| 0 Comments | 19 Views
Pengertian
Selain istilah “Islam
normatif" (normative Islam), dalam pengkajian akademik terhadap Islam
dikenal juga istilah “Islam historis" (historical Islam). Istilah
ini mulai dikenal pada abad ke-20 setelah studi Islam mengalami perkembangan
signifikan dengan munculnya berbagai pendekatan, konsep, dan teori baru,
termasuk pendekatan Islam historis. Sama halnya dengan istilah Islam normatif, tidak
diketahui secara pasti siapa tokoh tertentu yang bisa diklaim sebagai penemu istilah
Islam historis ini. Namun demikian, beberapa sarjana dari kalangan orientalis
dan sarjana Muslim, seperti Wilfred Cantwell Smith
Historis artinya berkenaan dengan sejarah. Islam historis berarti pendekatan akademik-ilmiah yang mengkaji Islam sebagai fenomena dan realitas historis yang berkembang dari waktu ke waktu dalam konteks sejarah tertentu, seperti konteks sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lainnya. Pendekatan ini berbeda dengan Islam normatif yang lebih berfokus pada pengkajian terhadap ajaran-ajaran dasar Islam yang terkandung dalam Alquran dan hadits. Sebagai sebuah pendekatan, Islam historis menekankan bahwa pemahaman dan praktik keberagamaan Islam dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan sejarah tertentu. Adanya pengaruh ini telah berimplikasi pada hadirnya berbagai bentuk ekspresi keislaman yang beragam dan berbeda-beda di kalangan umat Muslim.
Pertanyaan dan Asumsi Dasar
Pertanyaan utama yang menjadi titik tolak munculnya pendekatan ini adalah: apakah Islam adalah sistem ajaran yang telah lengkap sejak diturunkan pertama kali, ataukah ia senantiasa mengalami perkembangan seiring dengan berjalannya waktu dan meluasnya dakwah Islam ke berbagai wilayah di luar jazirah Arab? Apakah ajaran Islam yang mulai dikenal pada abad ke-7 telah bersifat final sejak masa awalnya ataukah Islam merupakan tradisi yang terus hidup dan berkembang (living tradition) mengikuti lintasan sejarah?
Para eksponen pendekatan ini berpendapat bahwa Islam bukan hanya bisa dilihat sebagai sekumpulan doktrin dan ajaran agama yang bersifat final, melainkan juga dapat dicermati sebagai tradisi yang terus tumbuh, berkembang, berubah, dan berinteraksi dengan dunia sosial di mana ia dipraktikkan. Mereka secara prinsipiil membedakan antara ‘ajaran Islam’ dan ‘manifestasi ajaran Islam’. Mereka tidak menampik bahwa Islam sebagai ajaran bersifat final dan tidak akan berubah lagi. Namun manifestasi atau perwujudan dari ajaran itu di berbagai wilayah dan dalam periode sejarah yang berbeda adalah sangat beragam dan tidak tunggal. Islam ditafsirkan, dipraktikkan, dan diwariskan secara beragam dan berbeda di berbagai wilayah, bahkan sejak periode awal perkembangannya. Mereka berpandangan bahwa manifestasi ajaran Islam ini merupakan lahan yang sangat subur dan kaya untuk dikaji dan diteliti secara akademik-ilmiah.
Penolakan
Hadirnya pendekatan
historis ini tidak selalu disambut baik dan bisa diterima oleh semua pihak. Sebagian
umat Muslim khawatir apabila Islam dilihat sebagai fenomena historis maka sakralitasnya
akan hilang
Penolakan terhadap pendekatan
Islam historis juga berkenaan dengan persoalan politik pengetahuan dalam
studi Islam. Para sarjana dan akademisi Barat dinilai terlalu dominan dalam
studi sejarah Islam. Dominasi ini menimbulkan pertanyaan: siapa yang berhak
menafsirkan dan menulis sejarah Islam? Apakah sarjana Barat lebih otoritatif
daripada ulama Muslim tradisional? Apakah studi historis terhadap Islam harus
mengadopsi standar akademik Barat yang sekuler? Apakah umat Islam harus bergantung
kepada keahlian sarjana Barat dalam mengkaji Islam? Ataukah umat Muslim perlu
membangun sendiri tradisi kritis dalam mengkaji realitas keberagamaan mereka? Penolakan
ini, selain menggambarkan persoalan otoritas akademik dan keilmuan, juga menyiratkan
ketegangan ideologis antara Barat dan Islam
Kesalahpahaman
Kekhawatiran dan bahkan penolakan terhadap pendekatan Islam historis ini adalah wajar, namun perlu dijernihkan. Kalangan umat Islam yang telah terbiasa dengan kerangka doktrin teologis, umumnya akan menunjukkan sikap defensif ketika Islam dipandang sebagai produk historis atau hasil konstruksi budaya. Apalagi pendekatan tersebut tidak lahir dari rahim ilmu-ilmu agama Islam (‘ulūm ad-dīn), tetapi berasal dari studi terhadap Islam yang dilakukan oleh para sarjana Barat. Namun demikian, kekhawatiran dan penolakan itu lebih sering disebabkan kesalahpahaman yang umum terjadi, sehingga duduk persoalannya perlu dijernihkan.
