| 0 Comments | 392 Views
Penulis: Illan Pappe*
Artikel ini membuka tabir di balik pengusiran sistematis lebih dari
750.000 penduduk asli Palestina dari wilayah yang kini menjadi negara Israel
pada tahun 1948. Artikel ini merinci konteks dan dinamika politik dan
diplomatik pada periode tersebut, dengan fokus pada proyek “Berkas Desa/Village
file”.
Proyek multi-tahun ini (1940–47) melibatkan penyusunan sistematis peta
dan intelijen untuk setiap desa Arab di wilayah tersebut, yang dijalankan oleh
“kaukus” internal di bawah arahan kurang dari sepuluh orang pimpinan David
Ben-Gurion. Ini adalah bagian dari serangkaian rencana militer yang puncaknya
adalah Rencana Dalet, pedoman Zionis untuk aksi 1948.
Di akhir artikel ini, saya akan mengajukan argumen utama saya: kita
perlu merangkul ethnic cleansing (pembersihan etnis) sebagai
paradigma baru dalam memahami peristiwa 1948, menggantikan paradigma ‘perang’
yang selama ini menjadi dasar penelitian dan debat publik tentang peristiwa
tersebut.
Pada Rabu sore yang dingin, 10 Maret 1948, sebelas pemimpin Zionis veteran
dan seorang perwira militer Yahudi muda, menyelesaikan rencana untuk
pembersihan etnis Palestina. Pada malam yang sama, perintah militer dikirimkan
ke unit-unit lapangan untuk mempersiapkan pengusiran sistematis warga Palestina
dari sebagian besar wilayah negara tersebut. Instruksi tersebut meliputi metode
rinci untuk pengusiran paksa: intimidasi massal, pengepungan dan pengeboman
desa-desa dan pusat penduduk, pembakaran rumah dan properti, pengusiran
penduduk, perusakan rumah, dan penanaman ranjau di reruntuhan untuk mencegah
pengungsi kembali. Setiap unit diberikan daftar desa-desa dan lingkungan yang
ditargetkan sesuai dengan rencana utama.
Rencana ini, yang diberi kode nama Rencana D (Dalet dalam bahasa
Ibrani), adalah versi keempat dan terakhir dari serangkaian rencana yang
sebelumnya lebih samar mengenai nasib penduduk asli Palestina. Tiga rencana
sebelumnya hanya secara samar-samar menjelaskan bagaimana kepemimpinan Zionis
berencana untuk menghadapi masalah keberadaan penduduk Palestina di tanah yang
mereka incar. Rencana keempat dan terakhir ini menegaskan dengan jelas dan
tanpa keraguan: penduduk asli Palestina harus dihilangkan.
Rencana ini, yang mencakup baik pedesaan maupun perkotaan Palestina,
adalah konsekuensi logis dari ambisi ideologis Zionisme untuk menciptakan
negara eksklusif Yahudi di tanah Palestina. Rencana tersebut juga merupakan
respons Zionis terhadap perkembangan di lapangan setelah keputusan Inggris pada
Februari 1947 untuk mengakhiri Mandatnya atas Palestina dan menyerahkan masalah
tersebut ke PBB. Bentrokan dengan milisi Palestina setempat, terutama setelah
resolusi pemisahan PBB pada November 1947, memberikan pembenaran yang sempurna
untuk melaksanakan visi ideologis membersihkan Palestina dari etnis non-Yahudi.
Setelah rencana tersebut diselesaikan, dibutuhkan enam bulan untuk
mengimplementasikannya. Ketika semuanya berakhir, lebih dari setengah populasi
asli Palestina, lebih dari 750.000 orang, telah terusir, 531 desa telah hancur,
dan 11 area urban telah dikosongkan penduduknya. Rencana yang diputuskan pada
10 Maret 1948, dan terutama pelaksanaannya secara sistematis dalam bulan-bulan
berikutnya, adalah contoh jelas dari operasi pembersihan etnis menurut kriteria
yang sekarang dikenal.
