| 0 Comments | 314 Views

Pada akhir tahun 2015 kemarin, Alhamdulillah saya mendapatkan kabar gembira; Saya diterima di salah satu Universitas di Jerman untuk melanjutkan studi. Bukan hanya diterima sebagai mahasiswa, saya juga mendapatkan beasiswa sekaligus kesempatan menjadi asisten peneliti seorang professor di sana. Hal ini membuat beban saya menjadi lebih ringan, karena saya tidak perlu lagi krusak-krusuk mencari beasiswa dari funding yang berbeda, seperti LPDP atau Beasiswa 5000 doktor.

Salah seorang teman, sebut saja Galuh, melihat saya senang menuliskan sesuatu dan mengunggahnya di blog pribadi. Akan tetapi saya tidak pernah menuliskan sebuah capaian. Hal ini karena saya tetap merasa capaian saya tidak istimewa. Bukannya tidak bersyukur, tapi ada banyak orang yang mendapatkan hal serupa atau bahkan lebih. Konon kabarnya, pada tahun 2014, ada 84 ribu mahasiswa Indonesia tersebar di berbagai negara di penjuru dunia, dengan funding dan Universitas yang beragam, mulai dari yang paling bergengsi hingga yang alternatif.

Jadi, kuliah luar negeri? Itu mah g istimewa!” Tapi si teman ini tetap menyarankan (dan memaksa) saya untuk menuliskan tentang yang satu ini. Katanya, “mungkin kamu merasa biasa aja karena di sekeliling kamu banyak orang yang lebih wah, yang dari mereka kamu mendapatkan semangat dan inspirasi. Tapi buka matamu, di luar sana juga banyak orang yang memiliki mimpi yang tinggi, dan butuh orang-orang seperti kamu untuk menginspirasi mereka...!!!” Begitulah kira-kira katanya. Tapi okelah, ada benarnya juga.

Ceritanya begini. Jadi, saya mendapatkan kesempatan kuliah bukan dari jalur yang populer di Indonesia, dari beasiswa 5000 doktor kementrian agama atau LPDP, melainkan dari DFG (Englishnya German Research Foundation). Saya mendapatkan semua itu secara kebetulan; terjadi begitu saja. Beberapa hari setelah saya sidang tesis di UIN Sunan Kalijaga, saya menemui salah seorang dosen, Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin.

Ketika itu saya minta wejangan dan rekomendasi siapa professor yang bisa saya hubungi untuk mendapatkan LoA. Ketika itu, maksud saya adalah untuk LPDP, karena saya belum bisa mendaftar lewat beasiswa 5000 doktor, terkendala masalah NIDN. Saya mengintai Angelika Neuwirth, salah seorang professor studi Al-Quran ternama dan yang saat ini tulisannya sangat mewarnai wacana studi Qur’an di Barat. Akan tetapi, menurut Pak Sahiron, ia sudah terlalu tua. Ia menyarankan Johanna Pink sebagai gantinya.

Kira-kira seminggu berselang, saya dihubungi oleh Ketua Jurusan Agama dan Filsafat di Pascasarjana, Bapak Dr. Moch Noor Ichwan. Katanya, seorang professor di Jerman sedang mengajukan proposal penelitian, dan dalam risetnya, ia akan butuh seorang calon mahasiswa S3 yang mampu berbahasa Arab, Inggris, dan Indonesia. “Kamu tertarik g?”, saya kaget, “kalau iya kamu saya rekomendasikan.”  Sepertinya si Bapak becanda; tentu saja saya tertarik. Tapi siapa sangka, kekagetan saya bertambah setelah tahu bahwa si professor yang dimaksud oleh Pak Ichwan adalah “Johanna Pink.” Kebetulan, Kan?

Selanjutnya, pada Agustus 2015, UIN Sunan Kalijaga mengadakan konferensi studi Qur’an level Internasional bersama International Qur’anic Studies Association (IQSA). Banyak pakar studi Qur’an diundang ketika itu. Ini adalah momen yang sangat saya tunggu-tunggu selama hampir setahun semenjak pertama kali infonya beredar.

Pertama, tentu saja karena ini adalah konferensi studi Qur’an, tingkat internasional, dan saya adalah pelajar studi Qur’an. Kedua, karena nama-nama pakar yang disebut-sebut akan hadir. Ketiga, karena saya ikut mengirimkan paper untuk menjadi salah seorang pemakalah dalam Graduate Forum. Saya tidak menyangka ternyata ada satu alasan lainnya, alasan yang paling membuat saya semakin excited ketika rundown acara telah release; salah seorang dari pakar yang akan datang dan presentasi adalah Johanna Pink. Sebuah kebetulan lagi.

Saya sidang tesis pada bulan Juni 2015. Juli adalah Ramadhan, artinya saya pulang kampung. Agustus tanggal 3-6 adalah jadwal konferensi. Alhamdulillah paper saya diterima untuk dipresentasikan di sana. Dua hari setelahnya, saya diwisuda. Agustus menjadi bulan terbaik pada tahun itu. Akan tetapi, saya masih punya mimpi untuk lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Saya kembali mendatangi Bapak Ichwan menanyai tentang proposal riset Johanna Pink yang pernah ia sampaikan. Katanya, proposal penelitian prosesnya bisa lama; bisa beberapa bulan atau mungkin setahun. Di sela-sela acara conference, saya juga bertanya langsung kepada si professor. Jawabannya, sama!