Ada tiga argumen yang perlu diajukan:
Pertama, sebagai sebuah pendekatan, Islam normatif dan historis memiliki fokus kajian yang berbeda. Islam normatif berfokus pada ajaran ideal Islam, yakni “apa yang seharusnya” diyakini dan diamalkan oleh umat Islam. Sementara Islam historis berfokus pada “realitas yang ada” dari pengamalan ajaran tersebut. Fokus yang pertama bercorak normatif-justifikatif, yang memberikan penilaian benar-salah atau baik-buruk sesuai dengan standar normatif ajaran Islam. Sementara fokus yang kedua bercorak deskriptif, yang tidak memberikan penilaian benar-salah atau baik-buruk, melainkan hanya mendeskripsikan dan memahami bagaimana praktik keislaman semacam itu bisa terjadi.
Kedua, mau tidak mau ataupun suka tidak suka harus diakui bahwa ajaran Islam telah dipraktikkan secara beragam di kalangan umatnya, sejak dari periode pertama perkembangannya sampai abad modern ini. Keragaman ini menunjukkan bahwa meskipun doktrin dan ajaran Islam bersifat final dan tidak berubah lagi, namun interpretasi dan pemahaman terhadapnya senantiasa berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Interpretasi, pemahaman, dan praktik keislaman tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Dinamika ini hanya bisa dipahami bila Islam dipahami sebagai realitas atau fenomena historis --dan dicermati dengan pendekatan historis.
Ketiga, mengkaji Islam sebagai fenomena atau realitas historis (Islam historis)
bukan berarti menolak kebenaran Islam, melainkan sebagai bentuk pengakuan bahwa
pemahaman kita tentang kebenaran itu selalu merupakan produk historis yang
tentu bersifat relatif. Fazlur Rahman menjelaskan bahwa memahami wahyu dalam
konteks sejarah justru memungkinkan kita untuk menerapkan visi moralnya pada
tantangan kontemporer dengan kedalaman dan tanggung jawab yang lebih besar
REFERENCES:
Abdullah, A. (1996). Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas? Pustaka Pelajar.
Abu-Zayd, N. H. (2003). The Dilemma of the Literary Approach to
the Qur’an. Alif: Journal of Comparative Poetics, 23, 8.
https://doi.org/10.2307/1350075
Asad, T. (1993). The Construction of Religion as an
Anthropological Category. In Genealogies of Religion: Discipline and
Reasons of Power in Christianity and Islam.
Donner, F. M. (1998). Narratives of Islamic Origins: The
Beginnings of Islamic Historical Writing. In Studies in Late Antiquity and
Early Islam, No 14.
Hodgson, M. G. S. (1974). The Venture of Islam: Vols. I, II,
III. University of Chicago Press.
Nasution, H. (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya:
Vols. I, II. UI Press.
Qutb, S. (1979). Milestones. Mother Mosque Foundation.
Rahman, F. (1979). Islam. University of Chicago Press.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition. University of Chicago Press.
Saeed, A. (2006). Islamic thought: An introduction. In Islamic
Thought: An Introduction. https://doi.org/10.4324/9780203015247
Said, E. W. (1979). Orientalism. Vintage Books.
Sinai, N. (2020). Historical Criticism and Recent Trends in
Western Scholarship on the Quran: Some Hermeneutic Reflections. مجلة كلية الشريعة و
الدراسات الإسلامية, 38(1), 136–146.
https://doi.org/10.29117/jcsis.2020.0259
Smith, W. C. (1957). Islam in Modern History. Princenton
University Press.
Leave a Comment