| 0 Comments | 138 Views

Card Image

Sumber: GYAN Vitaranam

Anaximander dari Miletus

Filsuf kedua yang namanya sering muncul di buku-buku filsafat adalah Anaximander. Beberapa penulis menyebutnya: Anaximandros. Ia berasal dari Miletus dan hidup sekitar tahun 610–547 SM. Ia merupakan murid dari Thales, sang filsuf pertama. Namun, berbeda dengan gurunya, ia menulis karya, meskipun yang tersisa saat ini hanya satu fragmen (Barnes, 1987). Ia juga dikenal sebagai ilmuwan dan penjelajah. Minat utamanya adalah metafisika, astronomi, dan geografi. Ia dikabarkan membuat peta dunia pertama yang dikenal di Yunani, menyusun peta langit, dan merancang jam matahari (Burnet’s, 1920).

Informasi tentang Anaximander diperoleh dari beberapa sumber sekunder. Ia disebut menulis sebuah risalah tentang alam raya dalam bentuk prosa. Risalah itu dinilai sebagai karya filsafat yang ditulis pertama kalinya dalam tradisi Yunani. Namun sayangnya, naskah asli risalah tersebut tidak lagi tersedia saat ini, kecuali satu fragmen saja. Informasi lainnya diperoleh terutama dari tulisan Aristoteles (Physics, Metaphysics, dan On the Heavens), catatan Theophrastos (371–287 SM), catatan Simplicius (480–540 M), dan dari beberapa sumber lain.


Persoalan Filosofis Anaximander

Anaximander termasuk para filsuf alam dan menghadapi persoalan filosofis yang sama dengan gurunya, Thales. Ia berusaha menjelaskan asal-muasal alam semesta dengan mengandalkan penalaran rasional, dan bukan melalui penjelasan mitologis. Pertanyaan-pertanyaan filosofis yang ia hadapi misalnya: Dari mana asal alam raya? Apa zat yang menjadi bahan dasarnya? Bagaimana alam raya mempertahankan keteraturan? Apakah ada hukum yang mengatur kelahiran, kemusnahan, dan perubahan?

Bagi kita yang hidup di zaman modern yang serba canggih saat ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin terdengar klise dan klasik. Tapi kalau kita cermati secara mendalam, pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya bersifat fondasional dan memberi landasan bagi sains dan filsafat modern. Para saintis dan filsuf kontemporer masih berusaha mencari tahu prinsip paling mendasar yang bisa menjelaskan semua fenomena. Bedanya, saat ini mereka menyebutnya secara lebih akademik dan ilmiah. Mereka memunculkan berbagai teori, misalnya teori segalanya (theory of everything / TOE) (Søvik, 2022), teori simetri (Schwichtenberg, 2018), atau hukum dasar alam (Mumford, 2004). Di kalangan para ilmuwan fisika dan metafisika kontemporer, penjelasan tentang prinsip paling mendasar ini menjadi tantangan terbesar dan tujuan tertinggi. Mereka percaya bahwa pemahaman yang lebih mendalam tentang persoalan ini akan membuka banyak ruang bagi penemuan-penemuan baru dalam fisika dan memicu perkembangan teknologi lebih lanjut.


Apeiron: Yang Tak Terbatas

Anaximander berbeda pandangan dengan gurunya, Thales tentang prinsip dasar (arkhē) segala sesuatu. Menurutnya, arkhē itu bukanlah air atau pun unsur lainnya yang bisa ditangkap oleh panca indera. Barangkali ia berpikir: “Kalau arkhē itu adalah air, lantas bagaimana menjelaskan keberadaan unsur lain yang memiliki karakter bertentangan dengannya”? Air dan api merupakan unsur yang bertentangan. Air tentu akan mengekslusi api, sebagaimana basah mengeksklusi kering. Kita di Indonesia mengenal peribahasa: “panas setahun dihapuskan hujan sehari”. Tentu tidak masuk akal berpendapat bahwa api berasal dari air (Physics. III.4.) (Barnes, 2014). Oleh karena itu, ia tidak puas dengan pendapat Thales dan berusaha menemukan jawaban lain yang melampaui bentuk-bentuk material yang kasat mata. Ia beranjak menuju pemikiran yang lebih subtil dalam mencari asas yang lebih mendasar.

