| 0 Comments | 528 Views

Card Image

Sejarawan yang tidak memiliki "bias" ketika menulis sejarah, kata Bertrand Russel, tidak akan menghasilkan sesuatu yang menarik, andai kata orang semacam itu memang ada. Pandangan ini sangat masuk akal mengingat sejarah adalah kisah umat manusia yang tidak hanya diingat, akan tetapi juga ditemu-ciptakan. Proses penemu-ciptaan dengan sendirinya mengandung bias dan subyektivitas. Ragam persepsi serta definisi atas fakta sejarah (historical evidence) - bersama kepentingan pragmatis di balik penulisan sejarah - adalah di antara contoh yang baik dalam hal tersebut. Maka, sekalipun ada hegemoni bahkan monopoli dalam politik sejarah, sejatinya tidak ada yang absolut di dalamnya. Narasi sejarah tidak mutlak; sejarah yang dikonstruksi hari ini dapat segera berubah esok hari manakala ditemukan data sejarah yang baru. Tugas sejarawan adalah untuk melakukan pencarian abadi dengan menyusuri puing-puing dan jejak peradaban manusia untuk mengingat dan menemu-ciptakan masa lalu.  

Adalah Marshall Goodwin Simms Hodgson (1922-1968) (berikutnya disebut Hodgson), sejarawan kenamaan dari University of Chicago, yang menulis sejarah peradaban Islam dengan pencapaian yang melampaui wacana serupa pada masanya. Dalam wacana historiografi Islam, Ia barangkali lebih dikenang sebagai pencipta istilah Islamicate yang ia gunakan untuk merujuk kompleksitas sosial yang secara historis berasosiasi dengan Islam dan muslim (the social complex historically associated with Islam and the Muslims), melalui publikasinya yang berjudul The Venture of Islam (1974). Hingga saat ini, istilah tersebut telah menjadi kosakata yang dipakai secara luas dalam studi Islam di Barat secara umum. Di antara karya Hodgson, buku ini merupakan yang terpopuler dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk Bahasa Indonesia.   

The Venture of Islam terbit di saat orientalisme sedang menghadapi gelombang kritik poskolonial. Sebagaimana Orientalism-nya Edward Said yang terbit di tahun 1979, publikasi The Venture of Islam juga menandai sebuah titik terpenting dalam serangkaian kritik atas orientalisme dan, pada gilirannya, tendensi Eropa-sentris dalam studi Islam. Jika kita menganggap kontribusi Hodgson melalui The Venture of Islam hanya sebatas dalam wacana sejarah Islam, tentu saja itu sebuah simplifikasi. Nyatanya, karya itu sejatinya diproyeksikan untuk ranah yang lebih makro; tradisi penulisan "sejarah dunia" (world history). Ketika Akademia Barat hingga Abad ke-20 M didominasi oleh cara pandang "bipolar" atas dunia (Eropa vis a vis Non-Eropa) sebagai dampak dari tradisi keilmuan sosial (social sciences) di masa kolonial yang meniscayakan Eropa-sentrisme dan modernitas tunggal (one [western] modernity), maka pendekatan "sejarah dunia" yang berkembang di pertengahan Abad ke-20 M - dengan figur penting seperti William McNeill, kolega Hodgson di Chicago penulis The Rise of the West (1963)mencoba untuk memberikan alternatif kepada cara pandang tersebut, hal yang juga dilakukan oleh beberapa sarjana Marxis di masa itu yang menulis sejarah kapitalisme yang juga memproblematisir posisi Eropa dalam sejarah dunia, seperti Immanuel Wallerstein, Eric Wolf, bahkan Samir Amin.    

