| 0 Comments | 37 Views
Representasi tafsir Muhammadiyah saat ini adalah Tafsir at-Tanwir. Namun Tafsir at-Tanwir jelas bukanlah usaha pertama Muhammadiyah dalam penulisan tafsir. Menurut penelusuran Aulia (2014), tradisi tafsir Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi tiga periode. Periode pertama dimulai masa KH. Ahmad Dahlan hingga tahun 1960-an. Meskipun tidak menuliskan secara langsung, pelajaran tafsir dari Kiyai Dahlan tertuang di dalam Pelajaran K.H. Ahmad Dahlan; 7 Falsafah ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Quran yang dikompilasikan oleh K.R. H. Hadjid, murid termuda beliau.
Ajaran di dalam buku tersebut, bersamaan dengan cara beliau “menafsirkan” al-Maun menjadi pondasi kokoh etos tafsir Muhammadiyah. Etos yang tampak adalah bahwa tafsir Muhammadiyah itu berorientasi amal sosial dengan pondasi tauhid yang kokoh. Al-Qur’an dimaknai dengan menyarikan pesan-pesan kemanusiaan berbasis tauhidnya, lalu dielaborasi sedemikian rupa hingga ia bisa menjadi panduan amal sosial yang nyata.
Tafsir berikutnya yang muncul dalam periode ini adalah Tafsir al-Quer’an: Djoez ke Satoe yang ditulis oleh Ladjnah Tafsir. Anggota lanjnah ini adalah ulama-ulama besar Muhammdiyah pada masanya, yakni K.R. H. Hadjid, K.H. M. Mansoer, K.H. A. Badawi, K.H. Hadikoesoemo, K.H. Farid, H. Aslam. Dari nama-nama ini, jelas bahwa tafsir ini adalah buar karya kolektif ulama-ulama yang tumbuh dalam bimbingan Kiyai Dahlan, baik langsung mapun tidak. Tampaknya tafsir ini tidak sempat diselesaikan. Meski ditulis mengikuti urutan mushaf Utsman, tapi tafsir ini tetap membagi ayat-ayat Qur’an sesuai tema-tema kandungannya.
Salah satu hal penting yang perlu dicatat tentang tafsir ini adalah perhatiannya pada tradisi. Dalam mukadimahnya, Kiyai Hadjid memberikan daftar 20 kitab tafsir dan 22 lebih kitab berbagai disiplin ilmu lainnya sebagai pedoman dan rujukan. Di antara kitab-kitab itu adalah tafsir-tafsir dari masa awal yakni at-Thabari, masa klasik seperti al-Baidhawi, dan masa moderen yakni al-Manar. Selain itu dapat kita temui tafsir bercorak sufi, fikih, kalam, kebahsaan, bahkan tafsir ilmi.
Tafsir besutan Lajnah Tafsir tersebut juga berpedoman kepada tiga rujukan penting tradisi madrasah pra-moderen yakni al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari, Anwaru at-Tanzil karya al-Baidhawi, dan al-Jalalayni karya Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli. Ini menunjukan bahwa sejak awal, para mufasir Muhammdiyah tidak pernah berpaling dari tradisi, juga tidak membatasi rujukan pada satu masa saja, atau satu corak saja. Inilah satu lagi etos penting dalam manhaj tafsir Muhammadiyah, yakni ia adalah bagian dari tradisi. Ia merujuk kepada dan senantiasa mengkontekstualkan pesan-pesan Qur’an yang berhasil digali oleh para imam mufasir pendahulunya.
Walid Saleh, guru besar tafsir dari Universitas Toronto, mengamati bahwa tafsir al-Kasyaf dan Anwar at-Tanzil adalah puncak dari tradisi tafsir pra-moderen. Sejarawan tafsir yang lain, Syaikh al-Fadhil ibn Asyur, juga meletakan Anwar at-Tanzil sebagai titik kulminasi dan simbol pencapaian terbaik dari tradisi tafsir di kalangan Sunni. Sedangkan sebelumnya, Ibnu Taimiyyah diikuti oleh Hussein Al-Dzahabi mengunggulkan tafsir al-Thabari yang metodenya diikuti dengan lebih ketat oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Memang masing-masing sarjana memiliki penilaian berbeda tentang puncak dari tradisi tafsir pra-moderen, tapi terlepas dari itu, ulama-ulama Muhamamdiyah secara kreatif menjadikan kesemua tafsir-tafsir agung itu sebagai rujukannya. Dalam manhaj ini, tradisi dipandang secara lebih menyeluruh, dan ulama pendahulu lebih dipercaya sebagai otoritas rujukan ketimbang hanya pembuat-buat makna yang inkoheren dan arbiter.