Bagi Anaximander, arkhē itu haruslah sesuatu yang melampaui materi dan unsur-unsur yang saling bertentangan. Ia menyebutnya apeiron, yakni yang tak terbatas dan tak berhingga (infinity). Sebenarnya tidak tersedia uraian langsung dari Anaximander tentang apeiron ini, kecuali laporan dari Theophrastos dan para komentator yang lain. Dari sumber yang tersedia, apeiron dipahami sebagai suatu prinsip yang tak terbatas, tak berhingga, tak berawal, tak berakhir, tak memiliki bentuk tertentu, tak habis, tak bisa habis, tak terkurangi, bukan salah salah satu unsur biasa (air, api, udara, tanah), melampaui sifat-sifat yang saling bertentangan (basah, kering, panas, dingin), bersifat kekal, abadi, melingkupi segala sesuatu, dan menjadi sumber sekaligus tujuan dari segala yang ada (Barnes, 1987; Bertens, 1975; Hatta, 1986).

Pandangan Anaximander ini menandai langkah penting yang membuka ruang baru bagi pemikiran abstrak dalam filsafat Yunani. Pada gurunya, Thales, kita mendapatkan jawaban tentang arkhē yang material dan kasat mata, yaitu air. Sementara pada Anaximander kita menemukan jawaban yang berupaya melampaui yang material dan kasat mata. Ia berusaha menunjukkan bahwa ada dimensi realitas yang berada di luar batasan ruang-waktu kita, namun justru lebih sublim dan fundamental. Untuk memahami realitas yang tampak, kita seringkali harus mampu melepaskan diri dari kategori-kategori yang terlalu konkret dan empirik, dan beranjak pada prinsip-prinsip yang lebih abstrak namun fundamental tersebut. Dibutuhkan imajinasi konseptual untuk menangkap prinsip-prinsip tersebut, karena tidak semua kebenaran dapat ditangkap secara langsung oleh panca indera kita.

Aristoteles menjelaskan ada lima pertimbangan di balik pandangan tentang sesuatu yang tak terbatas (apeiron) itu. Pertama, waktu, yang dianggap sebagai sesuatu yang tak terbatas, tanpa awal, dan tanpa akhir. Kedua, pembagian besaran dalam matematika. Para ahli matematika menggunakan konsep tak berhingga untuk menjelaskan bagaimana garis atau bidang dapat dibagi tanpa batas (infinite divisibility). Ketiga, jika segala sesuatu berasal dari sesuatu yang terbatas, maka suatu saat sesuatu (asal) itu akan habis. Akibatnya, proses kelahiran dan kemusnahan akan berhenti. Oleh karena itu, sumber segala sesuatu haruslah sesuatu yang tak terbatas. Keempat, sesuatu yang terbatas pasti dibatasi oleh sesuatu yang lain yang juga terbatas. Hubungan antara yang tak terbatas ini akan demikian seterusnya, sehingga membentuk siklus keterbatasan tanpa akhir. Kelima, dari perenungan mental di dalam pikiran, kita bisa menambah bilangan hingga tak terbatas, dan membayangkan ruang tak terbatas di luar langit. Dari sini wajar jika muncul pikiran tentang sesuatu yang tak terbatas itu (Physics. III.5.) (Barnes, 2014).


Hukum Alam dan Keteraturan Kosmik

Dalam fragmen yang masih tersisa saat ini, Anaximander menulis: “Dari mana segala sesuatu memperoleh kelahiran, ke sanalah juga ia binasa menurut keharusan; sebab mereka saling membayar keadilan dan denda atas ketidakadilan mereka, menurut urutan waktu” (DK. 12B1) (Heidegger, 1975). Kalimat pendek yang terkesan puitis ini setidaknya menggambarkan tiga pandangan inti Anaximander yang berkenaan dengan hukum alam dan keteraturan kosmik.

Pertama, dalam pandangan Anaximander, segala sesuatu di alam semesta tunduk di bawah hukum alam yang tak terelakkan, yang ia sebut sebagai keharusan (to chreōn). Baginya, alam semesta merupakan sistem yang teratur, seimbang, dan adil. Setiap unsur memiliki tempat dan fungsinya masing-masing, dan saling terhubung di bawah ketundukan pada hukum alam yang berlaku. Hukum alam ini menjamin keteraturan dan keseimbangan masing-masing unsur tersebut.

