| 0 Comments | 667 Views

disampaikan dalam Diskusi Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Imam Bonjol Padang, 20 Maret 2017

Sekilas tentang Studi Qur'an di Barat

Ada banyak tulisan yang menjabarkan pengantar terhadap studi Qur’an oleh sarjana Barat seperti Abdullah Saeed dalam The Qur’an: Introduction (Saeed, 2008), Harmut Bobzin dalam Encyclopaedia of The Qur’an (Bobzin, 2002), Fazlurrahman dalam pendahuluan Major Themes (Rahman, 1996), Whitney Bodman (Bodman, 2009), dan sebagainya. Terminologi Western Scholarship on the Qur`an pra abad 20 bermakna cukup sederhana, yaitu studi terhadap Alquran oleh sarjana non-Muslim di Barat. Jika pada awal abad 20 istilah ini tidak perlu diperdebatkan, maka tidak demikian dengan abad 21 ini. Sejumlah overlapping dalam konteks status agama para penulis yang terlibat, seperti yang diperlihatkan oleh kontributor Encyclopaedia of the Qur’an, serta keberagaman pendekatan yang digunakan menjadikan definisi studi Qur’an oleh Barat harus diperhatikan ulang. Umumnya, istilah ini diartikan sebagai studi objektif terhadap Alquran yang mengadopsi pendekatan dari Barat dengan mengabaikan kepentingan kerohaniawanan.

Studi yang diakui akademis terhadap Al-Quran di Barat dimulai pada abad ke sembilan belas oleh Gustav Wield dan Theodore Nöldeke. Diakui di sini berarti studi-studi yang sebelumnya tidak dihargai sebagai sebuah karya akademis, melainkan karya polemis. Ini yang disebut-sebut dalam sejumlah review tentang sejarah studi Quran di Barat seperti oleh Marco Schöller dalam Post-Enlightenment Academic Studies of the Qur`an . Hal ini sepertinya berkaitan dengan pertumbuhan semangat riset menggunakan metodologi ilmiah pada masa renaissance. Untuk konteks Theodore Nöldeke, studi yang ia lakukan menggunakan metode philology, dan ia melakukannya ketika pendekatan ini sedang menjamur dalam studi-studi teks di Eropa. Banyak sarjana mengaplikasikannya ke bidang-bidang lain, termasuk teks-teks agama, salah satunya Al-Quran. Hal penting lainnya yang melandasi penilaian di atas adalah bahwasanya studi yang dilakukan oleh generasi pasca renaissance ini tidak lagi didominasi oleh motif polemis antar agama. Persentuhan Barat non-Muslim terhadap Al-Quran klasik dimulai dari bentuk terjemahan. Sejumlah terjemahan yang mengemuka di antaranya adalah Robert F. Ketton, John of Segovia (d. 1458), dll.

"If ever politics drove scholarship, it was in the western translation of the Qur'an", demikian Ziad Elmarsafy memulai artikelnya "Translation of the Qur'an into Western Languages” (Elmarsafy, 2009). Kalimat tersebut merupakan pendahuluan sekaligus thesis statement dari keseluruhan isi artikelnya, bahwa penerjemahan Al-Quran ke bahasa-bahasa Barat memiliki muatan politik. Ia menyebut bahwa praktik penerjemahan tersebut dirangsang oleh polemik teologis antara Muslim dan Kristen. Robert F. Ketton, yang menjadi tone setter terjemahan-terjemahan lain selama beberapa abad setelahnya menyebut Al-Quran sebagai ‘Law of the Saracens’ daripada sebagai kitab suci Muslim. Peter the Venerable, Ketton, dan John of Segovia menolak pertentangan militer yang agresif terhadap Muslim; mereka menilai pendekatan yang paling tepat adalah melalui aktivitas kesarjanaan terhadap Muslim dan sumber ajarannya.

