| 0 Comments | 403 Views

Onda Sebe, begitulah ia disebut. Beberapa daerah memang menyebut ‘sepeda motor’ dengan istilah Honda atau onda. Sama seperti semua deterjen disebut rinso atau odol disebut pepsoden. Sebe, mungkin memang seri motornya, motor CB. Apapun itu, Onda Sebe itu sangat dekat denganku.

Mengapa demikian? Onda Sebe adalah sepeda motor yang dipakai orang tua ku. Entah kenapa, ia begitu menyenangi motor ini. Motor itu telah ada sebelum saya dilahirkan. Sampai sekarang masih ada. Kondisinya? Saya tidak tahu bagaimana menggambarkannya. Mungkin begini saja. Motor itu tidak ada yang bisa mengendari selain orang tua saya. Jadi tak perlu dikunci, karena dijamin tidak ada yang bisa ngambil. Bahkan, slot kuncinya juga sudah tidak aktif. Bisa Anda bayangkan? Tapi jika tuannya datang, jreng-jreng, dengan ajaib ia hidup dan membawa orang tua kemana dia suka.

Karena ia telah ada bahkan sebelum saya berdarah, berdaging, bertubuh, dan bernyawa, tentu saja ia telah menyimpan banyak memori, melebih dari apa yang bisa diceritakan. Tentu saja bukan hanya memori tentang keluargaku secara utuh, bukan aku pribadi. Sepertinya tidak berlebihan jika si Onda Sebe telah menjadi ‘monumen’ bagi keluarga kami.

Aku ingat di waktu kecil kami berlima pulang-pergi dari Bukittinggi, Sungai Landia, atau Sungai Pua ke Lawang. Adikku duduk di depan, di atas tangki bensin. Aku di belakang Apa, uda di belakangku, dan Ama paling belakang. Kadang hujan, satu mantel ‘ninja’ cukup untuk menutupi kami. Waktu itu aku serasa ingin cepat tumbuh tinggi, karena duduk di belakang Apa berarti aku tidak bisa melihat pemandangan di depan; ketutupan punggung Apa. Pemandanganku hanya di kanan dan kiri. Kalau adikku tidak ikut, aku yang duduk di depan; pemandanganku lepas.

Waktu TK, aku diantar ke sekolah menggunakan onda sebe itu. Ketika itu, Ama masih mengajar di SD di Sungai Landia dan Apa di Guguak Tinggi; jarak tempuh kira-kira setengah sampai satu jam dari rumah. Oleh karena itu, kami berangkat lebih pagi. Saya sampai di sekolah, guru dan teman-teman belum ada satu pun. Bahkan sekolahnya belum buka. Itu sudah pemandangan yang biasa buatku.

Suatu ketika, hari hujan. Seperti biasa, kami tetap berangkat sekolah. Aku duduk di depan, di atas tangki bensin motor. Aku ditinggal di sekolah, Apa-Ama melanjutkan perjalanan ke sekolahnya masing-masing. Biasanya hujan reda, guru dan teman-teman berdatangan. Tapi tidak kali itu. Hujan tak kunjung reda. Aku duduk berdiam diri di pintu kelas. Guru dan teman-teman tidak datang.

Sekolahku ketika itu agak jauh dari perumahan warga. Di belakangnya ada semak belukar. Praktis, saya di sana benar-benar sendirian. Tidak aneh bagiku ketika itu. Karena memang aku tinggal di desa. Semak belukar ada di mana-mana. Sesekali justru pulang sekolah aku dan teman-teman cari jalan pintas memasuki semak dan parak warga.

Akan tetapi, perlahan saya mendengar lolongan anjing. Di sini saya merasa takut. Bukan seekor, tapi ada beberapa ekor anjing melolong saut-sautan. Tidak pasti ada berapa. Tidak lama kemudian, diantara mereka ada yang berkelahi. Semacam tawuran antar warga anjing. Saya takut dan tidak tahu harus berbuat apa. Lebih sial lagi, mereka tawuran di jalan yang harus saya lewati jika mau pulang. Mencekam bagiku ketika itu. Tidak ada orang, hujan belum reda, dan anjing menutup jalanku.