Saya mencium peluang yang belum pasti. Artinya, saya harus mengambil langkah yang lebih kongkrit dari sekedar menunggu. Saya memutuskan untuk membuat proposal disertasi sendiri, kembali ke target LPDP, dan ajukan kepada seorang professor sebagai calon supervisor. Siapa supervisor yang saya target? Tentu saja Johanna Pink. Saya melakukan korespondensi dengannya membahas proposal disertasi yang saya ajukan. Saya yakin, kalaupun penelitian yang diajukan oleh Johanna Pink terlalu lama atau mandeg, saya akan menjalankan proposal yang ini, dan saya akan berperang melalui LPDP.

Saya beberapa kali melakukan revisi sesuai dengan review dia. Ketika proposal disertasi tersebut sampai pada titik paling akhir, editan terakhir, email dari Johanna Pink masuk, “Kamu tertarik untuk terlibat dengan riset saya? Fundingnya telah disetujui, dan saya sekarang memastikan siapa yang akan jadi asisten saya. Jika kamu setuju, kamu bikin satu proposal lagi, sesuai dengan tema besar proposal saya. Ada sejumlah kandidat lainnya. Semuanya saya suruh membuat proposal. Nanti saya akan pilih satu orang yang terbaik.” Wawww...!!!

Singkat cerita, saya diterima. Alhamdulillah. Begitulah ia, kebetulan demi kebetulan yang datang berganti-ganti di waktu yang tepat. Tidak ada yang istimewa. Secara sederhana begitulah kronologinya.

Saya ingin melengkapi cerita di atas dengan catatan refleksi.

Pertama, apa yang kita dapatkan hari ini ada hasil dari apa yang kita lakukan kemarin. Kesempatan itu datang begitu saja dari orang yang percaya. Bapak Sahiron tidak akan merekomendasikan si profesor ke saya jika ia tidak percaya saya akan mampu melewati studi di bawah supervisi dia. Bapak Ichwan juga tidak akan merekomendasikan nama saya kepada si professor kecuali karena ia yakin saya mampu melewatinya. Begitu juga si professor Johanna Pink tidak akan menerima saya jika ia tidak percaya dengan proposal saya. Bayangkan, sertifikat IELTS atau TOEFL pun tidak ditanya (Nb. Ini salah satu syarat mutlak pengajuan beasiswa ke funding manapun juga!). Ijazah Master saya juga diminta belakangan, setelah dia mengkonfirmasi kelulusan saya.

Kedua, untuk beasiswa, atau juga sepertinya karir akademik, ada dua kunci yang harus kita miliki, yaitu bahasa dan publikasi. Sebagaimana saya sebutkan di atas, keterampilan (bukan pengetahuan) berbahasa menjadi syarat mutlak dalam pendaftaran beasiswa ke lembaga manapun. Dulu yang disebut-sebut adalah TOEFL, tapi saat ini ia mulai digantikan oleh IELTS. Tanpa ini, Anda tidak bisa mengajukan beasiswa. Kecuali jika Anda mendapatkan kesempatan dari seorang Professor yang dikenal memiliki ‘surat sakti’.

Di wilayah Eropa, kata Prof. Noorhaidi Hasan, ada kultur riset yang bisa menguntungkan bagi calon mahasiswa. Seorang professor mengajukan proposal riset ke lembaga tertentu, dan dalam paket riset tersebut, ia membawa sejumlah mahasiswa yang akan dikuliahkan. Nah, sang Professor ini memiliki ‘surat sakti’ yang bisa menggantikan TOEFL atau IELTS. Sekarang, bagaimana kita bisa meyakinkan si professor bahwa kita layak.

Dalam hal ini, mungkin kita tidak butuh skor TOEFL atau IELTS. Lebih gampang? Tentu tidak. Mengapa demikian? Karena, saya rasa, jika si Professor harus mencari sesuatu hal yang membuat dia percaya terhadap kualifikasi calon mahasiswanya tanpa melihat sertifikat TOEFL atau IELTS, maka itu adalah publikasi. Kita harus memiliki rekaman publikasi atau juga presentasi yang cukup. Jika rentetan publikasi itu telah membuat si Professor yakin, maka sertifikat bahasa menjadi yang nomor sekian.

Kembali ke yang tadi, apa yang kita capai saat ini adalah apa yang kita lakukan kemarin. Kepercayaan dari figur-figur yang saya sampaikan di atas berawal dari publikasi yang saya rutinkan sejak tahun 2011 dan presentasi seminar nasional dan internasional yang telah saya ikuti sejak 2012. Bagaimana caranya? Datang ke mading kampus, lihat kertas pengumuman berjudul “Call for Paper”. Setelah itu, penuhi panggilannya. That’s it.

Saya mengibaratkan bahasa dan publikasi di satu sisi dan kualifikasi ilmu yang kita miliki di sisi lain sebagai gerobak dan pasir. Tumpukan pasir merepresentasikan ilmu yang kita miliki. Kita perlu mengantarkan pasir itu ke suatu tempat, yang namanya “Lembaga Pengada Beasiswa/Lembaga Penelitian.” Tanpa mengantarkannya ke sana, pasir yang kita miliki sia-sia.

Karena itu, kita butuh sesuatu untuk mengantar pasir ke lokasi tujuan. Gunakanlah gerobak. Pasir di muat ke gerobak baru bisa diantar ke tujuan. Artinya, bahasa dan publikasi mengantarkan ilmu yang kita miliki ke gerbang produktifitas. Tanpa keduanya, ilmu hanya menumpuk sia-sia.[]


Leave a Comment