Theodore Nöldeke dan para penerusnya berkonsentrasi pada kronologi ayat/surat dan sistematika. Karya Theodore Nöldeke ini dalam penilaian banyak sarjana mulai meninggalkan sentimen polemis di atas. Inilah yang membuat Rippin menilai bahwa Islamic Studies merupakan “the critical dispassionate (i.e. non polemical) search for knowledge, unconstrained by ecclesiastical Institutional priorities” (Marco, 2004). Meskipun telah meninggalkan sentimen polemisnya, mengharapkan studi-studi Islam yang muncul di Barat berangkat dari asumsi dasar yang sama dengan yang dilakukan oleh Muslim ketika itu hanya akan bermuara pada harapan kosong. Nöldeke dan penerusnya, umpamanya, berangkat dari asumsi dasar bahwa Al-Quran adalah karangan Nabi Muhammad. Richard Bell menyangka bahwa kertas-kertas yang digunakan untuk menyalin Al-Quran tersusun berserakan, karenanya tersusun secara tidak sistematis. Disebutkan, bahwa meskipun kerja Nöldeke dilanjutkan banyak orang, seperti Bell, Muir, Rodwell, dsb, karya Nöldeke tetap yang memiliki pengaruh paling kuat.

Pembicaraan historisitas teks Al-Quran melalui kronologi ayat perlahan berganti pada unsur-unsur Biblical yang dimuat oleh Al-Quran. Karya-karya pada periode ini banyak yang kemudian digolongkan kepada golongan revisionist. Mereka menilai literatur-literatur klasik Islam tidak layak disebut historis karena tidak ditulis semasa dengan peristiwa-peristiwa yang dibahas. Sīrah Nabawiyah Ibn Hisyām, misalnya, tidak begitu dipercayai validitas dan historisitasnya karena ditulis lebih dari satu abad setelah hidupnya Nabi Muhammad. Adapun transmisi oral, bagi mereka, tidak memiliki kualitas yang sama secara historis dengan data-data yang terdokumentasi. John Wansbrough adalah yang disebut-sebut sebagai tokoh utama dalam aliran ini.  Gaya-gaya Wansbrough di Indonesia biasanya digunakan oleh Mun`im Sirry jika kita membicarakan sarjana Indonesia.

Abdul Rauf menggaungkan protes terhadap studi Qur’an oleh Barat (Richard C. Martin, 1985), karena seolah studi ini dimonopoli oleh Barat. Ia menyatakan apakah studi Islam oleh Muslim bukan ‘Islamic Studies’? Mengapa sarjana Barat begitu saja mengabaikan karya intelektual Muslim? Sebuah protes yang senada dengan elaborasi Edward Said (1978) yang menyebutkan bahwa orientalisme memperlakukan Timur sebagai objek dan Barat sebagai subjek, yang oleh karenanya Timur diperlakukan berdasarkan sudut pandang Barat. Rahman sejatinya juga menyampaikan keberatan serupa dalam pendahuluan terhadap Major Themes. Ia memberikan tiga pemetaan tematik mengenai kecenderungan studi Alquran oleh Barat. Rahman menyebut bahwa hampir tidak ada pengetahuan sarjana Barat terhadap kandungan dari Alquran. Hampir semua karya-karya tersebut membahas aspek-aspek tertentu dalam Alquran dan tidak ada satu pun yang bersumber dari Alquran itu sendiri.

Protes demi protes ini mungkin saja berpengaruh terhadap pergeseran paradigma studi Qur’an oleh Barat beberapa dekade terakhir. Boullata menyebut bahwa kecenderungan historis yang menelisik ‘sumber data’ Alquran dari tradisi Yahudi dan upaya menyusun kronologi Alquran mulai ditinggalkan, beralih kepada kecenderungan literary structure yang memperlakukan Alquran sebagaimana Muslim menerimanya (Boullata, 2000). Pergeseran ini kemudian juga memberikan dinamika baru terhadap dikhotomi insider-outsider. Jika sebelumnya dekat dengan istilah prejudice dan kecurigaan antar dua kubuRippin membawa dikotomi ini kepada posisi studi ini antara studi agama dengan nuansa phenomenologykepada studi sekuler yang sejatinya bebas nilai. Di atas semua itu, Rippin menyebut bahwa dengan pendekatan historis lah karakter dari studi Qur’an abad 21 ini bisa dipahami. Bagi saya, itu terdengar seperti paradigm shift seperti yang disampaikan Boullata.

