| 0 Comments | 200 Views

Card Image

Sumber: tanwir.id

Tulisan ini sebelumnya dimuat dalam Majalah Ulul Albab Edisi I Tahun 2013

Tafsir Al-Qur’an dan Sebuah Logika Realitas 

Segala sesuatu yang menghampar di dunia terlahir, berkembang, usang dan setelah itu akan mati. Lantas, adakah sesuatu yang senantiasa mempertahankan eksistensinya melintasi ruang dan waktu? bahkan ketika semuanya berganti atas nama dinamika realitas, ia merupakan satu-satunya yang tetap bertahan? Setidaknya, kita bisa mengatakan bahwa sesuatu akan senantiasa mempertahankan eksistensinya dalam jejaring realitas manakala ia menjadi suatu kebutuhan dasar realitas  itu sendiri atau sarana untuk mencapai kebutuhan tersebut. Dengan demikian, realitas, dengan segala kemajemukannya adalah salah satu dasar yang tidak bisa diabaikan, ia adalah yang pertama, kedua dan terakhir.      

Hal yang sama juga berlaku pada al-Qur’an. Adagium shalih likullli zaman wa al-makan sejatinya memuat pesan sebagaimana tersebut atas. Bahwa ia akan senantiasa valid (shalih) selama ia menjadi bagian dari realitas dan berperan penting dalam memenuhi kebutuhannya dengan memperhatikan beberapa hal mendasar; kapan, di mana dan kondisi seperti apa yang melingkupinya. Dalam tradisi Islam, aktivitas penafsiran al-Qur’an adalah kata kunci utama untuk tetap menjaga peran al-Qur’an dalam konstelasi kehidupan manusia.  Barangkali, atas dasar seperti inilah Hasan Hanafi yang dikenal sebagai pengusung hermeneutika realis, mendeskripsikan tafsir sebagai ilmu yang bukan sekedar teori interpretasi teks, melainkan sebagai ilmu yang menerangkan wahyu Tuhan dari tingkat kata ke dunia, menerangkan bagaimana proses wahyu dari huruf ke realitas, atau dari logos ke praktis, dan selanjutnya transformasi wahyu dari pikiran Tuhan menjadi kehidupan nyata . Dengan demikian, pertanyaan yang menjadi bengkalai abadi umat Islam adalah bagaimana menyajikan tafsir al-Qur’an yang senantiasa menjaga ashalah (dasar/wahyu) tanpa mengesampingkan hadatsah (realitas kekinian)? Bagaimana menyajikan tafsir yang “melek” realitas ?

Tafsir Al-Qur’an Sebagai Sebuah On-going Process

Dalam gerak sejarahnya, tradisi penafsiran al-Qur’an telah mengalami berbagai dinamika. Beberapa leksikon historis dalam tradisi penafsiran al-Qur’an, menunjukan posisi al-Qur’an sebagai magna carta-nya masyarakat Islam dan menjadikan tradisi penafsiran al-Qur’an sebagai suatu proses yang senantiasa berkelanjutan (on-going process) dengan segala kompleksitasnya. Dinamika tafsir semenjak era reformatif yang secara stilistik diawali dengan orientasi gramatikal, kemudian disusul dengan era affirmatif yang didominasi oleh orientasi tafsir yang cenderung dikotomis, sampai munculnya Muhammad Abduh yang dengan lantang berteriak “al-Islam mahjub bi al-Muslimin” dan menggagas reformasi dalam dunia tafsir, menunjukan serangkaian aktivitas yang senantiasa meniscayakan pembaharuan untuk menjaga dialektika wahyu dan realitas.

Geliat tafsir modern  sendiri, salah satunya dipelopori oleh  Muhammad Abduh, sebagai salah satu protagonis dalam kebangkitan dunia Islam pada pertengahan abad 19. Dengan perombakan orientasi tafsir dari orientasi sektarianisme menjadi orientasi al-Qur’an sebagai kitab hidayah (ittijah al-hida’iy) dan introduksi pola Adaby-Ijtima’i, Abduh telah membuat semacam pergeseran paradigma (paradigm shift) dalam dunia tafsir al-Qur’an. Melanjutkan reformasi Abduh, Amin al-Khuli dengan gagasan tafsir bayani-nya, telah menyumbangkan pedoman pembaharuan tafsir al-Qur’an di pertengahan abad ke-20 dalam karyanya Manahij al-Tajdid.  

