| 0 Comments | 35 Views

Card Image

Thales of Miletus

Thales dari Miletus

Kalau kita membaca buku-buku tentang filsafat, akan ditemukan sebuah nama yang, oleh hampir semua sarjana dan penulis, dianggap sebagai filsuf pertama. Nama itu adalah Thales dari Miletus. Konon, filsafat dimulai dari orang yang bernama Thales ini. Ia hidup sekitar 624-546 S.M.  Thales tercatat sebagai salah seorang dari tujuh orang bijaksana yang hidup pada abad ke 6-S.M. (Barnes, 1987; Hatta, 1986) Menurut Bertens (1975), meskipun informasi tentang nama-nama mereka tidak selalu sama, namun satu nama selalu muncul, yaitu nama Thales dari Miletus.

Hampir semua informasi awal tentang Thales diperoleh dari catatan Herodotos, sejarawan Yunani yang hidup pada abad ke-5 S.M. Thales sendiri tidak meninggalkan satu karya pun yang bisa diakses saat ini. Pemikirannya dibicarakan dan diajarkan secara lisan. Herodotos, dalam catatannya, juga tidak menyebut Thales sebagai “filsuf”. Ia bahkan tidak menuliskan informasi apapun tentang aktivitas Thales yang mengindikasikan statusnya sebagai filsuf. Barulah pada abad ke-4 S.M., pemikiran Thales dikutip oleh Plato (Phaedo, 96a6–7) dan Aristoteles (Metaphysics, 983b) dan dianggap sebagai bentuk pemikiran filosofis. Oleh karena itu, gelar filsuf pertama yang disandangkan kepada Thales lebih didasarkan pada pendapat Plato dan Aristoteles (Aristotle, 2019; Plato, 1997). Pendapat ini kemudian diikuti oleh hampir semua sarjana hingga saat ini.


Mengapa Thales?

Alasan utama yang menjadikan Thales layak disebut sebagai filsuf pertama adalah bahwa pemikirannya telah menjadi tonggak yang menandai peralihan cara berpikir yang terjadi di masyarakat Yunani Kuno pada abad ke-6 S.M., yakni dari cara berpikir mitologis ke cara berpikir logis-rasional. Thales, mengawali era refleksi rasional terhadap realitas (Jaspers, 2014). Ia dikenal sebagai filsuf pertama bukan karena telah menghasilkan suatu sistem pemikiran filsafat tertentu yang utuh dan mendalam, melainkan karena keberaniannya memulai cara baru dalam menjelaskan dunia secara logis-rasional. Cara pandang logis-rasional yang ia praktekkan dianggap sebagai tonggak awal lahirnya filsafat dalam sejarah pemikiran manusia.

Sebelum Thales, orang-orang Yunani menjelaskan realitas alam raya dan segala fenomena yang terjadi di dalamnya secara mitologis. Mitos-mitos tentang dewa diciptakan untuk menjelaskan mengapa suatu fenomena terjadi. Misalnya, petir dijelaskan dalam kaitannya dengan Zeus, kemarau panjang dan kekeringan dengan Thor, guncangan di bumi dengan Poseidon, dan lainnya.

Thales dan para filsuf awal lainnya mencoba menemukan penjelasan-penjelasan alamiah (logis-rasional), dan bukan supranatural (mitologis), untuk berbagai realitas tersebut. Dalam konteks inilah Thales dianggap telah mengubah cara berpikir dan menandai zaman baru dalam sejarah kesadaran manusia, yang tidak lagi menjelaskan segala sesuatu secara mitologis, melainkan secara logis-rasional. Ia dan para filsuf awal lainnya telah mengambil langkah pertama menuju penalaran ilmiah, dan bisa disebut telah menjadi pendahulu dari apa yang sejak periode modern dinamakan sains (Gaarder, 1996).


Persoalan Filosofis Utama

Barnes (1987) menyebut Thales sebagai filsuf alam, karena ia mengurai persoalan filosofis tentang alam dan berbagai dinamika di dalamnya. Selain Thales, ada beberapa filsuf Yunani lainnya yang mengkaji persoalan yang sama, seperti Anaximander, Anaximenes, Parmenides, Heraclitus, Pythagoras, Xenophanes, Empedocles, Anaxagoras, dan Democritus. Dalam berbagai literatur filsafat, mereka dikenal sebagai para filsuf alam.

Persoalan filosofis yang mereka kaji adalah tentang bahan dasar dan perubahan-perubahan yang terjadi di alam. Mereka mempertanyakan: dari mana asal alam raya? Bagaimana alam raya ini ada? Apa zat yang menjadi bahan dasarnya? Mereka mengamati dan menemukan perubahan-perubahan di alam raya, lalu mempertanyakan: bagaimana perubahan itu dapat terjadi? Bagaimana sesuatu dapat berubah dari zat menjadi suatu benda hidup? Apa yang menyebabkan terjadinya perubahan itu? Ketika sesuatu itu berubah, apakah semua unsurnya ikut berubah atau adakah unsur yang tetap dan tidak mengalami perubahan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa Thales –dan para filsuf alam– berusaha menjelaskan asal-usul dan prinsip-prinsip dasar alam semesta. Inilah proyek filsafat mereka, dan dalam proyek inilah pandangan-pandangan filosofis mereka harus ditempatkan. Singkatnya, Thales –dan para filsuf alam– berusaha menjelaskan asal-mula alam raya dan hukum-hukum yang mendasari perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.