Kedua, hukum alam tersebut mengikuti prinsip keadilan (dikē), yakni prinsip yang menjamin keteraturan dan keseimbangan kosmik. Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada satu unsur pun yang menjadi sangat dominan sehingga mengeksklusi unsur yang lain. Prinsip inilah yang menjaga keseimbangan berbagai unsur yang saling bertentangan, seperti panas dan dingin, kering dan basah, serta mengatur perubahan dan perputaran fenomena alam agar berjalan sesuai dengan tatanannya yang alami.

Ketiga, bilamana terjadi dominasi salah satu unsur sehingga mengeksklusi unsur yang lain di alam semesta, maka dominasi itu akan menghasilkan ketidak-adilan atau pelanggaran keseimbangan (adikia). Menurut Anaximander, alam semesta punya mekanismenya sendiri untuk memulihkan kembali kondisi keseimbangannya. Keadilan (dikē) adalah prinsip yang tertanam dalam struktur kosmos. Segala hal yang melanggar prinsip tersebut akan menanggung konsekuensi-konsekuensi yang tak bisa dihindari (Barnes, 1987; Burnet’s, 1920; Guthrie, 1975).


Refleksi

Kita mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang Anaximander daripada tentang Thales, meskipun informasi yang tersedia tidak bisa disebut telah cukup memadai. Dari informasi yang tersedia, paling tidak ada tiga hal yang bisa direfleksikan.

Pertama, Anaximander mencontohkan semangat keingintahuan (curiosity) dan sikap tidak puas dengan pendapat populer, meskipun pendapat tersebut adalah berasal dari guru kita sendiri. Pendapat tidak sama dengan orang yang berpendapat. Sikap tidak puas perlu ditujukan pada pendapatnya, dan bukan pada orang yang berpendapat. Dalam hal ini, sikap tidak puas tersebut justru bermakna positif, karena selain menguji secara kritis cakupan dan keterbatasan pendapat yang ada, sekaligus juga mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna. Dalam tradisi filsafat, ketidakpuasan terhadap suatu pandangan merupakan hal yang biasa, meskipun pandangan tersebut berasal dari orang yang kita hormati secara moral dan sosial.

Kedua, Anaximander mencontohkan keberanian untuk meninggalkan unsur-unsur konkret bila dianggap tidak memadai, menuju prinsip yang abstrak, meskipun tidak ada jaminan bahwa yang terakhir ini dapat memberikan penjelasan yang lebih valid dan pasti. Lompatan ilmu pengetahuan sering kali dipicu oleh keberanian atau lompatan semacam ini. Misalnya, lompatan abstrak dalam fisika, yakni dari benda (Isaac Newton), ke medan (James Clerk Maxwell) dan kuantum (Max Planck, Niels Bohr, Albert Einstein). Bahkan dalam teori etika Immanuel Kant juga ditemukan lompatan yang mirip, yang ia sebut idealisme transendental.

Ketiga, nilai filosofis dari mempelajari pemikiran filsafat para filsuf klasik, termasuk Anaximander ini terletak pada struktur pertanyaannya, dan bukan sekadar jawaban yang diajukan. Pandangan filosofisnya mungkin kalah canggih dengan penjelasan ilmiah mutakhir dari sains, tetapi struktur pertanyaannya masih relevan dengan sains dan filsafat kontemporer.


REFERENCES:

 

Barnes, J. (1987). Early Greek Philosophy. Penguin Books.

Barnes, Jonathan. (2014). The Complete Works of Aristotle. In The Complete Works of Aristotle (Vol. 2).

Bertens, Kees. (1975). Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius.

Burnet’s, John. (1920). Early Greek Philosophy. A&C Black.

Guthrie, W. K. C. (1975). A History of Greek Philosophy. In A History of Greek Philosophy. https://doi.org/10.1017/cbo9780511518423

Hatta, Mohammad. (1986). Alam Pikiran Yunani. UI-Press.

Heidegger, Martin. (1975). Early Greek Thinking (D. F. Krell & F. A. Capuzzi, Trans.). Harper &  Row, Publishers.

Mumford, Stephen. (2004). Laws in nature. In Laws in Nature. https://doi.org/10.4324/9780203458426

Schwichtenberg, Jacob. (2018). Physics from Symmetry. In Book.

Søvik, A. O. (2022). A Basic Theory of Everything: A Fundamental Theoretical Framework for Science and Philosophy. In A Basic Theory of Everything: A Fundamental Theoretical Framework for Science and Philosophy. https://doi.org/10.1515/9783110770957


Leave a Comment