Demikian dan seterusnya, sampai saat ini, pembaharuan dalam tradisi tafsir al-Qur’an terus dilakukan. Nama-nama seperti Al-Farmawy, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Abid al-Jabiri, Muhammad Syahrur, dan lain sebagainya, merupakan sekian diantara para pemikir islam yang menaruh atensi yang besar dalam menjawab pertanyaan yang menjadi bengkalai abadi umat Islam sebagaimana tersebut di atas. Dalam bahasa Foucoult, tafsir sendiri dapat dideskripsikan sebagai sebuah tugas memberi makna yang ditinjau dari definisi-nya, takkan pernah terselesaikan.      

Think Globally Act Locally; Belajar Kepada Abu Zayd dan Hassan Hanafi

‘Ala kulli hal, sekarang dan selanjutnya, pembaharuan dalam tradisi penafsiran al-Qur’an harus tetap berjalan. Dengan mengadopsi teori Abu Zayd  tentang relasi teks dan peradaban (al-nassh wa al-tsaqafah), di sini akan diuraikan suatu pakem dalam acuan pembaharuan tafsir. Menurut Abu Zayd, pada kuiditas dan substansinya, teks al-Qur’an adalah suatu produk budaya (muntaj tsaqafy). Hal ini terbentuk melalui dua fase. Fase pertama adalah Tasyakkul (strukturasi), di mana al-Qur’an menstrukturkan dirinya untuk menjadi bagian dari realitas selama kurang lebih 22 tahun. Fase selanjutnya, adalah fase Takawwun atau Tasykil, di mana al-Qur’an membangun suatu struktur baru yang lebih sempurna, fase di mana setelahnya al-Qur’an memproduksi suatu peradaban  . 

Formula Abu Zayd di atas sejatinya bisa dijadikan acuan dalam setiap upaya pembaharuan. Seorang penafsir misalnya, pertama-tama harus melewati fase tasyakkul, ia mencoba memahami struktur audiens sekitarnya, baik dari aspek sosio-kultural, ekonomi, dsb. dan berusaha menjadi bagian dari struktur besar tersebut. Dalam hal ini terlihat jelas pentingnya integrasi dan interkoneksi keilmuan dalam aktifitas penafsiran al-Qur’an. Hal yang juga perlu diperhatikan, bahwa dalam membaca struktur tersebut seorang penafsir tidak cukup hanya menjadi seorang analis belakang layar saja yang meracik tafsir dengan komposisi intelektualnya. Secara filosofis, hal ini dimaksudkan agar ia terhindar dari konklusi yang terjebak dalam entitas rasio (entia rationis) belaka, padahal yang diperlukan di sini adalah konklusi dalam entitas realita (entia realia). 

Selain itu, hal tersebut juga akan menghindari pemaksaan atau “main comot” ideologi tertentu. Hanya karena alasan trend atau euphoria, tanpa melawati fase tasyakkul, seorang penafsir dengan semena-mena memaksakan gagasannya dengan membajak kata “kontekstual” atau “sesuai dengan sunnah Nabi” sehingga akhirnya menghasilkan pembaharuan yang cenderung elitis dan kontra-produktif. Hanya sekedar memberi illlustrasi kecil; ketika seseorang berbicara tentang kesunnahan buang air kecil sambil duduk, karena trend arabisasi, di berdalih : “itu karena orang arab sehari-harinya pake jubah panjang, nggak pernah pake celana pendek !”, pada saat yang sama ketika membincang penciptaan hawa dari tulang rusuk Adam, karena euphoria feminisme, dengan lantang ia bicara: “itu tafsir bias gender !”. Sama halnya dengan orang yang menolak hermeneutika “hanya” karena alasan itu dari barat dan pada saat yang sama membid’ahkan maulid Nabi “hanya” karena itu merupakan fatwa Syekh Al-Albany.     