Pada masa berikutnya, terbit beberapa tafsir yang ditulis secara individual oleh ulama-ulama Muhammadiyah. Tentu yang cukup masyhur adalah Tafsir Al-Azhar karya HAMKA. Selain itu ada pula Tafsir Al-Bayan karya Prof. Dr. T.M Hasbi Ash-shiddiq. Kedua tafsir ini mengurai al-Qur’an secara lengkap, 30 juz. Salah satu sumbangan intelektual yang cukup unik dari mufasir Muhammadiyah adalah Tafsir Sinar karya H. Abdul Malik Ahmad. Tafsir ini ditulis berdasarkan tertib turunnya ayat. Pilihan metode ini dilakukan agar pembacanya lebih bisa mendalami proses penanaman pesan al-Qur’an dan perjuangan Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya (Aulia, 2014). Tafisr al-Hidayah karya Prof. Sa’ad Abdul Wahid juga menunjukan keunikan dalam penyajiannya. Tafsir ini meskipun menyangkut seluruh al-Qur’an, tapi dibagi menjadi topik-topik besar seperti hukum dan akidah.
Fakta historis Ini menujukan bahwa meskipun konon ulama Muhammadiyah itu sedikit, tapi yang sedikit itu telah memberikan sumbangsih intelektual dengan jangkauan yang luar biasa. Termasuk dalam bidang tafsir. Meskipun berupa karya-karya individual, tafsir-tafsir ini menujukan etos tafsir Muhammadiyah yang lain, yakni adanya kesadaran historis yang kuat sehingga mereka mampu untuk terus menerjemahkan pesan-pesan al-Qur’an dalam bahasa, diksi, dan pilihan isu yang khas Indonesia.
Sebelum munculnya Tafsir at-Tanwir, Muhammadiyah menerbitkan Tafsir Tematik al-Quran tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama. Tafsir ini secara spesifik berbicara tentang persoalan pluralitas agama. Namun sebagian ulama Muhammadiyah menilai bahwa pendekatannya masih merancukan antara pengakuan pada realitas sosial keragaman agama dengan pengakuan pada klaim kebenaran metafisik serta keselamatan ukhrawi agama lain (salvific pluralism). Akibatnya, dalam Munas Tarjih V pada Juli 2000, muncul aspirasi untuk menarik tafsir ini atau mengoreksinya (Aulia, 2014).
Sampailah kita pada Tafsir at-Tanwir. Tafsir yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2016 ini dapat disebut sebagai kulminasi dari etos-etos tafsir Muhammadiyah tadi, baik dari segi semangat maupun metodologinya. Bahkan secara eksplisit dikatakan bahwa tafsir ini menggali ajaran al-Qur’an untuk mendorong etos ibadah, ekonomi, solidaritas sosial, dan keilmuan.
Secara metodologis pun, tafsir ini merupakan kulminasi dari usaha-usaha sebelumnya. Tafsir ini diproyeksikan akan mencakup 30 juz mengikuti urutan mushaf. Namun demikian, ia tetap memperhatikan aspek tematik ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Pada aspek yang lebih fundamental, tafsir ini tentu sangat peka terhadap perubahan sejarah dan kaitannya dengan kontektualisasi pesan-pesan al-Qur’an. Namun seperti tradis tafsir Muhammadiyah pada umumnya, eksplorasi makna tetap diikat oleh kajian semantik sehingga tidak arbiter dan subjektif (Aulia, 2014).
Dari penjelasan sebelumnya, tampak bahwa Muhammadiyah sebenarnya memiliki tradisi tafsir yang dapat dilacak hingga periode Kiyai Dahlan. Secara metodologi, etos tafsir Muhammadiyah bisa dikatakan mengakar pada tradisi tapi tetap memperhatikan kondisi sosial untuk menggali pemaknaan yang lebih relevan yang tidak arbiter dan subjektif, tapi berakar pada kajian pada makna kebahasaan yang inheren pada kosa kata al-Qur’an. Tafsir Muhammadiyah tidak terlalu fokus pada upaya-upaya spekulatif, tapi berorientasi pada amal dan pelayanan sosial. Kiranya, pendekatan seperti ini akan lebih produktif dan solutif.
NOTE: tulisan ini pernah dimuat di Majallah Tablig – dimuat ulang untuk kepentingan edukasi dan karena belum ada stok artikel.
Leave a Comment