| 0 Comments | 12 Views
Pertanyaan
Kalau kita katakan bahwa normativitas dan historisitas itu melekat pada Islam, berarti kita mengandaikan bahwa ada dua aspek (atau dimensi) Islam, yaitu aspek normatif dan aspek historis. Ini agak tricky, karena seolah-olah mengandaikan Islam itu berwajah ganda; wajah normatif dan wajah historis. Jawaban ini berisiko akan berbenturan dengan keyakinan sebagian besar umat Islam yang meyakini bahwa hanya ada satu Islam.
Sementara kalau kita katakan bahwa keduanya terletak pada cara pandang atau pendekatan kita dalam mengkaji Islam, berarti normativitas dan historisitas itu tidak melekat secara ontologis pada Islam, melainkan muncul sebagai kerangka analitis atau konstruksi metodologis yang bergantung pada sudut pandang kita. Ini juga agak tricky, sebab kalau normativitas dan historisitas itu tidak melekat secara ontologis pada Islam, lalu mengapa keduanya perlu dibedakan secara epistemologis (cara pandang atau pendekatan)?
Ibarat Dua Sisi Koin
Saya setuju dengan
pendapat yang mengatakan bahwa normativitas dan historisitas itu melekat secara
ontologis pada Islam itu sendiri. Artinya, realitas Islam itu berdimensi ganda,
yaitu: dimensi normatif dan dimensi historis. Dua dimensi ini, menurut Amin
Abdullah, ibarat sebuah koin (mata uang) yang memiliki dua sisi atau permukaan.
Masing-masing sisi dapat dibedakan secara jelas, tetapi keduanya saling
terhubung dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya menyatu dalam suatu keutuhan,
namun tetap bisa dibedakan
Selanjutnya, membedakan dua dimensi Islam itu secara ontologis berimplikasi pada kebutuhan untuk menggunakan cara pandang dan pendekatan yang berbeda dalam mengkaji masing-masingnya. Pengkajian terhadap dimensi normativitas Islam perlu dilakukan dengan menggunakan cara pandang dan pendekatan yang bercorak normatif. Sejak masa rasul Muhammad SAW, umat Islam telah mempraktikkan pendekatan semacam ini. Mereka menerima dan mempelajari ajaran-ajaran normatif dan nilai-nilai ideal Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan hadis secara doktrinal-teologis. Pendekatan ini tetap digunakan hingga saat ini oleh umat Islam di berbagai belahan dunia.
Di sisi lain, pengkajian terhadap dimensi historisitas Islam perlu dilakukan dengan menggunakan cara pandang dan pendekatan yang bercorak historis juga. Pendekatan ini bermacam-macam bentuknya, seperti pendekatan sejarah (historis), sosiologis, antropologis, filosofis, psikologis, ekonomis, fenomenologis, dan lainnya. Aneka macam pendekatan historis inilah yang menjadi kerangka metodologis dan analitis dalam disiplin keilmuan yang dinamakan studi Islam (Islamic Studies, ad-Dirāsah al-Islāmiyyah). Meskipun memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman klasik, disiplin ini baru muncul dan berkembang pada abad modern.
Dengan demikian, kita dapat mengajukan jawaban terhadap pertanyaan yang saya ajukan di awal tulisan ini. Normativitas dan historisitas itu pertama-tama terletak dan melekat secara ontologis pada realitas Islam itu sendiri. Meskipun dua dimensi ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan, diperlukan kemampuan dan kejelian analitis untuk membedakan antara keduanya. Selanjutnya, kemampuan itu akan menjadi faktor penentu dalam memilih cara pandang (pendekatan) yang tepat untuk mengkaji masing-masing dimensi tersebut. Lebih jauh lagi, kemampuan itu akan sangat berpengaruh pada bagaimana menyikapi persoalan-persoalan yang muncul dalam ketegangan antara keduanya secara kritis dan komprehensif.
Membedakan Dimensi Normativitas dan Historisitas Islam
Perbedaan-perbedaan yang tampak antara dimensi normativitas dan historisitas Islam dapat dicermati dalam lima aspek berikut.
Pertama, wujud. Dimensi normativitas Islam wujudnya adalah Al-Qur’an dan hadis, sementara dimensi historisitas Islam wujudnya adalah fakta empiris bagaimana ajaran Islam diamalkan oleh umat Muslim pada periode historis dan di wilayah tertentu. Dengan kata lain, Islam normatif berupa “apa yang seharusnya” diyakini dan diamalkan menurut ajaran ideal Islam. Sementara Islam historis berupa “realitas empirik-historis” dalam bentuk praktik dan pengamalan ajaran ideal tersebut. Di titik ini perlu digarisbawahi bahwa ajaran Islam dan pengamalan (manifestasi) ajaran Islam adalah dua hal yang berbeda. Begitu pula dengan Al-Qur’an dan tafsir (interpretasi) terhadap Al-Qur’an; keduanya merujuk pada dua entitas wujud yang berbeda.
