| 0 Comments | 233 Views
Tulisan ini sebelumnya dimuat di www.qureta.com pada 2016.
Yang Mereka Sembah Bukanlah Tuhan Yang Sesungguhnya.
Demikianlah Mulla Sadra (w. 1635), seorang filosof Muslim terkenal, berujar dalam salah satu karyanya, Tafsir Ayat al-Kursy. Kepada siapa seruan itu dialamatkan? apa yang menyebabkan sang filosof berujar demikian?
Ketika itu, filosof kita baru saja menyelesaikan kehidupan asketik di Kahak dengan menjalani latihan spiritual yang berat. Setelah tersingkap kepadanya semesta realitas dan hakikat segala yang ada, ia kembali kepada hiruk pikuk kehidupan publik serta melihat dunia dengan cara pandang berbeda. Di tangannya, sebuah mazhab filsafat tercipta, aliran “teosofi transenden” (al-hikmah al-muta’aliyah) yang meramu 4 corak epistemologis; paripatetik, illuminasionis, kalam, dan gnostik (‘irfan).
Sistem filsafat ini bercorak eksistensialis yang berpusat sepenuhnya kepada “wujud” sebagai pangkal segala persoalan. Ia mengenal pembedaan antara wujud sebagai konsep mental (mafhum) dan wujud sebagai realitas eksternal (haqiqah) yang tidak bisa masuk ke dalam pikiran. Secara sederhana, Sadra membedakan “ada” dan “pengada”. “Ada” yang hakiki hanya bisa dirasakan lewat visi spiritual dan tak terdefinisikan.
Ia hanya bisa diraih lewat pengetahuan presentasional (hudhuri). Segala hal yang masih didefinisikan adalah “pengada”, karena ia merupakan konsep mental yang menjelaskan “ada” dan bisa dijangkau oleh pengetahuan representasional (hushuli). Layaknya warna yang hanya bisa diketahui dengan melihatnya secara langsung, segala rumus konseptual tentangnya akan sia-sia di depan orang yang belum menyaksikan. Rumus ini melandasi seluruh bangunan pemikiran Sadra, termasuk persepsinya tentang Tuhan.
Segera setelah mengekspresikan “temuannya”, berbagai pertentangan dari tokoh eksoteris datang menghujani Sadra, sampai ia harus berulang kali menunda publikasi beberapa karya, termasuk Tafsir Ayat al-Kursi dan al-Hikmah al-Muta’aliyah. Masyarakat Dinasti Safawi ketika itu, menyaksikan sebuah perselisihan sengit antara kaum esoteris (filosof, teosof, mistikus) dan kelompok eksoteris (ahli fikih, kaum literalis / akhbariyyun).
Dalam konteks polemis tersebut, akhirnya filosof kita memutuskan untuk menulis Tafsir Ayat al-Kursi pada tahun 1613 M. Ketika Sadra dihadapkan dengan “bengkalai abadi” terkait misteri sosok di balik kata “Allah” (lafz al-jalalah), ia mengatakan:
“ketahuilah, yang mereka sembah bukanlah Tuhan yang sesungguhnya, melainkan iktikad yang mereka ciptakan sendiri tentang sosok yang wajib disembah!”.
Dua kacamata harus digunakan dalam membaca pernyataan di atas.
Pertama, secara filosofis, sesuatu yang disembah oleh mayoritas orang, bagi Sadra, bukanlah realitas Tuhan yang sebenarnya, melainkan konsep mental yang dibuat oleh mereka sendiri untuk mendefinisikan siapa itu Tuhan. Dalam konteks keberagamaan saat ini, konsep mental tersebut bisa berupa doktrin yang menjadi kanon bagi sebuah agama atau beberapa sekte dalam sebuah agama.
Sadra memperlihatkan bagaimana nama “Allah” menjadi rebutan para ahli bahasa dan para teolog yang hendak mengidentifikasi Tuhan mereka dengan sebuah nama. Pada akhirnya, ia menegaskan posisinya; bahwa memberikan sebuah nama khusus kepada sebuah "esensi Yang Maha Esa" (al-dzat al-ahadiyyah) dan kepada sebuah "hakikat yang gaib" (al-huwwiyyah al-ghaibiyyah), adalah sesuatu yang sama sekali “tak terdeskripsikan”. Menarik Tuhan ke dalam definisi dengan sendirinya membatasi yang tak terbatas dalam jejaring genus (jins) dan differentia (fasl). Bagi Sadra, Tuhan yang dirasakan melampaui Tuhan yang masih didefinisikan.
Kedua, Alasan sosiologis Sadra ketika itu adalah terkait dengan polemik antara kaum eksoteris dan esoteris yang semakin meradang. Adalah sebuah ironi tentunya, ketika agama justru menjadi sumber konflik, ketimbang sumber etik. Bagi Sadra, polemik antar kelompok keagamaan adalah contradiction in term, mengingat Tuhan adalah kasih sayang itu sendiri. Buatnya, esensi ketuhanan (uluhiyyah) adalah pancaran wujud yang berbarengan dengan limpahan kasih sayang bagi selain-Nya (ifadlah al-wujud wa al-rahmah).
Jika argumentasi filosofis masih terlalu melangit, setidaknya alasan kedua bisa diamini oleh seluruh penduduk bumi. Sadra mengajak kita untuk mengunjungi kembali hakikat keberagamaan. Jika dengan beragama orang masih gemar berselisih dan berperang, ketahuilah bahwa ia masih belum menemukan Tuhan yang sesungguhnya. Hal tersebut tidak lebih dari sekedar berhala “batin” yang dicipta dan disembah secara fanatik dan egois.
Sadra seolah mengajak kita untuk menundukkan kepala dan merenung; apakah selama ini kita “menyembah Tuhan” atau justru “menyembah hal lain yang ternyata di-tuhankan?”. Andai filosof kita tahu, tentu ia akan tersenyum puas, bahwa mayoritas kita ternyata menganut over-panteisme; Tuhan telah ber-tajalli dalam segala hal, termasuk dalam harta dan tahta!
Leave a Comment