| 0 Comments | 2767 Views
Tafsir Alquran Minangkabau (2021) adalah kontribusi terbaru yang penting untuk kajian tradisi tafsir di Minangkabau—atau katakanlah Sumatera Barat. Tentu telah ada banyak sekali kajian mengenai al-Azhar karya Hamka atau tafsir dan terjemahan Al-Qur’an karya Mahmud Yunus. Akan tetapi, nyaris perhatian para pengamat tafsir Minangkabau, paling tidak yang serius dan layak mendapatkan perhatian luas, terbatas kepada kedua nama tersebut. Saat ini, agaknya kita belum mendapatkan apa-apa mengenai selain kedua nama tersebut dalam kesarjanaan internasional seputar sejarah tafsir Asia Tenggara kecuali sebutan sepintas di beberapa buku, seperti di observasi umum Howard Federspiel, Michael Feener, dan Peter G. Riddell. Begitu pula, kita hanya menemukan sebutan terkait al-Burhān Abdul Karim Amrullah di tulisan-tulisan Islah Gusmian tanpa sempat menjadi fokus utama kajiannya.
Buku ini ditulis oleh Aldomi Putra, dosen dan peneliti Al-Quran dan Tafsir dari STAI Yastis Padang. Buku ini berawal dari disertasi yang ditulis dan dipertahankan di PTIQ Jakarta. Ada tiga kitab tafsir yang menjadi fokus kajian, al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah (1879-1945), Risālah al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qurʾān karya Syaikh Sulaiman Arrasuli (1871-1970), dan al-Daʿwah wa al-Irsyād ilā Sabīl al-Rasyād karya Abdul Lathif Syakur (1882-1963). Ketiga karya ini dikaji dengan tiga isu utama, yaitu epistemologi, lokalitas, dan dialektika. Dengan tiga kitab tafsir dan tiga isu ini, penulis buku ini berupaya mengungkap satu segmen paling penting dalam sejarah tafsir Minangkabau, yaitu fase awal penulisan tafsir di Minangkabau.
Bab pertama berisi pendahuluan. Di sini, penulis memperkenalkan dan merumuskan kajian, mengidentifikasi metode dan teori, dan memosisikan kajiannya dari literatur-literatur yang telah ada. Pada bab kedua penulis mengelaborasi lebih lanjut kerangka teoretiknya. Di sini, penulis mengklarifikasi apa yang ia maksud dengan epistemologi, lokalitas, dan dialektika dengan merujuk kepada sejumlah rujukan penting, meskipun dalam beberapa bagian terlihat kutipan-kutipan tersebut disematkan ke dalam badan tulisan tanpa kalimat-kalimat penjembatan yang secara koheren memperlihatkan bagaimana konstruksi konsep-konsep yang dijelaskan. Di bab ketiga, penulis membahas sejarah tafsir Minangkabau dan memosisikannya dengan tafsir Nusantara. Penulis menyebut bahwa tradisi penulisan tafsir di Minangkabau dimulai di abad ke-20, dan ketiga karya yang dibahas termasuk kepada generasi pendahulu tersebut. Selanjutnya, bab empat, lima, dan enam adalah jantung dari buku ini, karena di dalam bab inilah penulis mengkaji epistemologi, lokalitas, dan dialektika tafsir Minangkabau.
Terkait epistemologi, analisis buku ini terlihat mirip dengan kajian analisis tafsir konvensional. Penulis membahas apakah tafsir yang dikaji masuk kepada kategori tafsīr bi al-maʾṡūr atau bi al-raʿy, apakah ia mengikuti metode taḥlīlī, ijmālī, atau tematik, apa saja kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukan, dan apakah corak penafsirannya, yang dalam hal ini ketiga tafsir tersebut penulis temukan bercorak adabī ijtimāʿī. Artinya, framework kajian ini secara umum terlihat mirip dengan Husain al-Zahabī dalam menjelaskan kitab-kitab tafsir di al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Kita juga bisa melakukan perbandingan dengan sebuah disertasi di UIN Syarif Hidayatullah mengenai dua dari tiga tafsir yang dibahas dalam buku ini. Disertasi yang dimaksud adalah tulisan Halimatussa’diyah yang mengkaji al-Bayān dan Risālah al-Qaul al-Bayān. Dalam disertasi ini, penulis tidak menggunakan epistemologi juga. Jika al-Zahabi dan Halimatussa’diyah di satu sisi tidak menggunakan epistemologi, dan Aldomi Putera di sisi lain menggunakannya, akan tetapi hasil kajian mereka mirip, tentu kita bisa bertanya, apa yang epistemologis dari buku ini? Satu perbedaan yang ada dalam buku ini adalah validitas. Tentu, menyebut kajian ini epistemologis hanya karena adanya poin validitas itu sedikit berlebihan.