Saat ini, pendekatan historis masih menjadi primadona dalam studi Al-Quran di Barat. Angelika Neuwirth menjadi nama utama saat ini. Studi Al-Quran di Barat generasi baru ini cenderung, meskipun tidak semua tentu saja, memberikan perhatian lebih serius terhadap literatur-literatur awal Islam, seperti literatur-literatur tentang qira`at atau mushaf-mushaf tertua Al-Quran yang ditemukan.  Generasi ini menempatkan Al-Quran sebagai sebuah karya besar yang muncul dalam situasi tertentu di tanah Arab pada abad 6-7 Hijriah yang dikenal dengan istilah late antiquity. Dalam pola late antiquity ini, meneliti Al-Quran diketengahkan bersama dengan teks-teks lainnya di sekitar tanah Arab, baik yang tertulis dalam paphyiry atau medium tulis lainnya seperti batu dan prasasti. Untuk contoh yang dekat, model ini umpamanya bisa kita lihat dalam riset disertasi Al-Makin yang membahas klaim-klaim kenabian di tanah Arab selain Nabi Muhammad.


Antara Penafsiran dan Penelitian

Banyak orang bertanya, untuk apa non-Muslim repot-repot mempelajari Islam atau Al-Quran? Beragam jawaban muncul, mulai dari jawaban-jawaban yang mencerminkan trauma sejarah seputar percekcokan antar Islam dan Kristen, jawaban ala teori konspirasi, dan sebagainya. Bagaimanapun jawaban yang dikemukakan, non-penganut mempelajari ajaran, kitab suci, atau masyarakat penganut agama tertentu adalah sebuah keniscayaan sejarah. Pada paper sederhana ini, cara menjawab yang ingin saya ajukan adalah dengan membedakan antara menafsirkan dan meneliti.

Tafsir adalah kasyf al-maʿnā. Imam Badr al-Dīn al-Zarkasyī mendefinisikan tafsir sebagai ʿilm yuʿrafu bihi fahm kitābillah al-munazzal ʿalā Nabiyyihi Muḥammad wa bayān maʿānihi wa istikhrāj aḥkāmih wa hikamih. Definisi ini memperlihatkan bahwa penafsiran adalah upaya untuk mengungkap makna, hukum, dan hikmah Al-Quran dengan orientasi amaliyah. Tentu saja ini dilakukan oleh penganut, dalam hal ini Muslim. Itulah yang dilakukan oleh para sarjana Islam sepanjang sejarah melintasi generasi dan batas geografi, mulai dari Ibn 'Abbas hingga Quraish Shihab, Hamka, dan sebagainya. Salah satu bentuk penafsiran lainnya adalah tafsīr ala penganut dalam gaya polemis yang dimunculkan oleh kalangan non-Muslim terhadap Al-Quran atau sebaliknya. Untuk konteks yang pertama bisa kita lihat dari praktik penerjemahan seperti yang disinggung di atas, adapun untuk yang kedua bisa kita lihat dalam model ceramah-ceramah Zakir Naik.

Namun begitu, terminologi Islamic Studies dalam paradigma studi Barat bukanlah penafsiran sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Al-Zarkasyi di atas. Sebagaimana disebutkan di atas, Islamic Studies bersifat dispassionate ataunon-pelemical. Definisi ini menempatkan Islamic Studies bukan hanya sebagai penafsiran atas ajaran melainkan penelitian terhadapnya. Orientasinya bukan `amaliyah, tetapi knowledge (ilmu), yang dalam filsafat Barat, knowledge memiliki kedekatan dengan wisdom, bukan religious piety. Artinya, apakah seseorang memilih untuk mengamalkan apa yang ia teliti sepenuhnya diserahkan kepada yang bersangkutan. Itulah mengapa beberapa orang memilih untuk berkonversi agama setelah mempelajari Islam atau Al-Quran seperti Martin Lings (Sirajuddin Abbas), namun sebagian lainnya tidak meskipun ia telah memiliki kepakaran yang cukup mumpuni seperti Annemarie Schimmel atau Huston Smith. Hal ini tentu berbeda dengan orientasi seorang Muslim dalam mempelajari Al-Quran.

Mengapa bisa demikian? Bukankah seharusnya ketika seseorang mempelajari Al-Quran ia mendapatkan wisdom/hikmah dari Al-Quran sehingga ia tertarik untuk konversi? Secara teologis, jawaban atas pertanyaan di atas berkaitan dengan konsep hidāyah. Jangankan para sarjana tersebut, Abū Ṭālib paman Nabi Muhammad bukan orang yang mendapatkan kemewahan hidayah tersebut. Akan tetapi, dalam konteks akademis, jawaban atas pertanyaan tersebut berkenaan dengan tradisi orientalisme yang telah berkembang cukup lama, paling tidak 3 hingga 4 abad terakhir.

