| 0 Comments | 555 Views

Sebelumnya saya menulis latar belakang terbelahnya pendidikan di Indonesia, antara ilmu agama dan ilmu umum/dunia. Secara singkat, ilmu yang pertama sudah lama masuk ke Indonesia seiring masuknya Islam ke Indonesia dan kedatangan Belanda menjadi sumber dan bentuk ilmu baru yang diperkenalkan di bumi Indonesia.

Mereka datang ke Indonesia, memahami perilaku, adat, dan budaya orang Indonesia, termasuk gaya pendidikannya. Mereka menilai pendidikan di Indonesia terbelakang, karena berorientasi pada penghafalan teks, bukan berpikir analitis sebagaimana yang dikembangkan di tanah Eropa. Di sini kita melihat dengan power yang mereka miliki, Belanda mendefinisikan apa itu ilmu dan bagaimana orang berilmu; sebuah relasi antara power dan knowledge.

Salah satu poin yang menjadi perhatian Belanda ketika itu adalah dunia literasi Indonesia, dan hal yang sama berlaku; mereka lah yang mendefinisikan siapa yang melek huruf dan siapa yang tidak. Seharusnya sudah banyak masyarakat Indonesia, terutama santri, yang telah memiliki keterampilan mambaca Arab-based script. Ia adalah tulisan yang menggunakan lambang scriptArab tapi berbahasa lokal. Pegon disebut di Jawa atau Arab Melayu di wilayah Sumatera.

Buktinya bisa kita lihat dari manuskrip-manuskrip yang bahkan sudah ada semenjak abad 17-18 di Indonesia. Tarjumān al-Mustafīd karya Abd Ra’uf Singkel, misalnya, diungkap oleh A.H. Johns merupakan terjemahan dari Tafsir Jalālayn dilengkapi dengan materi dari sejumlah literatur lainnya yang ketika itu diniatkan untuk orientasi pedagogy. Sebelum para santri belajar secara langsung kepada literatur berbahasa Arab, mereka diajarkan terlebih dahulu Tarjumān al-Mustafīd ini.

Pada sisi lain, Belanda tidak paham tulisan begituan. Mereka taunya Roman-based alphabet. Akan tetapi, egosentrisme dan power yang mereka miliki memberi mereka kuasa untuk menentukan bahwa pribumi harus dimodernkan, harus diajarkan tulis-menulis latin. Kemampuan tulis-menulis Arab-based script tidak diakui.

 

Untuk kepentingan kolonialisasi, mereka butuh tenaga-tenaga pribumi dalam urusan administrasi dan sebagainya. Karena mereka menilai pribumi berpendidikan rendah dan buta aksara, maka mereka membangun sekolah. Di sana mereka mengajarkan ilmu Eropa termasuk tulis-menulis aksara Roman.

Pola ini berlaku tidak hanya di Indonesia, tetapi di banyak wilayah jajahan Eropa lainnya. Sebuah artikel di Journal of Qur’anic Studies yang membahas dinamika yang terjadi terkait Arab-based script dan Roman-based script dalam konteks penerjemahan Al-Quran di wilayah Barat Afrika, dimana masyarakat asli berbicara Bahasa Yoruba. Penulis menyebut bahwa penggunaan Roman-based alphabet merupakan salah satu cara untuk memberikan pengaruh global pada masa kolonialisasi.

Kembali ke konteks Indonesia, secara perlahan-lahan, aksara latin menjadi populer. Publikasi-publikasi majalah, selebaran, poster, dan sebagainya pada awal abad 20 telah banyak yang menggunakan aksara latin. Ternyata bangsa Indonesia ketika itu adalah bangsa yang cepat belajar. Bukan sekedar untuk urusan administrasi kolonial, mereka juga menggunakan aksara latin dalam aktifitas jurnalistik dan publikasi yang lebih umum.

Saat ini tulisan latin telah menguasai dunia literasi Indonesia. Definisi Belanda diteruskan, bahwa literasi masyarakat diukur melalui aksara latin. Administrasi pemerintahan, poster dan iklan di pinggir jalan, pendidikan formal dan non-formal, semuanya saat ini menggunakan aksara latin. Tidak ada lagi agaknya sudut negeri yang kita jumpai di Indonesia yang tidak menggunakan aksara latin.

Kenyataan ini tidak perlu diratapi karena memang aksara latin telah menjadi aksara yang digunakan umat manusia dalam skala global. Beberapa negara menggunakannya dengan sedikit variasi seperti Turki dan Jerman. Bahkan, negara-negara yang memiliki aksara tersendiri seperti Arab atau China, misalnya, juga melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap aksara latin dalam level yang berbeda dan penggunaan yang berbeda pula.

Yang perlu disayangkan adalah pergerakan popularitas aksara latin bermuara pada kemusnahan perlahan-lahan Arab-based script. Sejumlah majalah pada awal abad 20 masih menggunakan aksara latin, membuktikan bahwa ia masih lestari. Tapi saat ini, aksara pegon sudah menjadi pemandangan langka. Saya berprasangka hanya sedikit penduduk Indonesia saat ini yang memiliki keterampilan baca-tulis pegon. Selain masyarakat pesantren, mungkin tidak ada lagi.

Memang benar, pegon sepertinya tidak akan digunakan untuk urusan administrasi, komunikasi, pendidikan, dan sebagainya di Indonesia; saat ini dan seterusnya. Akan tetapi bukan di sana letak urgensitas pegon. Ia masih sangat dibutuhkan untuk kepentingan sejarah dan menggali tradisi-tradisi keilmuan para pendahulu kita di Nusantara.

Ada begitu banyak literatur-literatur atau dokumentasi sejarah Indonesia yang menggunakan Arab-based script. Tanpa kemampuan baca tulis pegon, dokumen-dokumen tersebut hanya akan jadi tumpukan kertas nir makna.

Pesantren saat ini sepertinya menjadi satu-satunya intitusi yang mempertahankan Arab-based script. Di Sumatera Barat pada dekade 90an, materi Arab-Melayu dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal di pendidikan negeri. Entah kenapa dan sejak kapan, saat ini tidak.

Gon, kasian nasibmu, Le!


Leave a Comment