Ketika menjelaskan epistemologi pada bab kedua, Aldomi Putra telah menyebut bahwa epistemologi berhubungan dengan hakikat pengetahuan. Dengan demikian, jika benar Tafsir Alquran Minangkabau epistemologis, seharusnya penulis bisa mengungkap lebih lanjut bagaimana hakikat tafsir sebagai sebuah ilmu dalam dunia intelektual Islam Minangkabau di awal abad 20 melalui ketiga tafsir yang dikaji. Jelas, tentu saja, tafsir adalah ilmu untuk mengungkap makna dan pesan Al-Qur’an dan al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi sumber keagamaan Muslim di dunia sepanjang sejarah Islam. Akan tetapi, ini adalah pernyataan normatif yang sangat umum sekali, dan kesarjanaan kita membutuhkan diskusi yang melampauinya. Tentu kita berharap buku ini bisa mengelaborasi secara lebih mendalam dan empiris isu hakikat tafsir di abad 20 Minangkabau, di masa tafsir bergerak dari tradisi ajar menuju tradisi tulis—bukankah penulis menyebut bahwa di masa ini penulisan tafsir di Minangkabau bermula?
Ada sejumlah pertanyaan yang bisa penulis telusuri dalam konteks ini. Mengapa mereka mulai menulis tafsir? Ada apa dengan tafsir sehingga mereka mulai tertarik menulis tafsir di fase ini? Bukankah tafsir sudah diajarkan sejak jauh hari di Minangkabau, lantas mengapa ide untuk menulis tafsir muncul baru belakangan? Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pintu masuk yang bisa didalami oleh penulis untuk mengungkap apa hakikat tafsir secara empiris di mata para penafsir yang ia kaji. Tentu informasi-informasi terkait apakah tafsir-tafsir tersebut maʾṡūr atau raʾy, ijmālī, taḥlīlī, atau tematik, fiqhī, falsafī, adabī-ijtimāʿī akan berguna, akan tetapi jika berhenti di sana kajiannya menjadi anti-klimaks.
Pada kenyataannya, beberapa data yang penulis sampaikan telah memberi isyarat untuk memperdalam pertanyaan-pertanyaan tersebut. Misalnya, Syaikh Sulaiman Arrasuli pada awalnya enggan menulis tafsir karena dianggap tidak ada faedahnya. Di sini, penulis bisa menelusuri lebih lanjut, sebenarnya bagaimana konsepsi Syaikh Sulaiman Arrasuli mengenai tafsir sehingga beliau beranggapan demikian? Tapi pada akhirnya, Syaikh Sulaiman Arrasuli setuju untuk menulis tafsir, dengan harapan bahwa tafsirnya bisa membantu pembacanya khusyuk dalam shalat. Kembali, orientasi penulisan tafsir seperti ini adalah hal yang menarik untuk didalami. Bagaimanakah Syaikh Sulaiman Arrasuli mengonsepsikan tafsir dan makna Al-Quran sehingga ia menjadi pembantu khusyuk shalat pembacanya? Penulis bisa menarik pertanyaan ini kepada sejarah penulisan tafsir sepanjang sejarah. Apakah orientasi, katakanlah al-Ṭabarī, al-Samarqandī, al-Zamakhsyarī, Ibn Kaṡīr, al-Qāsimī, Abduh-Riḍā, dll dalam menulis tafsir? Apakah termasuk di dalamnya untuk membantu pembacanya khusyuk dalam shalat? Apa artinya intensi Syaikh Sulaiman Arrasuli ini dalam sejarah panjang tafsir? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dijawab dalam sebuah kajian epistemologis atas tafsir.