Memahami Ethnic Cleansing
Pembersihan etnis sekarang ditetapkan oleh hukum internasional sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan dan para pelakunya akan diadili. Pengadilan
internasional khusus telah dibentuk di Den Haag untuk mengadili mereka yang
dituduh melakukan pembersihan etnis di wilayah bekas Yugoslavia. Pengadilan
serupa dibentuk di Arusha, Tanzania, untuk menangani kasus Rwanda. Fenomena
pembersihan etnis telah lama ada, dan telah dilakukan sejak zaman Alkitab
hingga zaman modern, termasuk pada masa puncak kolonialisme dan pada Perang Dunia
II oleh Nazi dan sekutunya. Namun, peristiwa di negara-negara bekas Yugoslavia
menjadi pendorong upaya untuk mendefinisikan konsep ini dan seringkali
dijadikan sebagai prototipe pembersihan etnis.
Sebagai contoh, dalam laporan khususnya tentang pembersihan etnis di
Kosovo, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mendefinisikan istilah tersebut
sebagai “pemindahan sistematis dan paksa anggota kelompok etnis tertentu dari
suatu komunitas untuk mengubah komposisi etnis di suatu wilayah tertentu.”
Laporan tersebut kemudian mendokumentasikan berbagai kasus yang memenuhi
kriteria ini, termasuk aksi depopulasi dalam waktu dua puluh empat jam di kota
Pec di Kosovo barat pada musim semi 1999, yang hanya dapat dicapai melalui
perencanaan yang canggih dan eksekusi sistematis.
Sebelumnya, Laporan Kongres yang disusun pada Agustus 1992 untuk Komite
Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat telah menggambarkan “proses
pemindahan penduduk yang bertujuan menghilangkan populasi non-Serbia dari
wilayah Bosnia-Herzegovina,” mencatat bahwa serangan tersebut “secara
substansial mencapai tujuannya, yaitu mewujudkan wilayah yang dihuni secara
eksklusif oleh orang Serbia. Tujuan ini dicapai dengan cara mengusir penduduk
Muslim yang sebelumnya merupakan mayoritas yang dominan.” Menurut laporan ini,
dua elemen utama dari pembersihan etnis adalah, pertama, “penggunaan secara
sengaja artileri dan penembak jitu terhadap populasi sipil di kota-kota besar,”
dan kedua, “pemindahan paksa populasi sipil [melibatkan] penghancuran
sistematis rumah, perampokan properti pribadi, pemukulan, pembunuhan terpilih
dan acak serta pembantaian massal.”
Deskripsi serupa ditemukan dalam laporan Dewan Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCHR) tahun 1993, yang disusun sebagai tindak
lanjut terhadap Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada April
1993 yang menguatkan “kecaman terhadap semua pelanggaran hukum humaniter
internasional, khususnya praktik ‘pembersihan etnis.'” Laporan ini menunjukkan
bahwa keinginan suatu negara untuk memberlakukan aturan etnis tunggal di daerah
yang pada dasarnya memiliki etnis beragam secara langsung akan berakibat pada
tindakan pengusiran dan kekerasan. Laporan tersebut menggambarkan bagaimana
proses pembersihan etnis dilakukan; pria dipisahkan dari wanita dan ditahan,
upaya perlawanan akan dibalas dengan pembantaian, desa-desa dibom. Rumah-rumah
yang tersisa kemudian dihuni kembali oleh kelompok etnis yang mengusir itu.
