| 0 Comments | 1120 Views
Tanggal 30 September 2016, Basuki Tjahya Purnama atau Ahok berpidato di depan masyarakat kepulauan seribu. Dalam satu bagian, ia menyebut istilah ‘dibohongi pakai al-Ma’idah ayat 51’. Internet bereaksi. Pidatonya jadi kontroversi. Video dan transkrip disebar secara viral, dan tanggapan-tanggapan bermunculan.
Di satu sisi, sebagian merasa tersinggung karena Ahok dinilai melecehkan Al-Quran. Di sisi lain, sebagian menerima klarifikasi Ahok bahwa ia tidak berniat melecehkan. Menariknya, sebagian mendengar Ahok menyebut ‘dibohongi pakai al-Ma’idah’ dan sebagian lainnya mendengar ‘dibohongi oleh Al-Qur’an’; seolah ada dua versi video yang beredar. Lho?!
Perdebatan juga melibatkan intelektual dan ulama. Aa Gym, misalnya, menyebut bahwa sulit bagi pemimpin yang berbeda akidah untuk menghormati Allah, Rasul, atau Al-Quran sebagaimana Muslim menghormatinya. Ia menekankan bahwa ada 7 ayat Al-Quran yang melarang memilih pemimpin non-Muslim.
Di lain pihak, Nadirsyah Hosen, menanggapi statement dari Aa Gym. Di akun twitternya ia menyebut bahwa keharaman babi dalam Al-Quran itu qaṭ`i al-dilālah tapi persoalan memilih pemimpin bersifat ẓanniy al-dilālah. Ia juga membagikan capture sejumlah kitab tafsir yang menekankan bahwa terminology awliyā’ tidak bermakna pemimpin.
Aa Gym dan Hosen mewakili dua kubu argumen yang dimunculkan terkait persoalan ini. Terlepas dari perdebatan tentang makna awliyā’ tersebut, peristiwa ini mengingatkan saya pada satu artikel Azyumardi Azra yang diterbitkan dalam buku Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia yang diedit oleh Abdullah Saeed.
Azra menjuduli artikelnya dengan “The Use and Abuse of Qur’anic Verses in Contemporary Indonesian Politics” (Penggunaan dan Penyalahgunaan Ayat Al-Quran dalam Politik Kontemporer Indonesia). Apa yang ia bahas di sana memiliki konteks yang persis seperti perdebatan beberapa hari belakangan, yaitu pemilu.
Pada masa Orde Baru, menurut Azra, meskipun rezim memiliki kebijakan deislamisasi politik Indonesia, para praktisi politik masih menggunakan ayat-ayat tertentu untuk meraih simpati masyarakat. Menjelang pemilu 1971, dua partai politik menggunakan strategi ini, Golkar dan PPP.
Golkar ketika itu mengutip surat al-Fatḥ ayat 18; laqad radhiya Allahu ‘an al-mu’minīna iżā yubāyi’ūnaka taḥta al-syajarah (Sungguh Allah meredai orang Mu’min jika mereka membai’at kamu di bawah pohon). Ayat ini relevan secara literal bagi Golkar, karena partai ini berlambang pohon beringin. Jadi, mereka mengkampanyekan sebuah narasi bahwa jika kalian ingin diredai Allah, maka pilihlah (berbai’at) di bawah naungan Golkar.
Di samping itu, mereka menekankan bahwa Golkar memiliki program pembangunan, dan pembangunan merupakan a’māl al-shāliḥa yang ditekankan di banyak ayat Al-Quran. Mereka juga mengkampanyekan bahwa Golkar adalah jalan untuk menggapai balda ṭayyiba sebagaimana pada surat Saba’ ayat 15 (Ada kekeliruan penulisan oleh Azra, Saba’ adalah surat ke 34, tapi ia menuliskan 33).
