| 0 Comments | 27 Views
Level Diskursus
Dalam pengertian yang sederhana, konsep level diskursus dipakai untuk menjelaskan tingkatan atau lapisan dalam cara kita berbicara, menulis, atau berpikir tentang suatu topik. Dalam analisis wacana kritis, level diskursus merujuk pada lapisan, tingkatan, atau dimensi yang berbeda dalam proses analisis teks atau tuturan. Asumsi dasar dari konsep ini adalah bahwa makna tidak hanya dibangun melalui kata-kata individual dalam sebuah teks atau percakapan, tetapi juga melalui struktur, konteks, dan relasi sosial yang lebih luas. Konsep level diskursus membantu kita memahami makna pada masing-masing lapisan atau tingkatan diskursus tersebut.
Tiga Level Diskursus
Para
ahli analisis wacana kritis seperti Norman Fairclough
Saya tidak akan menggunakan tiga level diskursus Fairclough ini dengan sangat ketat, karena yang diperlukan saat ini hanyalah bagaimana kerangka kerja konseptual tersebut dapat membantu kita dalam mengidentifikasi normativitas dan historisitas Islam, tanpa perlu masuk terlalu jauh pada detail mekanisme kerja konseptualnya. Analisis berlapis (tingkatan; level) dalam model Fairclough itu bermanfaat untuk kepentingan kita. Dengan mengacu pada model analisis berlapis tersebut, saya mengusulkan tiga level berbeda dalam pengkajian terhadap Islam, terutama berkenaan dengan dimensi normativitas dan historisitasnya. Untuk lebih memudahkan, masing-masing level dinamakan: diskursus tingkat pertama (first level of discourse), diskursus tingkat kedua (second level of discourse), dan diskursus tingkat ketiga (third level of discourse).
Studi Islam dalam Tiga Level Diskursus
Diskursus tingkat pertama (first level of
discourse) merujuk pada lapisan pengkajian terhadap sumber asli ajaran Islam
(the original text of Islam) yang berupa Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad
yang otentik (scripture; naṣ). Ini merupakan tingkatan pengkajian dimensi
normativitas Islam. Lapisan ini didasarkan atas asumsi bahwa Islam adalah agama
yang berbasis teks (Islam as a text-based religion), sama seperti
Yudaisme dan Kristen
Ilmu-ilmu keislaman tradisional (‘ulūm ad-dīn) telah mengembangkan berbagai perangkat metodologis untuk pengkajian Islam pada diskursus tingkat pertama ini. Barangkali teknik yang diusulkan Fairclough juga berguna sebagai komplementer. Pengkajian terhadap sumber otentik ajaran Islam dapat dilakukan dengan mempelajari kata-kata dan istilah-istilah yang digunakan, struktur kalimat dan gramatikalnya, gaya bahasa, metafora yang dipakai, hingga keterkaitan antar berbagai unsur (kohesi) dalam struktur sintaktisnya. Modal utama yang dibutuhkan untuk melakukan pengkajian pada level ini adalah penguasaan bahasa Arab dan ilmu-ilmu gramatikalnya dengan baik dan memadai.
Diskursus tingkat kedua (second level of
discourse) merujuk pada lapisan pengkajian terhadap praktik diskursif (discursive
practice) yang berupa aneka ragam pandangan dan keilmuan Islam yang diproduksi,
diedarkan, dan dikonsumsi sebagai bentuk penafsiran dan pemahaman terhadap Al-Qur’an
dan Sunnah. Pada tingkat ini, pengkajian tidak lagi berkenaan dengan dimensi
normativitas, melainkan beranjak pada dimensi historisitas Islam. Lapisan ini
didasarkan atas asumsi bahwa Islam bukan hanya sekadar agama yang berbasis teks
(Islam as a text-based religion), tetapi juga agama yang mewujud dalam
tradisi diskursif (Islam as a discursive tradition) yang hidup di
berbagai wilayah di dunia dan di berbagai periode historis
Kita perlu cermat dan berhati-hati pada diskursus tingkat kedua ini, sebab praktik diskursif yang berlangsung pada tingkat ini seringkali diidentikkan dengan teks asli Islam pada diskursus tingkat pertama. Dengan kata lain, pada tingkat ini, penafsiran terhadap Al-Qur’an seringkali disamakan dengan Al-Qur’an itu sendiri. Hal ini terjadi karena dalam praktik keagamaan sehari-hari, umat Islam terbiasa menggunakan legitimasi Al-Qur’an dan Sunnah untuk menguatkan pendapat mereka. Padahal Al-Qur’an tentu tidak sama dengan penafsiran terhadap Al-Qur'an. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang bersifat tetap dan mutlak. Sedangkan penafsiran terhadap Al-Qur’an adalah produk pemikiran manusia yang bersifat relatif dan bisa saja berbeda-beda bentuknya. Keduanya memang memiliki keterkaitan, namun harus dapat dibedakan.