Selain Amerika Serikat dan PBB, para akademisi juga menggunakan bekas
Yugoslavia sebagai titik awal untuk studi fenomena ini. Dražen Petrović telah
menerbitkan salah satu studi paling komprehensif tentang pembersihan etnis,
yang ia gambarkan sebagai “kebijakan yang jelas dari kelompok tertentu untuk
secara sistematis menghilangkan kelompok lain dari suatu wilayah berdasarkan
asal agama, etnis, atau nasional. Kebijakan tersebut melibatkan kekerasan dan
seringkali terkait dengan operasi militer.” Petrović menciptakan korelasi
antara pembersihan etnis dengan nasionalisme, pembentukan negara-negara baru
berdasarkan etnis, dan perjuangan nasional, yang menunjukkan hubungan yang erat
antara pemimpin politik dan militer dalam pelaksanaan kejahatan tersebut. Meski
tidak ada rencana sistematis atau instruksi eksplisit yang diberikan oleh para
politisi, namun tidak diragukan lagi bahwa tujuan akhir yang jelas telah
ditetapkan bagi eksekutor operasi militer.
Deskripsi ini dengan sangat akurat mencerminkan apa yang terjadi di
Palestina pada tahun 1948. Rencana D adalah contoh konkret dari metode
pembersihan etnis yang diuraikan dalam berbagai laporan mengenai Yugoslavia.
Bahkan, menurut saya, jika kita belum pernah mendengar tentang peristiwa di
bekas Yugoslavia pada tahun 1990-an dan hanya mengetahui kasus Palestina, kita
mungkin akan berpikir bahwa berbagai definisi dan deskripsi pembersihan etnis
yang telah kita diskusikan sebelumnya sebenarnya terinspirasi oleh peristiwa
Nakba 1948.
Namun, ketika membahas pengusiran yang dilakukan oleh Israel terhadap
Palestina pada tahun 1948, ada jurang yang dalam antara apa yang sebenarnya
terjadi dan bagaimana peristiwa tersebut digambarkan. Hal ini cukup
membingungkan dan sulit untuk dipahami; bagaimana mungkin suatu peristiwa yang
terjadi di era modern dan disaksikan oleh reporter asing serta pengamat PBB
bisa sistematis diingkari, bahkan tidak diakui sebagai fakta sejarah, apalagi
diakui sebagai kejahatan yang harus dilawan, baik secara politis maupun moral.
Tidak ada keraguan bahwa pembersihan etnis pada tahun 1948, sebuah peristiwa
penting yang membentuk sejarah modern Palestina, hampir sepenuhnya dihapus dari
memori kolektif global dan dihilangkan dari kesadaran dunia.
Membongkar Konstruksi Ethnic Cleansing di Palestina
Pemerintah Israel secara resmi tetap mengejek segala bentuk
akuntabilitas atas peristiwa tahun 1948, dengan tegas mengklaim bahwa penduduk
lokal “sukarela” meninggalkan. Bahkan jika sebagian tanggung jawab Israel atas
hilangnya separuh populasi Arab Palestina diakui, alasan standarnya adalah
bahwa kepergian mereka merupakan efek samping yang tidak diinginkan, insiden
tak terduga, atau bahkan “keajaiban,” seperti yang diumumkan oleh presiden
Israel pertama, Chaim Weizmann. Namun, jauh berbeda dengan penjelasan tersebut,
Nakba 1948 adalah produk dari perencanaan yang detail dan panjang.
Konsep bahwa orang-orang Yahudi akan suatu saat mengambil alih tanah
Palestina dan mengusir penduduk aslinya sudah ada dalam tulisan para pendiri
Zionisme, seperti yang kemudian ditemukan oleh para sarjana. Namun, baru pada
akhir 1930-an, dua dekade setelah janji Inggris pada tahun 1917 untuk
menjadikan Palestina sebagai rumah nasional bagi orang Yahudi (janji yang
menjadi bagian dari Mandat Inggris atas Palestina pada tahun 1923), para
pemimpin Zionis mulai menerjemahkan visi mereka tentang eksklusivitas Yahudi
menjadi rencana yang lebih konkret. Peluang baru dibuka pada tahun 1937 ketika
Komisi Kerajaan Peel Inggris merekomendasikan pembagian Palestina menjadi dua
negara. Meski wilayah yang ditujukan untuk negara Yahudi jauh lebih kecil dari
ambisi Zionis, para pemimpinnya merespons secara positif. Mereka menghargai
pengakuan resmi Inggris terhadap prinsip kedaulatan negara Yahudi di sebagian
wilayah Palestina.
Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1942, strategi yang lebih ambisius
untuk memperluas wilayah Israel diadopsi ketika pemimpin Zionis David
Ben-Gurion, dalam pertemuan di Hotel Biltmore di New York, menuntut pendirian
Persemakmuran Yahudi di seluruh wilayah Palestina yang saat itu berada di bawah
mandat Inggris. Dengan demikian, wilayah geografis yang diidamkan oleh gerakan
ini berubah sesuai dengan situasi dan peluang, tetapi tujuan utamanya tetap
sama: pembentukan negara khusus untuk orang Yahudi di Palestina, baik sebagai
tempat perlindungan bagi orang Yahudi maupun sebagai tempat kelahiran
nasionalisme Yahudi yang baru. Negara ini harus secara eksklusif Yahudi, tidak
hanya dalam struktur sosial-politiknya tetapi juga dalam komposisi etnisnya.
Para pemimpin teratas sangat menyadari implikasi eksklusivitas ini,
seperti yang jelas dalam perdebatan internal mereka, catatan harian, dan
korespondensi pribadi. Misalnya, Ben-Gurion menulis dalam surat kepada putranya
pada tahun 1937, “Orang-orang Arab harus pergi, tetapi kita memerlukan waktu
yang tepat untuk mewujudkannya, misalnya dalam perang.” Berbeda dengan sebagian
besar rekan-rekannya yang masih berharap bahwa dengan membeli tanah dan rumah
secara masif mereka akan dapat mencapai tujuan mereka, Ben-Gurion telah lama
memahami bahwa ini tidak akan pernah cukup. Dia menyadari sejak awal bahwa
negara Yahudi hanya bisa dimenangkan dengan kekuatan fisik, tetapi perlu
menunggu momen yang tepat untuk melancarkan aksi militer untuk mengatasi
realitas demografis di lapangan: keberadaan mayoritas penduduk asli non-Yahudi.
Gerakan Zionis, di bawah kepemimpinan Ben-Gurion, dengan cepat
mempersiapkan diri untuk potensi pengambilan tanah dengan cara paksa jika
diplomasi gagal. Persiapan ini melibatkan pembentukan organisasi militer yang
efektif dan pencarian sumber daya keuangan yang lebih besar (yang mereka
peroleh dari Diaspora Yahudi). Pembentukan korps diplomatik juga menjadi bagian
penting dari persiapan global ini, semuanya ditujukan untuk mewujudkan negara
Yahudi di Palestina melalui kekuatan militer.
Organisasi paramiliter utama komunitas Yahudi di Palestina didirikan
pada tahun 1920 terutama untuk melindungi orang-orang Yahudi yang mendirikan
koloni di antara desa-desa Palestina. Namun, dengan bantuan perwira Inggris
yang simpatik, organisasi ini berubah menjadi kekuatan militer yang akhirnya
mampu mewujudkan rencana Zionis untuk mengambil alih Palestina melalui kekuatan
militer dan melakukan pembersihan etnis terhadap penduduk asli. Perwira khusus,
Orde Wingate, bertanggung jawab atas transformasi ini. Ia membuat para pemimpin
Zionis lebih memahami bahwa gagasan kedaulatan negara Yahudi harus erat
kaitannya dengan militer dan tentara, tidak hanya untuk melindungi jumlah
koloni Yahudi yang terus bertambah di Palestina, tetapi juga—yang lebih
penting—karena tindakan agresi bersenjata efektif sebagai pencegah potensi
perlawanan oleh penduduk Palestina setempat.