Di lain pihak, PPP mengutip Al-Mā’idah ayat 95 dan 97 untuk melegitimasi keislaman partai mereka. Kedua ayat tersebut menyebut kata ka’bah yang secara kebetulan juga lambang dari PPP. Diceritakan bahwa lambang partai ini ditetapkan oleh K.H. Bisri Sjansuri setelah melakukan istikhārah. Mereka mengkampanyekan bahwa jika ketika shalat Muslim menghadap Ka’bah, begitu pula lah hendaknya ketika pemilu.
Di samping itu, mereka juga menggunakan istilah jihād fī sabīlillah untuk merepresentasi perjuangan PPP. Dari itu, dikutiplah ayat-ayat tentang jihād untuk menarasikan bahwa jika Muslim ingin berjihad, maka ikutlah bersama PPP. Bahwasanya jihād itu hukumnya wajib, maka demikian pula lah dengan perjuangan bersama PPP.
Kejadian serupa juga terjadi lagi pada pemilu 1999. Ketika itu, Megawati tampil sebagai salah satu kandidat calon presiden dari PDI-P. Pencalonan ini memancing respon dari banyak pihak, salah satunya dari PPP. Mereka menolak Megawati berdasarkan pada surat al-Nisā’ ayat 34 yang menyebutkan bahwa laki-laki adalah pelindung perempuan. Mereka juga mengutip hadis yang menjelaskan bahwa kepemimpinan perempuan tidak akan membawa kepada keberhasilan.
Megawati kalah ketika itu. Yang menjadi presiden adalah Gusdur. Akan tetapi, persilangannya dengan poros tengah segera membahayakan posisi kepresidenannya. Maka, untuk mempertahankan itu, pendukung Gusdur menggunakan terminologi fiqh siyāsah dan ayat-ayat Al-Quran. Ayat tentang perintah untuk mematuhi pemimpin dikutip, seperti al-Nisā’ ayat 59 dan 83.
Ketidakpatuhan terhadap pemimpin (ūlu al-amr) dibahasakan sebagai baghy (pemberontakan). Dikutip pula lah ayat-ayat serta sejumlah hadis yang melarang tindak pemberontakan ini. Jika terjadi bughāt, maka tindakan untuk melawannya disebut dengan jihād.
Peristiwa-peristiwa di atas memperlihatkan sejarah yang berulang. Ayat-ayat Al-Quran dipergunakan untuk kepentingan kampanye demi kekuasaan. Peristiwa Golkar-PPP, PDIP-PPP, kembali terjadi di antara kubu pro-Ahok vs anti-Ahok.
Jika pada kampanye pemilu 1971 terjadi perang ayat, antara ayat dengan syajarah dan ayat dengan ka’bah, pada kampanye 1999 yang terjadi adalah perang penafsiran. Sementara yang terjadi saat ini pun adalah perang penafsiran, yaitu seputar istilah awliyā’.
Terlepas dari kontestasi politis bernuansa hermeneutis ini, peristiwa demi peristiwa di atas mengingatkan saya akan sebuah ungkapan dari Ali ibn Abi Ṭālib, “al-Qur’ān innamā huwa khaṭṭun maṣtūrun la yanṭiq, innamā yanṭiqu bihi al-rijāl” (Al-Quran adalah tulisan yang tertera di Mushaf, tidak bisa berbicara dengan lisan, Al-Quran berbicara melalui manusia).
Ungkapan Ali ini memiliki konteks istinbāṭ al-hukm, bahwa hukum Al-Quran diartikulasikan oleh manusia. Akan tetapi, membawa ungkapan ini ke ranah politik sepertinya tidak keliru, bahwa seorang politisi tertentu bisa membawa Al-Quran untuk kepentingan politiknya masing-masing.
Kubu anti-Ahok menyuarakan Al-Quran untuk menyelamatkan Muslim dari pemimpin non-Muslim, sementara kubu pro juga menyuarakan Al-Quran (bahkan ayat dan terminology yang sama) untuk menampiknya. Namun bagaimanapun kondisinya, perlu digarisbawahi, semua ini adalah kontestasi politik, dan seperti ini lah wajah politik Indonesia.[]
Leave a Comment