| 0 Comments | 1067 Views
Masih banyak masyarakat Indonesia yang suka minder dari bule. Bulan Juni lalu, Saya pernah ngetwit, “Orang Indonesia masih suka merasa inferior dari orang luar. Makanan bule dianggap lebih berkelas, dan doanya orang Arab lebih manjur.” Jauh sebelum itu, saya beberapa kali membaca kegelisahan yang sama di dinding wall salah seorang seniorku, Mbak Lien, ketika ia kuliah di Hartford University. Ketika itu ia memperlihatkan beberapa sisi ironi dalam kehidupan di Amerika yang jarang diungkap. Yang saya ingat, ia pernah menuliskan sesuatu tentang kehilangan sepeda dan sebuah merk makanan cepat saji yang sangat populer di Indonesia. Silahkan cek kalau tidak percaya.
Kemarin, saya menemukan satu hal yang menarik untuk ditulis. Kembali, tentang mental inlander ini. Hanya saja, kali ini bukan dari perspektif orang Indonesia, tapi perspektif si bule sendiri.
Sebultlah Michael, salah seorang bule pengajar bahasa Inggris di IALF Jakarta. Saya tidak tahu pasti dari pelosok mana tepatnya di belahan Barat ia berasal. Tapi itu bukanlah masalah. Toh bagi orang Indonesia asal ada orang berkulit putih dan terkadang kemerah-merahan, berperawakan tinggi, seperti yang mereka lihat di film-film hollywood, mereka semua adalah bule. Bahasa jawa juga bersikap generalisatif dengan sebutan ‘londo’.
Seperti biasa, sesi sore ini, Selasa, 20 Oktober 2015 dihabiskan dengan mendiskusikan suatu topik. Temanya adalah how to study overseas. Perhatian utamanya bukan lagi tentang bagaimana cara mendapatkan beasiswa, tetapi bagaimana mengikuti iklim akademik di Barat. Michael memutar sebuah video presentasi salah seorang professor dari Australia yang menjelaskan perbedaan paradigma studi orang Asia daripada orang Barat. Saya tidak terlalu sependapat dengan si Professor dalam beberapa hal. Mungkin saja karena video tersebut direkam beberapa tahun yang lalu, dan iklim studi di Indonesia tidak begitu sesuai dengan yang ia bicarakan.
Anyway, tulisan ini tidak akan mendiksusikan itu. Simpan saja untuk kesempatan lainnya.
Kembali ke topik utama, 20 menit menjelang sesi selesai, Michael mengemukakan satu hal menarik, “Kelompok ini menanyakan satu pertanyaan menarik (ketika itu kami dibagi ke beberapa kelompok kecil), apakah orang Barat selalu merasa superior dari orang Indonesia?” Pertanyaan tersebut membuat diskusi riuh penuh canda berubah menjadi cukup serius.
Michael memulainya dengan bertanya kepada beberapa peserta yang pernah berkunjung atau belajar di Barat. “Apakah kamu menemukan hal sedemikian?” Mereka menjawab tidak. Michael setuju. Menurutnya, sebagai sebuah negara, Amerika memang dengan percaya diri menganggap diri mereka berada di atas negara-negara lainnya. Mereka adalah negara super power. Mereka memiliki budaya dan peradaban terdepan. Akan tetapi, sebagai seorang individu, orang-orang Amerika tidak akan menganggap diri mereka lebih utama dibanding yang lainnya. Pada faktanya, belakangan orang Amerika mulai khawatir jika pendidikan mereka sudah tertinggal dari banyak negara lainnya.
Saya ikut melibatkan diri dalam diskusi, “Sepertinya ini berkaitan dengan trauma historis; Kita lihat bangsa Barat datang ke Asia dan Afrika sebagai penjajah, dan Indonesia dijajah oleh Belanda.” Michael kembali setuju. Salah seorang peserta lainnya, Pak Hasan, mengungkap bahwa berdasarkan penelitian salah seorang pakar psikologi di UGM, ditemukan bahwa bekas-bekas psikologis dari penjajahan Belanda di Indonesia masih terlihat di sana sini. Misalnya, orang Indonesia cenderung menggunakan bahasa pasif. Sementara itu, jika kita belajar academic writing dalam bahasa Inggris, kita akan ditekan untuk sedapat mungkin menggunakan bahasa aktif. Menurutnya, bahkan hingga tataran penggunaan bahasa, masyarakat Indonesia itu ditekan untuk bersikap pasif.