Terkait lokalitas, buku ini terlihat arbitrer. Visi penulis adalah mencari apa saja yang dianggap ‘Minangkabau’ dalam ketiga tafsir yang dikaji, mengklasifikasikannya, dan, dengan temuan yang ada, menyimpulkan bahwa “lokalitas Minangkabau begitu mengakar” dalam tafsir Minangkabau. Ruang lingkup yang disebut penulis sebagai lokalitas ini begitu luas, sehingga apa saja faktor historis yang melatari kemunculan ketiga kitab tafsir disebut sebagai lokalitas. Bahkan, keberadaan kosa kata Minangkabau dalam tafsir yang ditulis berbahasa Melayu disebut penulis sebagai lokalitas, tanpa mempertimbangkan bahwa budaya literasi Minangkabau ketika itu memang berbahasa Melayu beraksara Jawi. Begitu pula, bahwa Al-Burhān dan Risālah al-Qaul al-Bayān ditulis karena permintaan masyarakat dan al-Daʿwah wa al-Irsyād ditulis sebagai bahan dakwah disebut oleh penulis sebagai bukti bahwa tafsir-tafsir tersebut adalah “kitab yang kental dengan unsur lokal” (hal. 303). Menggunakan logika buku ini, historisitas sebuah karya adalah lokalitasnya.
Di level mikro, sejumlah data dan interpretasi dari penulis cukup menarik dan bisa dijadikan sebagai pijakan diskusi yang lebih jauh untuk isu lokalitas. Misalnya, ketika menjelaskan asfala sāfilīn, Haji Abdul Karim Amrullah menggunakan diksi pakakdan rabun yang berarti tuli dan buta. Penulis telah menyebutkan bahwa pakak dan rabun adalah diksi yang berkonotasi celaan dalam budaya bahasa Minangkabau, sehingga ia digunakan dalam al-Burhān untuk menjelaskan makna dari asfalā sāfilīn. Akan tetapi, sayangnya, perspektif makronya adalah ‘mengungkap apa yang Minangkabau dalam tafsir.’ Dengan demikian, yang menjadi perhatian dari penulis adalah bahwa adanya kata pakak dan rabun, yang keduanya adalah kosa kata Minangkabau, dalam tafsir, maka itu artinya ada lokalitas dalam tafsir.
Penulis sebenarnya bisa mengejar lebih jauh; misalnya, sejauh mana otentisitas makna pakak dan rabun untuk asfala sāfilīn. Penulis sudah mengaitkannya dengan kosa kata al-Qur’an shummun dan bukmun. Lantas, apakah kedua kata ini pernah digunakan oleh kitab-kitab tafsir lain—katakanlah kitab tafsir klasik—untuk menjelaskan makna dari asfala sāfilīn? (di sini, penulis perlu membandingkan tafsir yang dikaji dengan tafsir-tafsir klasik—sebuah metode yang uniknya secara sengaja dihindari oleh penulis, meskipun tidak secara konsisten). Jika ada, maka yang dilakukan oleh Haji Abdul Karim Amrullah adalah meminangkabaukan shummun dan bukmun yang merupakan salah satu materi tafsir untuk asfala sāfilīn. Jika tidak, maka Haji Abdul Karim Amrullah telah memperkenalkan nuansa makna baru terhadap asfala sāfilīn, sebuah nuansa yang lahir dari konstruksi budaya bahasa Minangkabau. Yang manakah di antara dua kemungkinan ini yang bisa kita sebut sebagai lokalitas?
Kearbitreran konsep lokalitas ini pada dasarnya bukanlah masalah Tafsir Alquran Minangkabau semata, melainkan masalah umum dalam kesarjanaan tafsir Indonesia saat ini. Kita saat ini masih belum menemukan konsepsi teoretis yang kokoh mengenai lokalitas tafsir. Karena itu, yang sering kita lihat adalah mencari apa yang Nusantara, Indonesia, Minangkabau, Bugis, Jawa, Melayu, dan lain-lain dalam tafsir dan mendramatisirnya sebagai “inilah tafsir Nusantara, Indonesia, Minangkabau, Bugis, Jawa, Melayu yang sarat dengan nuansa lokalitas.”
Pada bagian dialektika, Tafsir Alquran Minangkabau menempatkan ketiga kitab tafsir yang dikaji dalam sejarah intelektual Minangkabau di awal abad 20. Penulis buku ini membahas polemis pandangan keagamaan antara kaum muda dan kaum tua yang turut muncul dalam penulisan tafsir. Dengan kecenderungan modernisnya, Haji Abdul Karim Amrullah menuliskan kritik-kritiknya terhadap amalan kaum tua, terutama terkait tarekat, dalam al-Burhān. Pada sisi lain, Syaikh Sulaiman Arrasuli juga disebut memberikan respons balik atas kritik-kritik tersebut dalam Risālah al-Qaul al-Bayān. Bukan hanya terkait kaum muda, Syaikh Sulaiman Arrasuli juga menyampaikan kritik terkait pemahaman keagamaan Ahmadiyah dan Wahabi. Abdul Lathif Syakur, yang tidak banyak terlibat dalam perdebatan keagamaan antara kaum muda dan kaum muda, memberikan banyak perhatian terhadap konteks penjajahan.
