, sepertinya ia tidak mempertimbangkan itu.


Menurut saya, Mun’im telah memperlihatkan poinnya dengan cukup jelas tanpa eksperimen ini, dan eksperimen itu justru merusaknya. Tapi mengapa ia tetap menuliskannya? Sepertinya ini adalah bias yang bekerja dalam argumen Mun’im.


Kita tahu, pluralisme agama dan toleransi adalah salah satu isu sentral dalam peradaban modern ini. Di argumen ini, kita melihat kembali bias itu; Mun’im memproyeksikan konsepsinya mengenai toleransi yang modern ini kepada masa formasi Islam, mungkin lebih kurang sepadan dengan proyeksi ke belakang yang dilakukan oleh Abdul Malik dengan mengintrodusir dua kalimat syahadat dalam koin. Kasus ini mencatat ambiguitas mencolok Mun’im dalam buku ini. Mun’im bukanlah seorang sarjana pengkaji revisionisme, akan tetapi seorang teolog progresif yang sedang berapologi dalam diskursus publik.



Link Manuskrip Yāsīn 22:


Link Manuskrip Al-Kāfirūn:


Leave a Comment