| 0 Comments | 732 Views

Sudah jamak diketahui bahwa Indonesia menganut sistem pendidikan yang membedakan antara pendidikan agama dan pendidikan umum; ilmu agama dan ilmu umum. Ada Departemen Pendidikan Nasional yang mengurusi sekolah-sekolah negeri dan ada Kementrian Agama yang mengurusi madrasah-madrasah dan pendidikan keagamaan.

Dalam konteks ini lah cara berpikir bangsa Indonesia tumbuh. Tidak aneh jika meskipun pada level diskursif banyak orang Indonesia yang menentang sekularisme, pada level praktis mereka justru sekuler. Ini tampak misalnya dalam persepsi yang memberi jurang yang begitu jauh antara dunia dan akhirat, antara pasar dan masjid, dan tentu saja antara ilmu agama dan ilmu umum/dunia.

Mengapa demikian?

Dalam peradaban abad tengah Islam, keberadaan ulama yang multidisiplin membuktikan bahwa sudut pandang dikhotomis tersebut tidak ada. Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Ibn Sina, al-Farabi, Ibn Khaldun, dan Ibn Rusyd misalnya untuk menyebut beberapa nama populer, adalah para ulama yang sekaligus ‘ilmuan’.

Mereka mempelajari ilmu-ilmu Islam yang tumbuh dan berkembang semenjak abad pertama Hijriah, dan selanjutnya mengalami perjumpaan dengan ilmu dari luar dengan adanya penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam peradaban Islam. Perkembangan itu berlanjut dan perlahan meredup seiring dengan adanya kepercayaan tertutupnya pintu ijtihad dan melemahnya kekuatan politik pemerintahan.

Seiring kemandegan keilmuan Islam, Eropa mengalami renaissance. Terlepas dari diskusi tentang pengaruh peradaban Islam terhadap Eropa, ilmu-ilmu yang populer saat ini, alam maupun humaniora, adalah ilmu-ilmu yang bersumber dari Eropa. Teori-teori yang diperbincangkan dalam diskusi ilmiah saat ini merujuk kepada tokoh-tokoh dari Eropa. Eropa saat ini menjadi primadona ilmu sebagaimana dulu Daulah Abbasiyah.

Mari kita masuk ke konteks Indonesia, dan tidak bisa tidak, harus dikaitkan dengan sejarah penjajahan Belanda. Keberadaan Belanda di Indonesia memiliki identitas ganda dalam perspektif pribumi. Mereka adalah bangsa Barat penjajah pada satu sisi, dan missionaris Kristen pada sisi lain. Meskipun pihak Belanda sendiri memiliki pandangan yang berbeda tentang posisi agama Kristen dalam pola dan strategi  governing mereka, begitulah pribumi Muslim memandang mereka.

Islam telah muncul lama sebelum kedatangan penjajah. Transmisi keilmuan telah berlangsung lama terutama dari Timur Tengah. Dengan demikian, masyarakat Muslim Indonesia telah memiliki akses kepada ilmu Fiqh, Tasawwuf, Tafsir, Hadis, dan semacamnya. Nama-nama seperti Hamzah Fansuri, Nur al-Din al-Raniri, Abd al-Samad Palembang, Syaikh Arsyad Banjar, dan tentu saja Wali Songo akan memberikan kita konteks yang lebih luas tentang transmisi keilmuan Islam pada zaman itu di bumi Nusantara.

Pada abad 19-20, muncul gerakan modernisasi pemikiran dan pendidikan Islam, terutama di India dan Mesir. Pengaruhnya sampai ke Indonesia. Dapat dilihat dari kiprah murid-murid Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Nawawi Banten di Indonesia. Juga dari distribusi majalah Al-Manar dan korespondensi antara tokoh-tokoh di Indonesia dengan Muhammad Rasyid Ridha.

Gerakan pembaharuan ini melahirkan kesadaran untuk membuka diri terhadap peran rasio dan kemajuan sains Eropa. Di Indonesia, semangat tersebut muncul dengan terbentuknya banyak organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam, Muhammadiyyah, dan NU di Jawa, Thawalib dan Perti di Sumatera, dan sebagainya. Organisasi tradisionalist seperti NU, meskipun berseberangan dengan modernist, pengaruh modernisasi pemikiran dan pendidikan Islam juga menyentuh mereka.

Dilatari oleh gerakan pembaharuan ini, pribumi mulai merasa penting untuk mempelajari ilmu-ilmu dari penjajah. Sejumlah sekolah yang mengadopsi metode dan materi dari Belanda bermunculan. Tidak sedikit pula madrasah madrasah yang bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu administrasi dan sains dari Belanda.

Semenjak saat itu lah sepertinya Indonesia mengenal dua fakultas keilmuan. Yang pertama adalah ilmu keislaman yang telah lebih dahulu dikenal seiring masuknya Islam ke Indonesia. Ilmu-ilmu ini berasal dari Timur Tengah dan Mesir. Sementera yang kedua adalah ilmu-ilmu dari Belanda/Barat; terkadang juga diasosiasikan sebagai Kristen, sehingga mendapat resistensi. Meskipun madrasah-madrasah tersebut mengajarkan kedua fakultas, keduanya masih dipahami secara dikhotomis.

Kelahiran Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat berada dalam konteks ini. Maka, ketika pemerintah terbentuk dan mulai berupaya membangun sekolah-sekolah, dikotomi tersebut menjadi sisi determinan. Itulah yang memunculkan dua model pendidikan di Indonesia, antara sekolah negeri negeri yang mengajari pendidikan umum dan madrasah yang mengajarkan pendidikan agama.

Penjelasan di atas merupakan penyederhanaan dari proses yang sangat panjang, sejak abad pertengahan untuk konteks global, dan sekitar abad 17-18 untuk konteks Indonesia. Artinya, dikotomi Ilmu menjadi dua telah memiliki akar sejarah yang begitu dalam di dunia Islam terutama di Indonesia. Itulah mengapa pola pikir dikhotomis ini begitu mengakar di benak orang Indonesia; itulah mengapa mereka secular secara practical, meskipun menentangnya secara discursive.[]


Leave a Comment