Setelah fase tasyakkul (strukturasi), selanjutnya seorang penafsir memasuki fase tasykil; tahap praksis di mana ia memproduksi struktur baru dengan tafsirnya. Fase pertama bisa dibilang tahap bermetodologi-ria dan memapankan logos-nya, namun pada fase ini, si penafsir memasuki wilayah praksis dengan memproduksi suatu struktur baru yang lebih baik (al-jadid al-ashlah) atau setidaknya mempertahankan struktur lama yang baik (al-qadim al-shalih). Dalam kategoriasi Hassan Hanafi, pada fase inilah, seorang mufassir disebut sebagai reformis (mushlih). Menurut Hassan Hanafi, ada tiga tingkatan penafsir : penceramah (khatib), komentator (syarih), dan reformer (mushlih). 

Secara sederhana, formulasi di atas dapat diringkaskan dalam suatu jargon kaum environmentalis, “berpikir secara global, bertindak secara lokal” (Think Globally, Act Locally). Berfikir global berarti tidak parsial, bertindak lokal berarti melek realitas sekitar. Salah satu pola elementer berfikir global adalah tidak berwacana secara sepihak. Di samping terkagum membaca pemikiran seorang tokoh misalnya, seseorang juga harus melihat para kritikus-nya, tidak hanya terpikat oleh sang tokoh dan supporter-nya. Selanjutnya tindakan/aksi lokalistik diperlukan terutama ketika fase tasykil. Kenapa lokalistik?, alasannya adalah karakter realitas yang majemuk (multiple reality). Ia merupakan suatu jejaring yang terdiri dari lokal-lokal yang berbeda, baik dalam aspek tempat, waktu maupun audiens. Selanjutnya, apakah yang menjadi representasi dalam reformasi tafsir?        

Evaluasi Sekitar Pembaharuan

Ketika membincang sejarah dinamika tafsir al-Qur’an, biasanya periode pertengahan menjadi bulan-bulanan sebagian akademisi; masa ini stagnan, meskipun banyak produk dan materi tapi tidak inovatif karena miskin metodologi. Sebagian lagi membantah; jika masa pertengahan kaya produk dan miskin metodologi, bukankah masa sekarang ini juga stagnan, kaya metodologi tapi miskin produk? Kelompok ini berdalih; bukankah ideal moral, maghza, maqashid, yang pada hakikatnya memiliki makna yang sama sebenarnya mewarisi pola bil-ma’tsur dalam tradisi kitab tafsir yang dianggap stagnan itu ?, bukankah terlalu sering kita bicara reformasi dan kontekstualisasi? Di saat terorisme sedang meradang di dunia Islam, apakah sumbangsih tafsir al-Qur’an dengan reformasinya?, kilah kelompok ini. Yang lainnya menjawab; tidak usah menuntut terlalu banyak dan membebani al-Qur’an dengan pertanyaan semacam itu !. Di kalangan akademisi kita pun dikenal adanya dikotomi antara kyai metodologi dan kyai materi. Lantas, apakah sebenarnya yang bisa dijadikan representasi dalam reformasi tafsir, produk, metodologi, atau selain keduanya ?. 

Untuk jawaban, kesetujuan dan sanggahan terserah anda yang menentukan. Namun setidaknya kita semua setuju dalam hal menempatkan al-Qur’an sebagai kitab suci yang shalih likulli zaman wa al-makan, dalam arti tetap menjadikan al-Qur’an sebagai bagian dari kebutuhan realitas dengan segala kemajemukannya. Sudah saatnya, seluruh kaum muslimin memberikan kontribusinya dalam mewujudkan al-Qur’an sebagai kitab yang shalih likulli zaman wa al-makan.  

Sebagai penutup tulisan, marilah sejenak kita renungkan pepatah Syekh Nawawi al-Bantany, dalam mukadimah tafsir-nya, Marah Labid; “ Tidak ada yang lebih dari apa yang saya kerjakan, namun di setia masa, pembaharuan harus tetap dilanjutkan “, (Laysa ‘ala fi’ly mazid, wa li kulli zaman Tajdid). Pepatah tersebut, memuat phronesis, bahwa tidak ada sesuatu yang terbaik, tanpa kehilangan keyakinan bahwa sesuatu mesti jadi lebih baik. Begitu juga dengan seorang penafsir reformis yang tidak berhenti dalam titik “superlatif” dengan senantiasa melanjutkan pembaharuan seiring dengan terbaharunya realitas. Bukankah karakter utama seorang reformis adalah mengetahui tanda-tanda zamannya ?          

 


Leave a Comment