Saya tetap di sana. Hujan mulai reda. Gerimis tipis. Buat anak kecil sepertiku gerimis tentu saja bukan masalah. Niat hati hendak pulang. Tapi tidak bisa, terhalang dengan tawuran anjing. Entah berapa lama, aku tidak tahu. Yang pasti, ketika itu tidak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu. Seketika situasi kondusif, aku segera berlari pulang.

Entah mengapa, setelah berbilang tahun semenjak kejadian perkara, saya kembali teringat peristiwa ini. Bukan sekedar ingat, saya menemukan sebuah kesadaran melalui peristiwa tersebut; kesadaran yang sangat penting dalam hidup. Namanya adalah komitmen untuk sekolah.

Saya rasa, tidak sedikit siswa yang menggampangkan libur sekolah; pun tidak sedikit orang tua yang toleransi terhadap alasan-alasan anaknya. Bisa jadi memang ada alasan yang tepat, seperti hujan, sakit, dan sebagainya. Tapi, menerima sebuah alasan terkadang akan tumbuh menjadi karakter ‘mencari-cari alasan’. Ketika persitiwa itu terjadi, saya mungkin tidak menyadari apa-apa. Tapi saat ini, saya begitu bersyukur orang tua saya ketika itu tidak menjadikan hujan sebagai alasan untuk libur sekolah.

Ketika remaja, jaman nakalnya anak sekolahan, saya bukanlah siswa patuh yang duduk melipat tangan di kursi paling depan sambal serius mendengarkan guru mengajar plus tidak pernah ketinggalan catatan. Kenakalan-kenalakan anak sekolahan juga saya jalani. Mulai dari tidur di kelas, mencontek ketika ujian, tidak bikin PR, bikin PR matematika di jam Bahasa Indonesia, ribut dan bikin heboh di kelas, dan sebagainya. Tapi, bukan kebetulan, bolos sekolah tidak termasuk dalam list kenakalan saya waktu di sekolah. Begitulah sebuah komitmen orang tua menurun kepada anaknya.

“Itu berlebihan, kamunya aja yang kebetulan beruntung tertakdir jadi siswa pintar.” Ada yang berani bilang begitu? Saya tiga orang bersaudara. Alhamdulillah, kami bertiga termasuk kepada siswa-siswa yang berprestasi di sekolah. Jadi, aneh jika dibilang kebetulan, karena kami bertiga menerima hasil dari komitmen itu.

Ada pula orang yang mengkambing-hitamkan darah kami. “Apaknyo guru, amaknyo guru, tu santiang anaknyo” (Bapaknya guru, ibunya guru, makanya anaknya pintar). Ini juga keliru. Tidak penting siapa dan apa pekerjaan atau jabatan orang tua. Jika mereka tidak mengajarkan sebuah komitmen, jangan berharap memetik hasil yang baik. Tidak jarang kita mendengar anak guru, dosen, ustaz, pejabat, atau siapapun yang bermasalah dalam pendidikannya.

Terkadang komitmen tidak diajarkan dengan lidah. Orang tua saya tidak bilang, “kamu harus punya komitmen kuat untuk sekolah.” Mereka hanya bilang, “kalau untuak sakola, a sajo diusahokan” (kalau urusan sekolah, segalanya akan diupayakan). Mungkin itulah mengapa orang tua ku begitu terlambat untuk mengganti sepeda motor keluarga; karena komitmen mereka memprioritaskan sekolah anak-anaknya. Sekarang, ketika ada yang baru pun, tetap saja Apa lebih senang memakai onda sebe itu.

Terkadang komitmen tidak diajarkan dengan lidah. Ia ditularkan. Orang tuaku menularkannya dengan mengantarkanku ke sekolah menggunakan Onda Sebe, paling pagi sebelum teman, guru datang, bahkan sebelum sekolahnya dibuka, di waktu tarang atau hujan, dan jauh beberapa tahun setelah itu, baru disadari, itulah bentuk komitmen yang sebenarnya.


Leave a Comment