| 0 Comments | 35 Views
Thales dari Miletus
Kalau kita membaca buku-buku tentang filsafat,
akan ditemukan sebuah nama yang, oleh hampir semua sarjana dan penulis,
dianggap sebagai filsuf pertama. Nama itu adalah Thales dari Miletus. Konon,
filsafat dimulai dari orang yang bernama Thales ini. Ia hidup sekitar 624-546 S.M.
Thales tercatat sebagai salah seorang
dari tujuh orang bijaksana yang hidup pada abad ke 6-S.M.
Hampir semua informasi awal tentang Thales
diperoleh dari catatan Herodotos, sejarawan Yunani yang hidup pada abad ke-5
S.M. Thales sendiri tidak meninggalkan satu karya pun yang bisa diakses saat
ini. Pemikirannya dibicarakan dan diajarkan secara lisan. Herodotos, dalam
catatannya, juga tidak menyebut Thales sebagai “filsuf”. Ia bahkan tidak menuliskan
informasi apapun tentang aktivitas Thales yang mengindikasikan statusnya sebagai
filsuf. Barulah pada abad ke-4 S.M., pemikiran Thales dikutip oleh Plato (Phaedo,
96a6–7) dan Aristoteles (Metaphysics, 983b) dan dianggap sebagai bentuk
pemikiran filosofis. Oleh karena itu, gelar filsuf pertama yang
disandangkan kepada Thales lebih didasarkan pada pendapat Plato dan Aristoteles
Mengapa Thales?
Alasan utama yang menjadikan Thales layak
disebut sebagai filsuf pertama adalah bahwa pemikirannya telah menjadi
tonggak yang menandai peralihan cara berpikir yang terjadi di masyarakat Yunani
Kuno pada abad ke-6 S.M., yakni dari cara berpikir mitologis ke cara berpikir
logis-rasional. Thales, mengawali era refleksi rasional terhadap realitas
Sebelum Thales, orang-orang Yunani menjelaskan realitas alam raya dan segala fenomena yang terjadi di dalamnya secara mitologis. Mitos-mitos tentang dewa diciptakan untuk menjelaskan mengapa suatu fenomena terjadi. Misalnya, petir dijelaskan dalam kaitannya dengan Zeus, kemarau panjang dan kekeringan dengan Thor, guncangan di bumi dengan Poseidon, dan lainnya.
Thales dan para filsuf awal lainnya mencoba menemukan
penjelasan-penjelasan alamiah (logis-rasional), dan bukan supranatural
(mitologis), untuk berbagai realitas tersebut. Dalam konteks inilah Thales dianggap
telah mengubah cara berpikir dan menandai zaman baru dalam sejarah kesadaran manusia,
yang tidak lagi menjelaskan segala sesuatu secara mitologis, melainkan secara
logis-rasional. Ia dan para filsuf awal lainnya telah mengambil langkah pertama
menuju penalaran ilmiah, dan bisa disebut telah menjadi pendahulu dari apa yang
sejak periode modern dinamakan sains
Persoalan Filosofis Utama
Barnes
Persoalan filosofis yang mereka kaji adalah tentang bahan dasar dan perubahan-perubahan yang terjadi di alam. Mereka mempertanyakan: dari mana asal alam raya? Bagaimana alam raya ini ada? Apa zat yang menjadi bahan dasarnya? Mereka mengamati dan menemukan perubahan-perubahan di alam raya, lalu mempertanyakan: bagaimana perubahan itu dapat terjadi? Bagaimana sesuatu dapat berubah dari zat menjadi suatu benda hidup? Apa yang menyebabkan terjadinya perubahan itu? Ketika sesuatu itu berubah, apakah semua unsurnya ikut berubah atau adakah unsur yang tetap dan tidak mengalami perubahan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa Thales –dan para filsuf alam– berusaha menjelaskan asal-usul dan prinsip-prinsip dasar alam semesta. Inilah proyek filsafat mereka, dan dalam proyek inilah pandangan-pandangan filosofis mereka harus ditempatkan. Singkatnya, Thales –dan para filsuf alam– berusaha menjelaskan asal-mula alam raya dan hukum-hukum yang mendasari perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.
