| 0 Comments | 1348 Views

Kontroversi seputar langgam bacaan Al-Quran tidak perlu dibesar-besarkan. Hadis memiliki tingkat kualitas dan kebetulan hadis yg dikutip untuk melarangnya tingkat kualitasnya rendah dan tdk bisa jadi hujjah. Al-Quran diwahyukan secara lafzi. Jadi, Al-Quran harus dibaca sesuai dg lafz nya. Artinya, Al-Quran harus dibaca dg tajwid yg pas. Langgam/irama bacaan Al-Qur'an hanyalah urusan teknis yg bahkan posisinya di bawah tajwid. Membaca Al-Quran wajib dg tajwid, tapi boleh tanpa irama. Membaca datar tanpa notasi namun dengan tajwid itu boleh.

Begitu juga, membaca dengan irama tertentu juga diperbolehkan asal menjaga tajwid.

Jika irama tertentu mengolok-olok bacaan tentu saja tidak boleh, karena Al-Quran harus dihormati. Tapi membaca Al-Quran dalam situasi formal, tenang, dan ta'zim, apapun iramanya tdk bisa terburu-buru disebut mengolok-olok.
Sebenarnya, masing-masing kita telah membaca Al-Quran dg irama dan langgam masing-masing. Irama Inyiak-Inyiak kito dahulu berbeda dengan nagham tilawah yg populer di MTQ maupun tartil yg umum didengar. Tapi itu bukan masalah selama tajwid dijaga. Mungkin kita hanya kaget karena aneh terdengar. Tapi aneh bukan berarti haram, terlaknat, dsb.

Kontroversi seputar langgam bacaan Al-Quran agaknya sama dengan beberapa kontroversi lainnya yg pernah terjadi di Indonesia. Pada awal abad XX terjadi kontroversi tentang pembelajaran agama Islam menggunakan meja dan kursi dengan sistem kelas atau memakai pakaian seperti penjajah (Belanda). Ketika itu juga kontroversi seputar kebolehan Al-Quran diterjemahkan ke bahasa Indonesia kembali mengemuka, setelah sebelumnya pernah terjadi antara Hamzah Fansuri dan Nur al-Din al-Raniri. Tahun 1960-an juga terjadi kontroversi seputar penulisan lay out Al-Quran dalam bentuk puitis oleh H.B. Yassin. Semua kontroversi itu memiliki watak yg sama, terutama antara penulisan lay out dan yg terjadi saat ini, yaitu berkaitan dg hal yg bukan substansi. Oleh sebab itu, hal ini tidak perlu dibesarkan.

Dalam hal ini, publik perlu diedukasi tentang perbedaan-perbedaan semacam itu, bukan justru menutup-nutupinya, apalagi memperuncing keadaan. Kontroversi ini memperlihatkan ketidaksiapan Muslim Indonesia dengan perbedaan. Terjadi pada hal lainnya, seperti qunut atau jumlah rakaat tarwih. Menutup akses publik ttg perbedaan-perbedaan semacam ini hanya akan melanggengkan ketidaksiapan publik utk menghargai perbedaan. Saya rasa, publik harus familiar dengan perbedaan-perbedaan ini. Mungkin bukan saat ini, tapi suatu saat mereka bahkan harus familiar dengan keragaman Qira'at Al-Quran, dan mereka harus diberi kesadaran bahwa yg selama ini mereka konsumsi hanyalah salah satu dari tujuh mazhab qira'at yg shahih dan tiga lainnya yg masih diterima.


Leave a Comment