Hodgson, menawarkan beberapa gagasan yang berkaitan dengan telaah atas "sejarah dunia", di mana ia menempatkan sejarah peradaban Islam sebagai bagian integral di dalamnya. Maka, agenda Hodgson yang ia upayakan dalam wacana sejarah Islam, dapat diletakkan dalam konteks yang lebih besar, yakni upayanya untuk menempatkan sejarah Islam sebagai salah satu entri penting dalam "sejarah dunia". Karya penting Hodgson yang memuat hal ini adalah koleksi artikelnya yang dihimpun Edmund Burke III dalam Rethinking World History: Essays on Europe, Islam and World History (1993), sebuah karya yang - sebagaimana edisi lengkap The Venture of Islam (1974) - diterbitkan setelah penulisnya wafat di tahun 1968 (posthumous work). Hodgson bertolak dari fakta "terabaikannya" peran sejarah Islam yang sejatinya memiliki porsi yang besar dalam "sejarah dunia", terutama pengaruhnya terhadap wajah dunia di periode tertentu. Gagasan Islamicate, dengan demikian, dapat ditempatkan sebagai instrumen untuk mengurai hal tersebut, sebuah istilah untuk merujuk kepada segala sesuatu yang terkait dengan wilayah-wilayah di mana Islam menjadi dominan secara kultural, baik antar umat Muslim sendiri maupun dengan non-Mulism.  

Investigasi Hodgson atas pengaruh Islam terhadap wajah "sejarah dunia" membawa kepada kesimpulan menarik. Baginya, hingga abad ke-17 M, "masyarakat Islam (Islamicate society) yang diasosiasikan dengan wilayah-wilayah Islam, adalah masyarakat yang 'paling ekspansif' di belahan bumi Afro-Eurasia dan yang paling berpengaruh terhadap masyarakat lainnya". Hal ini diakrenakan norma-norma yang ditawarkan oleh budaya Islam yang sangat "canggih" untuk konteks internasional ketika itu di samping juga sangat selaras dengan alasan komersial. Jika ada seseorang dari Mars yang berkunjung ke bumi di Abad ke-16 M, ia akan beranggapan bahwa penduduk dunia hampir seuruhnya menjadi Muslim, diakrenakan alasan vitalitas kultural dan keuntungan politis yang strategis. Hal ini diartikulasikan lebih lanjut dalam artikel yang berjudul "The Role of Islam in World History" (1970) yang juga diterbitkan dalam Rethinking World History.

Hal ini kemudian secara implikatif mempertanyakan bahkan membantah "doktrin Abad Kejayaan Islam" yang secara konvensional diyakini berlangsung antara Abad ke-7 sd. 13 M dengan Pertempuran di Gaul (732 M) sebagai titik terjauh ekspansi Islam di daratan Eropa dan Baghdad, ibukota 'Abbasiyyah (750-1258 M) sebagai ikon kejayaan terakhir. Serangan Mongol ke Baghdad pada 1258 M biasanya dijadikan sebagai penanda kronologis dalam sejarah Islam (post-Mongol), di mana masa setelah Baghdad, Islam perlahan mengalami kemunduran. Secara intelektual, Islam bahkan diyakini telah mundur sejak Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M) menyerang "filsafat", fase post-Ghazali adalah awal masa kemunduran. Teori kemunduran ini juga dikenal dengan declinist narratives dalam sejarah Islam. Bagi Hodgson, hal tersebut adalah klise yang layak untuk dipertanyakan, mengingat dinamika dunia Islam pasca serangan Mongol ke Baghdad justru menyaksikan sebuah kemajuan peradaban yang bahkan melebihi apa yang dicapai di masa Baghad itu sendiri baik secara politis maupun intelektual.

Pada masa pasca serangan Mongol ke Baghdad, menurut Hodgson, dunia Islam masih menyaksikan sebuah kemajuan peradaban bahkan melampaui masa sebelumnya. Tidak hanya didukung oleh keunggulan politik Tiga Kerajaan Besar pasca Mongol (Turki Utsmani, Safawi, dan Mughal), vitalitas kultural umat Islam juga menjadi alasan utama bagi mekarnya peradaban Islam di belahan dunia Afro-Eurasia dari Maroko ke Sumatera, Swahili, hingga Kazan di Volga. 