Jika di atas kita sudah membedakan antara penafsiran dan penelitian, maka pembicaraan bisa dilanjutkan pada perbedaan metodologi tafsir dan metodologi penelitian. Dalam hal ini, metode-metode yang selama ini dikenal taḥlīlī, ijmālī, mawḍū'ī, muqāran adalah metode tafsīr. Adapun metodologi penelitian, ada banyak alternatif yang bisa kita lihat. Metodologi tafsīr, pada akhirnya, masuk kepada salah satu alternatif penelitian yang bisa kita lakukan. Jadi, tugas akhir skripsi mahasiswa tafsīr-hadis atau IAT-ILHA yang didominasi oleh metode mawḍū'ī seperti seperti ‘konsep sabar, tawakkal, hidup, perbintangan, dan sebagainya dalam Al-Quran’ mewakili hanya sebagian kecil dari ruang penelitian yang bisa dilakukan. Dengan mengembangkan wawasan tentang metodologi penelitian, akan banyak cara lain yang bisa dijamah oleh mahasiswa tafsir hadis, di luar tafsir mawḍū'i. 

Dalam konteks ini, kita harus menerima kenyataan bahwa metodologi penelitian Al-Quran yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam sepanjang sejarah baru menyentuh dunia ‘penafsiran’. Tema-tema dalam 'ulūm al-Qur'ān, qawā`id al-tafsīr, uṣūl al-fiqh, dan sebagainya hanya bersentuhan dengan cara seorang Muslim menggali makna teologis dari Al-Quran. Padahal, di luar itu telah berkembang sejumlah model penelitian di luar pendekatan teologis ala tafsir ini. Dengan demikian, tidak ada salahnya melebarkan sayap gaya penelitian dan mulai merambah lahan baru, dan salah satu caranya adalah dengan membuka diri terhadap sejumlah metode penelitian yang berkembang dari Barat tanpa mengabaikan metodologi yang telah berkembang dalam tradisi intelektual Islam.

Sebagai ilustrasi sederhana, kasus al-Mā'idah: 51 yang masih panas hingga saat ini bisa diteliti dalam banyak ruang penelitian. Ia bisa dikaji menggunakan metode penafsiran mawḍū'ī atau muqāran. Dua metode ini berakhir pada kesimpulan tentang pemaknaan yang paling benar untuk terminologi awliyā' dan status kebolehan/ketidakbolehan mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin. Orientasinya bersifat teologis. Akan tetapi, itu bukan satu-satunya pintu yang bisa dimasuki. Masih ada sejumlah alternatif lainnya yang bisa dikaji dan diteliti seputar fenomena ini.

Ia bisa diteliti secara sosiologis dan antropologis untuk melihat bagaimana sistem ide dan nilai yang bekerja di masyarakat Indonesia sehingga bisa memobilisasi gerakan massa yang sangat besar. Secara historis ia bisa jadi pintu masuk untuk melihat sejarah penistaan agama di Indonesia dari masa ke masa. Ia bisa jadi pintu masuk untuk membincang pertautan praktis Al-Quran dan percaturan perpolitikan di Indonesia. Sungguh, ada banyak pintu yang bisa dibahas seputar kasus spesifik tersebut.


Bahan Bacaan

al-Zarkasyi, B. M. ibn `Abillah. (2006). al-Burhān fī “Ulūm al-Qur”ān Kairo: Dar al-H}adi>s, 2006. Kairo: Dār al-Ḥadīṡ.

Bobzin, H. (2002). Pre-1800 Preoccupations of Qur`anic Studies. In Encyclopaedia of the Qur’ān (Vol. IV). Leiden: Brill.

Bodman, W. (2009). Reading the Qur`ān as a Resident Alien. The Muslim World99, 689–706.

Boullata, I. J. (Ed.). (2000). Literary Structures of Religious Meaning in the Qur`an. Surrey: Curzon.

Elmarsafy, Z. M. (2009). Translations of the Qur`an into Western Languages. Religion Compass3(3), 430–439.

Marco, S. (2004). Post-Enlightenment Academic Study of the Qur`an. In Encyclopaedia of the Qur’ān (Vol. 4, pp. 187–208). Leiden - Boston: Brill.

Rahman, F. (1996). Tema-tema Pokok Al-Qur`an. (A. Mahyuddin, Trans.). Bandung: Penerbit Pustaka.

Saeed, A. (2008). The Qur`an: an Introduction. London: Routledge.


Leave a Comment