Dalam upaya memahami persoalan filosofis tersebut, Thales –dan para filsuf alam– percaya bahwa pasti ada suatu zat yang menjadi “bahan dasar” alam raya. Pasti ada “sesuatu” yang darinya segala sesuatu berasal, dan ketika segala sesuatu mengalami perubahan, “sesuatu” itu tetap dan tidak berubah. Dalam tradisi filsafat pra-Sokrates, prinsip dasar yang menjadi asal mula, dasar eksistensial, dan sekaligus penjelas perubahan itu disebut arkhē (prinsip pertama; archē) (Craig, 1998).

Poin yang penting digarisbawahi mengenai persoalan filosofis tersebut adalah bahwa Thales -dan para filsuf alam– mencoba memahaminya tanpa harus kembali pada mitos-mitos kuno atau kepercayaan umum pada waktu itu. Ia mencoba memahami proses yang sesungguhnya terjadi dan menjelaskannya secara logis-rasional. Cara berpikir yang ditempuh Thales ini jelas berbeda dengan cara berpikir yang menjelaskan petir dan perubahan musim secara mitologis dengan mengaitkannya dengan ulah para dewa. Ia tidak lagi menggunakan mitos, melainkan menggunakan rasionya (logos).


Pandangan Filosofis Thales

Ada tiga poin utama dari pandangan filosofis Thales yang dicatat oleh para sarjana.

Pertama, menurut Thales, prinsip dasar (arkhē) segala sesuatu adalah air (Aristotle, Metaphysics, 983b). Tidak dapat dipastikan apa maksud dari pandangan ini; apakah literal atau simbolik. Interpretasi para sarjana terhadap pandangannya ini sangat beragam. Namun demikian, hampir semuanya menafsirkan bahwa menurut Thales, segala sesuatu berasal dari air, bergantung pada air, dan dapat direduksi pada air.

Gardeer menduga pandangan itu didasarkan atas pengamatan Thales setelah perjalanannya ke Mesir; bagaimana tanaman mulai tumbuh di Delta Nil setelah banjir sungai Nil surut. Mungkin juga ia memikirkan tentang bagaimana air menguap atau berubah menjadi es dan kemudian berubah lagi menjadi air (Gaarder, 1996). Bertens memperkirakan pandangan itu muncul dari pengamatan Thales bahwa semua makhluk hidup membutuhkan air dan kelembapan mendasari kehidupan di alam raya (Bertens, 1975). Guthrie berpendapat bahwa pandangan Thales ini meliputi prinsip fisik dan metafisik, bahwa air adalah substansi dan sekaligus penyebab segala realitas dan perubahan yang terjadi di alam raya (Guthrie, 1975). Aristoteles menginterpretasikan pandangan ini dalam konteks “penyebab material” (causa material) yang ia uraikan lebih lanjut (Aristotle, 2019).

Kedua, Thales berpendapat bahwa bumi berada di atas air. Ia mengira bumi sebagai sesuatu yang keluar dari laut dan sekarang terapung-apung di atasnya. Menurutnya, sebagaimana dicatat oleh Aristoteles, tidak ada benda yang dapat berada di udara dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, bumi pasti berada (mengapung) di atas air (Aristotle, On the Heavens, 294a28-34).

Ketiga, Thales juga memiliki pandangan tentang jiwa. Menurutnya, segala sesuatu di alam raya ini memiliki jiwa (Aristotle, On the Soul, 411a7-8). Ia menganggap jiwa sebagai substansi yang menghasilkan gerak. Ia percaya bahwa magnet memiliki jiwa karena mampu menggerakkan besi (Aristotle, On the Soul, 405a 19-21). Pandangan Thales tentang jiwa ini juga tidak begitu jelas. Menurut Bertens (1975), tidak ada kesimpulan yang pasti yang dapat ditarik dari pandangan ini. Meskipun demikian, beberapa kalangan mengasosiasikan pandangan ini dengan animisme atau hylezoisme.


Refleksi

Kita akan kecewa bila berharap dapat menemukan pandangan filsafat yang mendalam atau argumen filosofis yang radikal dan sistematis dalam pemikiran Thales. Tidak banyak persoalan filosofis yang ia uraikan. Namun demikian, jasa Thales bagi lahirnya cara pandang filosofis (yang logis dan rasional) adalah nyata dan tidak terbantahkan. Ia menolak menjelaskan realitas alam raya secara mitologis. Ia telah membuka pintu untuk diskusi filosofis tentang prinsip pertama (arkhē). Ia-lah yang telah membuka jalan bagi berkembangnya filsafat selama lebih dari dua milenia. Dari Thales kita bisa mewarisi semangat berpikir rasional dan kritis, keberanian intelektual, dan ketidak puasan terhadap cara berpikir yang mapan (anti dogmatisme).


REFERENCES:

Aristotle. (2019). Clarendon Aristotle Series: Metaphysics: Lambda. In L. Judson (Ed.), Clarendon Aristotle Series: Metaphysics: Lambda. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/actrade/9780198833109.book.1

Barnes, Jonathan. (1987). Early Greek Philosophy. Penguin Books.

Bertens, Kees. (1975). Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius.

Craig, Edward. (1998). Routledge Encyclopedia of Philosophy (Vol. 25, Issue 2). Routledge. https://doi.org/10.22201/iifs.18704913e.1999.45.496

Gaarder, Jostein. (1996). Dunia Sophie Sebuah Novel Filsafat (A. Rahmani, Trans.). Mizan.

Guthrie, William Keith Chambers (1975). A History of Greek Philosophy. In A History of Greek Philosophy. https://doi.org/10.1017/cbo9780511518423

Hatta, Mohammad. (1986). Alam Pikiran Yunani. UI-Press.

Jaspers, Karl. (2014). The Origin and Goal of History (Routledge Revivals). In The Origin and Goal of History (Routledge Revivals). https://doi.org/10.4324/9781315823683

Plato. (1997). Plato Complete Work (J. M. Cooper, Ed.). Hackett Publishing Company.


Leave a Comment