| 0 Comments | 686 Views
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ia merupakan kitab suci bagi Muslim, yang dengannya Muslim seluruh dunia hidup dan kepadanya Muslim memiliki rasa hormat dan cinta. Akan tetapi, kita juga harus menyadari, bahwa meskipun demikian, Al-Qur’an bukan hanya milik orang Islam. Bahwasanya ia kitab suci bagi Muslim, iya. Bahwasanya Muslim telah mempelajari sepanjang sejarah dan terus akan mempelajarinya hingga kapanpun juga kenyataan yang tidak bisa dipungkiri dan ramalan yang bisa dipastikan kebenarannya. Akan tetapi, di samping Muslim, Al-Qur’an juga telah dipelajari oleh non-Muslim dari masa ke masa.
Al-Qur’an, dari dalam dirinya sendiri, telah memperlihatkan bahwa Al-Qur’an sendiri senantiasa berhadapan dengan non-Muslim. Tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas keberadaan umat lain. Sejarah akan memperlihatkan informasi historis tambahan tentang ini. Pada abad pertengahan, studi Al-Qur’an oleh non-Muslim berbentuk terjemah, baik yang polemis maupun yang tidak. Pada abad 16, Martin Luther menyatakan bahwa mepelajari Al-Qur’an adalah penting, mengikuti perdebatan trinitas di dalam tubuh gereja sendiri. Pada abad 19, ketika minat kepada studi filologi pesat, Al-Qur’an juga menjadi salah satu objek studinya. Hingga sekarang, masih ada sejumlah nama yang populer seperti Angelika Newirth, Gabriel Reynold, Andrew Rippin, Toshihiko Izutsu, Jane Dammen McAuliffe, Anna M. Gade dan sebagainya.
Lantas, ada pertanyaan, untuk apa kita belajar Al-Qur’an ke Barat? Seringkali pertanyaan ini bersifat retoris dan diikuti sebuah pernyataan, “Kalau mau belajar Al-Qur’an ya kepada Ulama Muslim, bukan kepada non-Muslim!” Logikanya sederhana. Kepada Muslim lah Al-Qur’an diturunkan. Muslim setiap hari hidup dengan Al-Qur’an, dan oleh sebab itu, Muslim lah yang lebih tahu tentang Al-Qur’an. Pada titik ini, pertanyaan tadi diulang, “Untuk apa belajar Al-Qur’an ke Barat?”
Pada satu sisi, ketakutan belajar Al-Qur’an ke Barat berawal dari kekhawatiran perdebatan dalam Bible akan menular kepada Al-Qur’an. Studi historis kepada Bible, misalnya, memunculkan keraguan tentang faktualitas atau ketepatan informasi sejarah Bible tentang penyaliban Yesus bahkan oleh umat Kristen sendiri. Jangan sampai karena hal yang sama, kisah Musa, Zakariya, Ashabul Kahfi, dan lain-lain dalam Al-Qur’an diragukan oleh Muslim kebenarannya. Pada sisi lain, ketakutan ini juga berasal dari trauma sejarah penjajahan. Kita sudah melihat bahwa Indonesia bersama negara-negara mayoritas Muslim lainnya di Asia dan Afrika menjadi jajahan negara-negara Eropa dengan misi Gold, Glory, dan Gospel.
Dengan dua alasan di atas, sangat masuk akal jika Muslim tidak perlu belajar Al-Qur’an kepada non-Muslim. Artinya, masyarakat Muslim harus belajar Al-Qur’an kepada Ulama Muslim. Hanya saja, kita tidak perlu terpaku dengan dua ketakutan di atas, terutama untuk pelajar Al-Qur’an yang sedang berproses menjadi seorang profesional dalam studi Al-Qur’an. Sebagai pelajar Al-Qur’an, seseorang harus memandang studi Al-Qur’an oleh non-Muslim adalah kenyataan di seputar Al-Qur’an, dan oleh sebab itu ia harus mengetahuinya. Seorang pelajar Al-Qur’an harus mempelajari kekayaan tradisi studi Al-Qur’an oleh Muslim sepanjang sejarah. Namun begitu, ia juga tidak boleh menutup mata, bahwa begitu banyak non-Muslim yang aktif menulis dan mempelajari Al-Qur’an. Bukan hanya kesimpulan yang kontroversi, tidak sedikit pula non-Muslim yang menunjukkan otentisitas, kehebatan, dan sisi luar biasa Al-Qur’an. Bukan hanya ada Wansbrough, Luxenberg, Burton, Geiger, Schacht, dengan kesimpulan-kesimpulan kontroversial juga ada Neuwirth, Richard Netton, A.H. Johns, dan sebagainya yang kajian mereka sangat sopan terhadap kepercayaan Muslim.
Dengan demikian, pada titik ini kesimpulan kita akan berbeda. Masyarakat Muslim diwajibkan mempelajari Al-Qur’an. Masyarakat umum harus mempelajarinya secukupnya, sebagai tuntunan moral dan ibadah harian mereka. Tema ini bisa didapatkan dari ulama-ulama Muslim sendiri. Akan tetapi, untuk kalangan spesifik seperti pelajar Al-Qur’an, mempelajari studi non-Muslim tentang Al-Qur’an justru adalah keharusan. Pelajar Al-Qur’an mempelajari Al-Qur’an bukan terbatas untuk orientasi keagamaan sebagai masyarakat umum, tapi juga untuk tema-tema akademis terbatas yang dibincang oleh pakar professional dalam studi Al-Qur’an.
Kesimpulan di atas dikuatkan dengan dua cerita berikut. Selama ini kita mendengar cerita tentang satu peristiwa dalam perang Salib. Ketika tentara memasuki Baghdad, mereka menyerbu perpustakaan dan membakar buku2 sehingga air sungai menjadi hitam karena tinta mencair. Ini adalah adalah cerita yg dilebih-lebihkan. Semua itu diabadikan oleh sya'ir Arab dg bahasa metaforis. Kenyataannya, buku-buku tersebut dibawa ke Eropa. Misi intelektualisme ini berlanjut hingga zaman kolonialisme, sehingga wajar jika naskah-naskah Indonesia banyak di Belanda. Bukan hanya Belanda, dalam sebuah perpustakaan manuskrip di Berlin, ada sekitar 40.000 naskah berbahasa Indonesia, Melayu, Jawa, dan sebagainya.
Cerita kedua, pada masa PD II, 3 sarjana Jerman berangkat ke Timur Tengah untuk mengambil gambar manuskrip-manuskrip seputar Islam yang dianggap manuskrip tertua. Selama misi itu, mereka berhasil mengumpulkan 460 manuskrip dan disimpan di Musem di Munchen. Film manuskrip ini dinyatakan hancur ketika PD, akan tetapi belakangan seorang sarjana memungkiri. Ia menyimpan manuskrip itu dan mewariskannya kepada muridnya. Saat ini, muridnya menjadi salah seorang tokoh penting dalam studi Al-Qur’an di Jerman. Jadi, pertanyaan kenapa studi di Eropa?, jawabannya 'kenapa tidak?!'
Leave a Comment