Jika beberapa sarjana Barat mengatakan bahwa puncak kekuatan Muslim ditandai dengan Pertempuran Gaul pada tahun 732 M di mana pasukan Umayyah dipukul mundur oleh Bangsa Franka, Hodgson justru menolak gagasan itu dan menyebutnya sebagai "ilusi parokial". Dalam skala global, fase kejayaan Islam, bagi Hodgson, ada di Abad ke-16 M di bawah kekuasaan Tiga Kerajaan Besar tersebut:

"Bangsa Muslim mencapai puncak kekuatan politik mereka pada abad keenam belas, ketika sebagian besar wilayah Islam diperintah di bawah Tiga Kerajaan Besar dengan organisasi yang baik dan kemakmuran yang membangkitkan kekaguman bangsa-bangsa Barat: Turki Utsmani, berpusat di Anatolia dan Balkan; Safawi, di kawasan "Bulan Sabit yang Subur" (Mesopotamia, penj.) serta dataran tinggi Iran; dan Mughal atau Timuri, di India bagian utara".

Selanjutnya, pada akhir abad keenam belas, lanjut Hodgson, sebuah transformasi dasar mulai terjadi dalam kehidupan ekonomi dan ilmu pengetahuan di Barat yang menghasilkan supremasi tertinggi Kristen pada dua abad kemudian di seluruh dunia. Akan tetapi, hal yang ditekankan Hodgson adalah bahwa pencapaian kebudayaan Islam tidak berarti berhenti, ia terus berlanjut dengan cara yang terfragmentasi. Menurutnya; "penghambat penting pada kreativitas dalam keseluruhan tradisi (Islam) baru terjadi setelah tahun 1650 atau 1700 sebagai akibat dari persaingan dengan Barat yang baru saja bertransformasi".

Secara metodologis, salah satu pelampauan Hodgson dalam hal ini adalah re-konsepsi model kajian sejarah Islam yang tidak hanya membatasi ruang lingkupnya pada wilayah-wilayah Muslim Mediterania, lebih-lebih lingkungan Arab sebagai kecenderungan utama dalam kajian Barat, akan tetapi juga memperbesar cakupannya ke wilayah-wilayah di luar wilayah tersebut. Sebab bagi Hodgson, pusat-pusat Islam yang paling kreatif dalam semua periode, berasal dari Syria sampai lembah Oxus dan sebagian besar di wilayah non-Arab. "Di daerah-daerah inilah sebagian besar orang yang memiliki pengaruh Islam itu lahir". Hodgson juga menolak untuk menafsirkan Islam dalam isolasi lingkungan Arab-nya dan, pada saat yang sama, menempatkan sumber-sumber di luar Arab sebagai "pinjaman". Bahkan identifikasi populer Islam dengan bangsa Arab, menurutnya, telah menjadi sumber dari serangkaian kesalahpahaman yang meluas.

Dari Hodgson, kita paham bahwa narasi sejarah Islam "konvensional" yang dikonstruksi oleh kertas kerja orientalisme, masih merupakan historiografi yang terisolir bahkan termarjinalisir dari narasi besar "sejarah dunia". Cara pandang Eropa-sentris membatasi sejarah Islam pada kawasan yang bersentuhan langsung dengan Barat; Arab dan Mediterania. Eksperimentasi Hodgson yang mengarusutamakan sejarah Islam dalam "sejarah dunia" ternyata membawa kepada sebuah narasi yang tidak konvensional. "Abad Kejayaan Islam" versi lama saat ini memang telah mulai dipertanyakan, meskipun barangkali masih digunakan dalam beberapa kurikulum pendidikan sejarah, termasuk di Indonesia.