Satu hal yang cukup mengagetkan adalah dialektika tersebut diklaim oleh penulis sebagai distingsi tafsir Minangkabau. Sejujurnya, saya tidak bisa memahami apa yang dimaksud distingsi tafsir Minangkabau oleh buku ini. Sebagian pembaca, termasuk saya, barangkali akan mengira bahwa dengan klaim ini, penulis hendak menyatakan bahwa perdebatan pandangan keagamaan antara kaum muda dan kaum tua, antara ortodoksi sunni dan Ahmadiyyah, dan mengenai masyarakat terjajah dan penjajah, adalah khas tafsir Minangkabau—dalam artian selain tafsir di Minangkabau tidak akrab dengan fitur ini. Itulah konsekuensi logis dari istilah distingsi. Akan tetapi, klaim ini jelas keliru. Perdebatan keagamaan adalah salah satu ciri khas paling natural dalam sejarah tafsir, bukan hanya tafsir Minangkabau. Penulis buku ini sebenarnya juga menyadari itu, terlihat ketika ia mengutip Husain al-Zahabi dan Ignaz Goldziher yang sebelumnya telah membahas perdebatan keagamaan antar kitab tafsir. Dengan demikian, klaimnya bahwa dialektika adalah distingsi tafsir Minangkabau terdengar asing. Pilihannya adalah bahwa penulis tidak konsisten dengan data dan premis yang dia bangun sehingga memunculkan klaim yang kontradiktif atau konsep ‘distingsi tafsir Minangkabau’ tersebut bermakna lain baginya. Apa makna lain tersebut adalah pertanyaan yang bisa diajukan pembaca kepada penulis buku ini.
Selain itu, penulis juga menyebut lokalitas sebagai distingsi tafsir Minangkabau. Pertanyaan di atas juga berlaku untuk hal ini.
Catatan tambahan
Pengeditan naskah buku ini tidak optimal. Benar, bahwa buku ini berasal dari disertasi. Tapi tetap saja ia terbit sebagai sebuah buku. Jadi, kehadiran sebutan ‘disertasi ini’ dalam buku ini memperlihatkan ketidaktelitian dalam penyelarasan bahasa. Kita juga menemukan banyak kesalahan ketik, bahkan termasuk di sinopsis buku yang tertulis di laman belakang buku. Ada banyak pengulangan pengenalan tiga kitab tafsir yang dikaji, dan ada banyak formulasi kalimat yang tidak idiomatis. Di samping hal-hal yang sangat teknis tersebut, problem pengeditan buku ini juga terlihat di sejumlah kasus di mana data-data penting yang secara fundamental membangun premis penulis justru ditulis di catatan kaki alih-alih di badan tulisan. Pada sisi lain, penjelasan-penjelasan tambahan yang untuk koherensi tata argumen buku tidak penting—seperti pandangan personal penulis mengenai sejumlah kritik Haji Abdul Karim Amrullah—justru ditempatkan di bagian badan tulisan dan menghabiskan sejumlah halaman yang cukup signifikan.
Selain itu, bagian metode buku ini memperlihatkan ambivalensi antara studi Qur’an dan studi tafsir. Buku ini menyebut bahwa kajiannya akan berkontribusi sebagai “sumbangsih keilmuan dalam studi Al-Qur’an di Nusantara, khususnya dalam pengembangan dan penguatan metodologi tafsir Al-Qur’an,” (hal. 30). Ia juga menyebut bukunya “menyajikan berbagai metode penafsiran Al-Qur’an di Minangkabau, mengkomparasikannya, dan melakukan rethingking (sic.) terhadap metode-metode tersebut untuk merumuskan suatu metode dan langkah-langkah penafsiran serta epistemologi penafsiran ulama Minangkabau.” Formulasi metode ini mengingatkan kita kepada tren kajian Al-Quran di Indonesia kira-kira satu dekade yang lalu, ketika para sarjana berupaya mencari rumusan metodologi penafsiran yang cocok untuk konteks kontemporer atau konteks Indonesia. Tafsir Alquran Minangkabau tidak terlihat masuk ke arah sana; buku ini adalah kajian sejarah tafsir. Akan tetapi, formulasi metode penelitian semacam itu memperlihatkan kekaburan divisi antara studi tafsir dan studi Quran.
Leave a Comment