Kita belum sampai pada sisi paling menarik dari diskusi tersebut, yaitu pengalaman pribadi Michael. Katanya, ia datang ke Indonesia pada tahun 1981. Berarti dia sudah hidup di Indonesia selama 34 tahun. Selama di Indonesia, ia telah berkunjung hampir ke seluruh provinsi. Dia bahkan hidup lebih lama dan menjajaki kaki di lebih banyak tempat di Indonesia daripada semua peserta kursus. “Selama itu,” kata Michael, “saya melihat perubahan besar dari orang Indonesia.” Pada tahun 1980an, berteman dengan seorang bule adalah sebuah berkah. Punya teman bule adalah gengsi. Banyak orang kaya Indonesia yang berusaha menarik hati para bule untuk status sosial. Dalam sebuah acara perkawinan, mereka akan begitu senang jika ada bule yang hadir. “Mereka bahkan seolah hampir ‘menyembah’ saya!” Saya cukup termangu mendengar penuturan Michael. Sepertinya teman-teman di kelas juga demikian.
Michael melanjutkan ceritanya.
“Saya malu ketika itu. Padahal mereka itu adalah orang-orang kaya dan terhormat di sini. Saya ini apalah. Saya hanya seorang pegawai biasa. Saya hanyalah seorang karyawan yang mengais rejeki di sini. Dan mereka adalah orang-orang kaya, begitu antusias mengundang saya ke pernihakan mereka, dan bertindak seolah hampir menyembah saya. Saya malu.”
“Begitu juga ketika pertama kali datang ke Indonesia, seorang pembantu ditugaskan di rumah saya. Saya belum pernah punya pembantu. Selama ini saya melakukan segala sesuatunya sendirian. Dan sekarang saya punya pembantu. Saya dipanggil ‘Tuan’.”
Dari penuturan Michael, saya melihat bahwa rasa minder itu benar-benar ada. Rasa inferior itu benar-benar nyata di Indonesia. Saya kembali mengingat masa kecil. Saya tinggal di sebuah desa kecil di Sumatera Barat. Kebetulan tidak jauh dari rumah terdapat sebuah objek wisata yang cukup dikenal, namanya Puncak Lawang. Jadi, melihat bule tiba-tiba lewat di depan sekolah atau dekat lapangan bola tempat kami biasa bermain adalah hal yang lumrah. Yang tidak lumrah adalah anak-anak ketika itu begitu antusias dengan kedatangan si bule, meskipun ia hanya lewat. Mereka meneriakinya begitu girang, seolah kedatangan malaikat. Suatu ketika teman saya berkata, “Mereka baik lo, coba saja kamu minta pulpen atau pensil, mereka pasti kasih.” Pulpen atau pensil ketika itu adalah barang berharga bagi seorang murid. Seringkali kami dimarahi orang tua dan guru ketika pulpen atau pensil kami hilang lagi dan lagi. Pulpen dan pensil digunakan sang teman sebagai cara untuk memuji si bule. Ketika kami dimarahi karena tidak punya pulpen, si bule ternyata memberikannya.
“Tapi sekarang tidak begitu lagi.” lanjut Michael. “Sekarang saya meilihat anak-anak bermain, saya lewat di sekitar mereka, lalu mereka berteriak, ‘Fuck You, Mister!!’ Ya itu bukanlah sesuatu yang baik. Tapi paling tidak memperlihatkan bahwa anak-anak Indonesia tidak lagi merasa minder terhadap bule.”
Michael menutup ceritanya dengan sebuah nasihat, “If you do feel inferior right now, leave it now, or leave it in this room!” Lalu saya memotongnya, “I don't have it!”
“You don’t? Good, dont feel inferior to any body!”
Leave a Comment