Dalam upaya memahami persoalan filosofis
tersebut, Thales –dan para filsuf alam– percaya bahwa pasti ada suatu zat yang
menjadi “bahan dasar” alam raya. Pasti ada “sesuatu” yang darinya segala
sesuatu berasal, dan ketika segala sesuatu mengalami perubahan, “sesuatu” itu tetap
dan tidak berubah. Dalam tradisi filsafat pra-Sokrates, prinsip dasar yang menjadi
asal mula, dasar eksistensial, dan sekaligus penjelas perubahan itu disebut arkhē
(prinsip pertama; archē)
Poin yang penting digarisbawahi mengenai persoalan filosofis tersebut adalah bahwa Thales -dan para filsuf alam– mencoba memahaminya tanpa harus kembali pada mitos-mitos kuno atau kepercayaan umum pada waktu itu. Ia mencoba memahami proses yang sesungguhnya terjadi dan menjelaskannya secara logis-rasional. Cara berpikir yang ditempuh Thales ini jelas berbeda dengan cara berpikir yang menjelaskan petir dan perubahan musim secara mitologis dengan mengaitkannya dengan ulah para dewa. Ia tidak lagi menggunakan mitos, melainkan menggunakan rasionya (logos).
Pandangan Filosofis Thales
Ada tiga poin utama dari pandangan filosofis Thales yang dicatat oleh para sarjana.
Pertama, menurut Thales, prinsip dasar (arkhē) segala sesuatu adalah air (Aristotle, Metaphysics, 983b). Tidak dapat dipastikan apa maksud dari pandangan ini; apakah literal atau simbolik. Interpretasi para sarjana terhadap pandangannya ini sangat beragam. Namun demikian, hampir semuanya menafsirkan bahwa menurut Thales, segala sesuatu berasal dari air, bergantung pada air, dan dapat direduksi pada air.
Gardeer menduga pandangan itu didasarkan atas
pengamatan Thales setelah perjalanannya ke Mesir; bagaimana tanaman mulai
tumbuh di Delta Nil setelah banjir sungai Nil surut. Mungkin juga ia memikirkan
tentang bagaimana air menguap atau berubah menjadi es dan kemudian berubah lagi
menjadi air
Kedua, Thales berpendapat bahwa bumi berada di atas air. Ia mengira bumi sebagai sesuatu yang keluar dari laut dan sekarang terapung-apung di atasnya. Menurutnya, sebagaimana dicatat oleh Aristoteles, tidak ada benda yang dapat berada di udara dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, bumi pasti berada (mengapung) di atas air (Aristotle, On the Heavens, 294a28-34).
Ketiga,
Thales juga memiliki pandangan tentang jiwa. Menurutnya, segala sesuatu di alam
raya ini memiliki jiwa (Aristotle, On the Soul, 411a7-8). Ia menganggap
jiwa sebagai substansi yang menghasilkan gerak. Ia percaya bahwa magnet
memiliki jiwa karena mampu menggerakkan besi (Aristotle, On the Soul, 405a
19-21). Pandangan Thales tentang jiwa ini juga tidak begitu jelas. Menurut
Bertens
Refleksi
Kita akan kecewa bila berharap dapat menemukan
pandangan filsafat yang mendalam atau argumen filosofis yang radikal dan
sistematis dalam pemikiran Thales. Tidak banyak persoalan filosofis yang ia
uraikan. Namun demikian, jasa Thales bagi lahirnya cara pandang filosofis (yang
logis dan rasional) adalah nyata dan tidak terbantahkan. Ia menolak menjelaskan
realitas alam raya secara mitologis. Ia telah membuka pintu untuk diskusi
filosofis tentang prinsip pertama (arkhē). Ia-lah yang telah membuka
jalan bagi berkembangnya filsafat selama lebih dari dua milenia. Dari Thales
kita bisa mewarisi semangat berpikir rasional dan kritis, keberanian
intelektual, dan ketidak puasan terhadap cara berpikir yang mapan (anti
dogmatisme).☺
Aristotle. (2019). Clarendon Aristotle Series: Metaphysics:
Lambda. In L. Judson (Ed.), Clarendon Aristotle Series: Metaphysics: Lambda.
Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/actrade/9780198833109.book.1
Barnes, Jonathan. (1987). Early Greek Philosophy. Penguin
Books.
Bertens, Kees. (1975). Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius.
Craig, Edward. (1998). Routledge Encyclopedia of Philosophy
(Vol. 25, Issue 2). Routledge.
https://doi.org/10.22201/iifs.18704913e.1999.45.496
Gaarder, Jostein. (1996). Dunia Sophie Sebuah Novel Filsafat
(A. Rahmani, Trans.). Mizan.
Guthrie, William Keith Chambers (1975). A History of Greek
Philosophy. In A History of Greek Philosophy.
https://doi.org/10.1017/cbo9780511518423
Hatta, Mohammad. (1986). Alam Pikiran Yunani. UI-Press.
Jaspers, Karl. (2014). The Origin and Goal of History (Routledge
Revivals). In The Origin and Goal of History (Routledge Revivals).
https://doi.org/10.4324/9781315823683
Plato. (1997). Plato Complete Work (J. M. Cooper, Ed.).
Hackett Publishing Company.
Leave a Comment