| 0 Comments | 1435 Views
Upaya untuk menggali tradisi pemikiran Islam melalui karya-karya ulama Nusantara menguat beberapa waktu belakangan. IAIN Surakarta yang dimotori pakar Tafsir Nusantara, Islah Gusmian, mengumpulkan dan mengkaji manuskrip-manuskrip terkait Al-Quran. Semangat yang sama juga menguat di banyak universitas serta peneliti-peneliti lainnya; salah satu contohnya Jurusan IAT UIN Sunan Kalijaga beberapa saat yang lalu mengadakan perjalanan ke berbagai wilayah untuk mengumpulkan manuskrip-manuskrip.
Terlepas dari semua itu, tulisan ini berupaya untuk memperkenalkan literatur klasik terkait Al-Quran di Indonesia semenjak abad 16 hingga 19. Penting untuk disampaikan, bahwa apa yang disampaikan dalam tulisan ini hanyalah review setengah dari apa yang disampaikan oleh pakar studi Qur’an Indonesia, A.H. Johns dalam artikelnya “Qur’anic Exegesis in the Malay-Indonesian World: an Introductory Survey” dalam buku Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia yang diedit oleh Abdullah Saeed. Tampak betapa sederhananya apa yang disampaikan di sini, karena hanya review terhadap sebuah introductory survey.
Johns memulai surveynya dari abad 16 melalui Hamzah Fansuri yang hidup diantara tahun 1550-1599 (sebuah penemuan menyebutnya meninggal tahun 1527). Dia belajar di Barus, Pasai, dan mungkin juga di Shahr al-Nawi di Thailand. Ia juga berkunjung ke Baghdad dan Madinah, dan berhaji ke Makkah. Ia adalah seorang sastrawan, dalam puisi-puisinya terdapat kutipan-kutipan dari Al-Quran. Tapi, tidak ada karya yang benar-benar ‘tafsir’ yang diatribusikan kepadanya. Akan tetapi, kejeniusannya dengan kata-kata dalam bahasa Melayu dan bahasa Arab serta semangat keagamaannya mengambarkan keberadaan literatur yang luas. Ini mengindikasikan kehidupan Islam yang sudah cukup solid pada masa hidupnya.
Selanjutnya, sebuah manuskrip yang diidentifikasi berasal dari tahun 1620 berisi satu fragmen tafsir dalam makna yang lebih formal terhadap surat al-Kahfi. Tidak ada informasi tentang siapa penulisnya. Bahasanya fluent dan idiomatic, dan terlihat seperti terjemahan yang dekat terhadap tafsir al-Khāzin (w. 1340).
Manuskrip ini menginformasikan bahwa Hamzah Fansuri memiliki banyak pengikut, salah satunya Shams al-Dīn al-Sumatrani. Keduanya merupakan pengikut sufi-mistik aliran Ibn ‘Arabiyy. Sebagaimana Hamzah Fansuri, ia menulis karya-karya yang melibatkan ayat-ayat Al-Quran, tapi bukan tafsir dalam bentuk yang lebih formal.
Tulisan pertama yang bisa dikategorikan sebagai tafsir dalam makna yang formal ditulis oleh Abd al-Ra’ūf Singkel. Ia adalah orang Melayu pertama yang dikenal belajar untuk waktu yang cukup panjang di tanah Haram. Ia pulang ke Aceh pada tahun 1661 membawa ijazah ṭarīqah Shatariyyah untuk di kembangkan di tanah Nusantara. Di Aceh, ia menulis Tarjumān al-Mustafīd, yang dipublikasi di Istanbul pada dekade 1880an, dan dicetak-ulang semenjak itu di beberapa daerah seperti Singapura, Indonesia, dan Malaysia.
Snouck Horgronje menyebut Karya Abd al-Ra’ūf Singkel ini sebagai terjemahan dari kitab tafsir al-Bayḍāwi, Anwār al-Tanzīl. Akan tetapi, seorang peneliti naskah Melayu, Peter G. Riddell menyanggah Horgronje. Menurutnya, Tarjumān al-Mustafīd merupakan terjemahan Tafsir al-Jalālayn ke bahasa Melayu dengan sejumlah tambahan dari tafsir al-Bayḍāwi, ringkasan yang cukup panjang dari tafsir al-Khāzin pada surat al-Kahfi sebagaimana pada manuskrip yang dijelaskan di atas, sejumlah riwayat asbāb al-nuzūl, dan beberapa materi qirā’āt yang diambil baik dari Tafsīr Jalālayn atau Tafsir al-Bayḍāwi.