Kedua, karakter dasar. Kemampuan untuk membedakan dua wujud dimensi normativitas
dan historisitas Islam ini penting demi menjaga universalitas dan sakralitas
ajaran Islam itu sendiri. Ajaran dan nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam
Al-Qur’an dan hadis bersifat transenden, abadi, sakral, universal, final, dan cocok
untuk semua waktu dan tempat (ṣāliḥ li kulli zamān wa makān). Sebagai
umat Islam, kita harus menancapkan keyakinan tersebut sekuat mungkin di dalam
diri dan kesadaran kita masing-masing. Cara yang terbaik untuk mengetahui,
mengerti, dan memahami universalitas dan sakralitas ajaran Islam tersebut
adalah dengan mengkaji langsung Al-Qur’an dan hadis. Meminjam ungkapan Muhammad
Iqbal: “dengan melewati kobaran semangatnya sendiri ... yakni mengalami wahyu
sebagaimana dialami oleh mereka yang menerimanya untuk pertama kali. Kita harus
memahami Al-Qur’an seolah-olah ia sedang diwahyukan kepada kita, bukan kepada
orang lain”
Namun demikian,
ketika ajaran dan nilai-nilai Islam itu telah ditafsirkan, diamalkan, dan dipraktikkan
oleh umat Muslim pada periode historis dan di wilayah tertentu, ia masuk dalam
dimensi historisitas. Inilah dimensi perwujudan (manifestasi) ajaran Islam yang
dipraktikkan dalam konteks sosio-kultural, politik, dan ekonomi tertentu,
serta berkembang secara konkret dalam
ruang dan waktu tertentu. Praktik ini merupakan hasil dari konstruksi agama dan
sosial sekaligus. Oleh karena itu, ia tidak lagi sakral melainkan profan, tidak
lagi universal melainkan partikular, dan tidak lagi final melainkan terus
berkembang secara dinamis. Mengutip Amin Abdullah: “... tetapi begitu makna dan
moralitas keberagamaan tadi memasuki wilayah historisitas kehidupan sehari-hari
manusia, maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar dari belenggu dan jebakan
ruang dan waktu. Tegasnya, ia tidak bisa terlepas dari anomali-anomali”
Ketiga, aktor/eksponen. Kalangan yang lebih menekankan dimensi normativitas Islam adalah kelompok agamawan, seperti para ulama, lembaga-lembaga keagamaan Islam, dan komunitas Muslim (community of believers) pada umumnya. Mereka lebih tertarik pada pengamalan ajaran-ajaran akidah, syariah, dan moral Islam, dan menganggapnya sebagai pedoman ilahiyah yang siap pakai. Sementara kalangan yang lebih menekankan dimensi historisitas Islam adalah para ilmuwan (sarjana dan akademisi), seperti para sejarawan, antropolog, filolog, dan ilmuwan sosial, baik dari kalangan umat Muslim maupun bukan. Mereka lebih tertarik pada realitas Islam sebagai tradisi yang hidup (living tradition) dari masa ke masa.
Keempat, metode. Pengkajian terhadap dimensi normativitas Islam dilakukan dengan metode tafsir, bahasa (Arab), uṣūl fiqh, dan ijtihādī. Metode-metode ini telah lama dikenal dan dipraktikkan dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, seperti kalām, fiqh, dan tafsīr. Metode-metode ini digunakan untuk mengkaji dan mendalami ajaran dan nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis. Sementara pengkajian terhadap dimensi historisitas Islam dilakukan dengan metode-metode yang berkembang dalam disiplin ilmu modern, seperti historiografi, antropologi, sosiologi, filologi, filsafat, kritik teks, kritik ideologi, dan sebagainya.
Kelima, tujuan. Penekanan pada dimensi normativitas Islam ditujukan untuk meneguhkan keimanan, menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis, serta menetapkan kaidah dan aturan-aturan keagamaan Islam. Sementara penekanan pada dimensi historisitas Islam ditujukan untuk menjelaskan, mendeskripsikan, dan memahami proses terbentuknya ajaran Islam, dinamika tafsir, dan praktik keislaman yang beragam di kalangan umat Islam. ֎
REFERENCES:
Abdullah,
Amin. 1996. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Iqbal,
Muhammad. 1989. The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
disunting oleh M. S. Sheikh. Pakistan: Iqbal Academy.
Leave a Comment