Beberapa riset yang terpantik oleh atau selaras dengan apa yang dilakukan Hodgson mulai bermunculan. Setidaknya, pola besar yang terjadi adalah de-sentralisasi Eropa dalam kajian sejarah itu sendiri. Gagasan Hodgson sendiri masih menjadi perbicangan hangat sampai satu dekade terakhir ini, sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisan dalam Islam and World History: The Venture of Marshall Hodgson yang diedit oleg Edmund Burke III (2018). Karya Hodgson merupakan salah satu referensi penting dalam kajian kritis atas orientalisme dan Eropa-sentrisme, khususnya dalam studi Islam, sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisan yang terhimpun dalam Rethinking Islamic Studies: From Orientalism to Cosmopolitanism yang diedit oleh Richard Martin dan Carl W. Ernst (2010).

Saat ini, studi Islam telah memasuki fase yang berbeda setelah Hodgson dan tentunya tokoh-tokoh serupa membuka kran poskolonialitas yang mendemistifikasi sentralitas Eropa. Linda T. Darling, misalnya, tidak hanya menyebut Eropa sebagai satu-satunya lokasi pencerahan pemikiran/renaisans di Abad 14-15 M, akan tetapi di saat yang sama, bahkan sebelumnya, sebuah pencerahan juga terjadi di belahan bumi lain, seperti di Timur-Tengah dan Asia-Tengah di masa Buwaihi (Buyid Renaissane) dan Timuriyyah (Timurid Renaissance). Di Indonesia, Muhammad Abdul Karim, guru besar Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga, kerap menyuarakan Post-Baghdad Islamic Golden Age untuk menyebut pencapaian saintifik Bangsa Mongol-Islam (Ilkhan, Caghatai, Golden Horde, Timuriyyah) yang termarjinalkan dalam sejarah Islam konvensional. 

Pada akhirnya, Recep Senturk, dalam artikelnya yang berjudul "The Decline of the Decline Paradigm" (2015) telah menunjukkan bagaimana Hodgson menjadi pionir dalam serangkaian kritik atas narasi declinist dalam sejarah Islam. Jika orientalisme lama menulis abad ke-13 M sebagai awal kemerosotan Islam secara politis dan kemunduran intelektual di masa post-Ghazali, maka Hodsgon adalah sejarawan pertama yang secara serius mengkritisi dan membantah adanya kemunduran di masa setelahnya sampai Abad ke-17 M. Tidak hanya sampai di sana, agenda Hodgson dilanjutkan sejarawan generasi selanjutnya yang berdasarkan temuan data sejarah yang baru, semakin "menunda" narasi kemunduran Islam; Kholed el-Rouayheb, penulis Islamic Intellectual History in the Seventeenth Century (2015) membantah declinist narrative di Abad ke-17 M, Ahmad Dallal, penulis Islam without Europe: Traditions of Reform in Eighteenth Century Islamic Thought (2018), menulis Abad ke-18 M sebagai masa kreatif dalam kancah intelektualisme Islam, dan Peter Adamson, bahkan menyebut Abad ke-19 M hingga keruntuhan Turki Utsmani sebagai masa yang subur untuk sebuah kehidupan intelektualisme Islam, jauh dari keadaan yang "mundur"! Untuk secara rigid menempatkan beberapa sarjana ini dalam satu kluster gagasan memang sebuah simplifikasi dan perlu detailisasi lebih lanjut, seperti klarifikasi atas pengertian operasional dari istilah decline/declinist itu sendiri bagi masing-masing, dan seterusnya. Setidaknya, ia menunjukkan bagaimana Hodgson menjadi pembuka kran kritisisme atas sejarah Islam yang ditemu-ciptakan oleh orientalis sebelumnya.   

Sebagaimana paragraf pembuka tulisan ini, subyektivitas historiografi adalah niscaya, manakala sejarah akan dituliskan seturut dengan bukti-bukt yang telah dan akan ditemukan untuk kemudian diinterpretasi dengan jalan yang juga bisa berbeda. Benar kata Russel; Sejarah yang menarik hanya terlahir dari mereka yang "bias" ketika menuliskannya (baca: menemu-ciptakannya)! 

Arvita-Bunda, Kandangan, Juni 2022


Leave a Comment