Karya Abd al-Ra’ūf Singkel memperlihatkan bahwa Tafsīr Jalālayn telah digunakan sejak lama di Indonesia, bahkan hingga saat ini. Abdul Kahar Muzakkir, seorang pakar pendidikan Islam di Indonesia menyebut bahwa hingga periode kontemporer, Tafsīr Jalālayn telah digunakan sebagai basis studi Qur’an di madrasah-madrasah yang bernaung di bawah Muhammadiyah. Meskipun tidak disebutkan, pesantren-pesantren NU sepertinya juga dekat dengan karya tafsir ini.
Terkait itu, A.H. Johns menyebut bahwa Tafsīr Jalālayn telah cukup populer di Indonesia sebelum keberadaan Tarjumān al-Mustafīd. Tarjumān al-Mustafīd adalah tafsir yang ditulis dengan orientasi pedagogy. Oleh sebab itu, Abd al-Ra’ūf Singkel menulis ini sebagai pijakan bagi pelajar sebelum masuk ke Jalalayn atau literature berabahasa Arab lainnya.
Semenjak abad ketujuh-belas, ada peningkatan aktifitas penulisan baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu. Aktifitas ini melibatkan orang-orang Melayu yang seringkali disebut al-Jāwi yang menuntut ilmu di dunia Arab. Sebagian mereka pulang ke tanah Nusantara dan sebagian lainnya tidak.
Karya terpenting pada masa ini adalah Sayr al-Sālikin yang ditulis oleh Abd al-Ṣamad Palembang pada abad kedelapan-belas. Karya ini merupakan terjemahan dari Lubāb al-Ihya ‘Ulum al-Din, sebuah ringkasan dari karya Al-Ghazali, barangkali ditulis oleh saudaranya, Ahmad. Abd al-Ṣamad merupakan seorang guru, dan karena kepentingan pedagogis, karyanya bukan eksklusif tafsir. Akan tetapi, kutipan terhadap Al-Quran cukup luas. Seorang teman telah menyelesaikan tesisnya dalam tema ini di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penafsiran yang komplit terhadap Al-Quran semenjak Abd al-Ra’ūf Singkel pada abad ketujuh-belas baru muncul lagi pada karya Syaikh Nawāwi al-Bantani, yang memutuskan untuk menetap di Makkah semenjak tahun 1835. Karya yang berjudul Maraḥ Labid ini diterbitkan di Makkah dan dicetak ulang beberapa kali di Kairo. A.H. Johns menyebut ini karya yang sangat penting pada masa itu bukan hanya karena ia mendapatkan popularitas lantaran diterbitkan di Timur Tengah dan dibaca luas, melainkan juga karena ia menjadi salah satu karya tafsir dalam makna yang lebih formal. Menurutnya, karya ini merupakan satu-satunya tafsir berbahasa Arab yang menjadi kontribusi Jāwi ketika itu.
Johns menukil cerita pertemuan Hurgronje dengan Syaikh Nawāwi di Makkah pada tahun 1884. Hurgronje menceritakan bahwa ketika itu, Syaikh Nawāwi adalah ketua perkumpulan komunitas Jāwi di Makkah. Ia telah belajar dan mengajar di sana selama 30 tahun. Selama 15 tahun terakhir, ia memutuskan untuk lebih fokus menulis. Tulisan-tulisannya diterbitkan di Kairo, diantaranya Fatḥ al-Mujīb, al-Durr al-Farīd, Lubāb al-Bayān, dan Dharī’a al-Yaqīn. Ia menjadi inspirasi bagi banyak orang Melayu ketika itu.
Dalam pengantarnya, al-Nawāwi menyebut beberapa hal penting, termasuk alasan penulisan, rujukan, dan pandangannya tentang posisi rasio dalam agama. Diantara rujukannya adalah Mafātīḥ al-Ghaib Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Sirāj al-Munīr, Tanwīr al-Miqbās, dan Tafsir Abu al-Su’ūd. Johns menyebut Mafātih al-Ghaib merupakan rujukan paling utama dalam Maraḥ Labid, dan terlihat al-Nawāwi sependapat dengan al-Rāzī bahwa rasio juga berperan penting dalam pondasi keimanan. A.H. Johns bahkan menyebut pendekatan dalam Maraḥ Labid konsisten dengan ide reformis yang menempatkannya sejajar dengan remormis Islam yang lebih banyak dikaji; Muhammad Abduh dan Jama al-Dīn al-Afghani (1839-1897). Ini bukanlah kebetulan, karena, komunitas Jāwi di Kairo ketika itu berpartisipasi dalam perkembangan ide reformasi pemikiran Islam.
Leave a Comment