Saya berpendapat bahwa produk tradisi intelektual umat Islam di masa lalu perlu ditempatkan pada diskursus tingkat kedua (second level of discourse), yakni sebagai praktik diskursif (discursive practice). Meskipun dapat dianggap mengandung dimensi normativitas tertentu, produk diskursif ini pertama-tama harus ditempatkan sebagai produk historis. Produk tersebut tidak perlu disakralkan, dianggap mutlak, atau dicampur-adukkan dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber orisinal Islam pada diskursus tingkat pertama (first level of discourse). Salah satu penyebab sikap dogmatisme dan klaim kebenaran (truth claim) di kalangan umat Islam khususnya dan umat beragama umumnya pada masa sekarang ini adalah kegagalan dalam membedakan level diskursus ini.
Diskursus tingkat ketiga (third level of discourse) merujuk pada lapisan pengkajian terhadap praktik sosial (social practice). Lapisan ini berupa segenap praktik keislaman yang bersifat historis-empirik yang dilakukan oleh umat Islam di berbagai tempat dan waktu. Asumsi dasar pengkajian pada tingkat ketiga ini sama dengan tingkat kedua, yakni bahwa Islam bukan hanya sekadar text-based religion, tetapi juga sebagai discursive tradition. Pada tingkat ini, ajaran dan nilai-nilai Islam telah menjadi tradisi yang dipraktikkan dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Banyak sekali contoh praktik keislaman yang merepresentasikan diskursus tingkat ketiga ini. Misalnya tradisi maulid, ziarah wali, tahlilan, shalawatan, dan lainnya. Pada berbagai praktik keislaman tersebut, nilai dan ajaran Islam telah mengalami adaptasi dan akulturasi dengan sistem nilai dan praktik kultural yang bersifat lokal. Dalam hal ini, dimensi normativitas juga berkait-kelindan dengan dimensi historisitas. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa berbagai praktik keislaman tersebut adalah sepenuhnya murni Islam atau menganggapnya sebagai representasi utuh dari ajaran Islam yang universal. Bahkan, kalau kita menggunakan perspektif analisis wacana kritis (critical discourse analysis) model Fairclough, berbagai praktik keislaman tersebut bisa saja “menyembunyikan” relasi kuasa, relasi dominasi dan resistensi, ideologi, atau kepentingan tertentu, yang tentunya tidak normatif, melainkan historis.
Penutup
Tiga level diskursus ini saya maksudkan untuk membantu kita dalam mencermati dan memahami secara lebih jernih perbedaan dan sekaligus keterkaitan dimensi normativitas dan historisitas Islam dalam pengkajian Islam. Elaborasi konseptual dan teoritis yang lebih terperinci bisa dilakukan pada kesempatan yang lain. Dalam konteks pengkajian Islam yang lebih luas, tingkatan diskursus tersebut barangkali tidak hanya terbatas pada tiga level saja, tetapi juga bisa mencakup tingkatan keempat, kelima, dan seterusnya. Misalnya diskursus metodologis dalam pengkajian Islam yang saat ini banyak mengacu pada produk sarjana Barat dan orientalis. Kita bisa mengajukan pertanyaan: “Apakah seorang sarjana non-Muslim mampu menghasilkan kajian akademis yang valid dan tidak bias tentang shalat, haji, puasa, dan lainnya tanpa terlibat dan merasakan langsung dimensi normativitas dalam praktik keislaman tersebut”? Persoalan semacam ini tentu tidak bisa dimasukkan pada tiga level diskursus di atas, melainkan pada level berbeda. ֎
REFERENCES:
Asad, Talal. 2009. “The Idea of an Anthropology of Islam.” Qui Parle 17(2). doi:10.5250/quiparle.17.2.1.
Fairclough, Norman. 2013. Language and Power 3rd Edition.
Goldziher, Ignaz. 2017. Muslim studies. Vol. 1.
Rahman, Fazlur. 2012. “Major Themes of the Qur ’an.” Middle East 35.
Leave a Comment