Ditugaskan ke Palestina pada tahun 1936, Wingate berhasil menghubungkan
pasukan Haganah dengan pasukan Inggris selama Pemberontakan Arab (1936–39),
memungkinkan orang Yahudi untuk menerapkan taktik serangan yang telah diajarkan
kepada mereka di pedesaan dan belajar lebih efektif apa yang seharusnya
dilakukan dalam “misi punitif” ke desa-desa Arab. Haganah juga mendapatkan
pengalaman militer berharga selama Perang Dunia II, ketika banyak anggotanya
menjadi sukarelawan Inggris. Sementara itu, yang lainnya yang tetap di
Palestina, terus memantau dan menyusupi sekitar 1.200 desa Palestina yang telah
berdiri di pedesaan selama ratusan tahun.
Proyeksi Pendataan Desa-Desa Arab
Gerakan Zionis, dipimpin oleh Ben-Gurion, tidak membuang waktu dalam
menyiapkan aksi pengambilan tanah secara paksa jika diplomasi gagal. Persiapan
ini mencakup pembangunan organisasi militer efisien dan pencarian sumber daya
keuangan yang lebih besar (yang diperoleh dari Diaspora Yahudi). Selain itu,
pembentukan korps diplomatik juga menjadi bagian penting dari persiapan yang
ditujukan untuk mewujudkan negara Yahudi di Palestina melalui kekuatan militer.
Pada tahun 1940, seorang sejarawan muda dari Universitas Hebrew bernama
Ben-Zion Luria, yang saat itu bekerja di departemen pendidikan Agensi Yahudi,
badan pemerintah Zionis di Palestina, menyarankan perlunya melakukan pendataan
rinci terhadap semua desa-desa Arab. Untuk mewujudkan hal ini, ia menyarankan
Jews National Fund (JNF) untuk melaksanakan proyek tersebut. “Pendataan
tersebut akan sangat membantu dalam proses pembebasan (baca; perampasan) tanah
ini!” tulisnya dalam surat yang ia tujukan pada JNF. JNF, yang didirikan pada
tahun 1901 dalam Kongres Zionis kelima, adalah alat utama Zionis untuk
kolonisasi Palestina.
Meskipun berusaha keras, JNF belum sepenuhnya berhasil mencapai
tujuannya, yakni pengadaan tanah untuk orang Yahudi. Sumber daya keuangan yang
terbatas, perlawanan Palestina yang sengit, dan kebijakan Inggris menjadi
penghalang. Akibatnya, pada akhir Mandat pada tahun 1948, gerakan Zionis hanya
mampu membeli tidak lebih dari 5,8 persen tanah di Palestina. Namun, Yossef
Weitz, kepala departemen pemukiman JNF dan seorang kolonialis Zionis sejati,
merasa gembira ketika mendengar tentang ide pendataan desa-desa Arab yang
ditawarkan oleh Luria.
Sejumlah besar berkas terperinci secara bertahap dikumpulkan hingga
meliputi setiap desa di Palestina. Pada akhir tahun 1940-an, “arsip” tersebut
hampir lengkap. Detail yang akurat dicatat tentang lokasi topografis setiap
desa, akses jalannya, kualitas tanahnya, dan banyak lagi.
Salah satu kategori penting dalam pendataan ini adalah indeks
“hostilitas” (terhadap proyek Zionis). Hostilitas ini misalnya ditentukan oleh
tingkat partisipasi desa dalam Pemberontakan Arab 1936–39. Kenyataan bahwa
pendataan ini bukan sekadar kegiatan akademis dirasakan betul oleh anggota
reguler Haganah yang dipercayakan untuk mengumpulkan data dalam misi
“rekognisi” ke desa-desa orang Arab.
Tantangan dalam “bekerja dengan informan” dan membangun sistem
kolaborasi dengan mereka yang disebut “orang primitif” yang “menikmati kopi dan
makan nasi dengan tangan mereka” telah didokumentasikan dalam berbagai berkas
desa. Namun, pada tahun 1943, berdasarkan ingatan Pasternak, pihak Zionis mulai
merasa optimis bahwa akhirnya mereka telah membentuk jaringan informan yang
efektif. Pada tahun yang sama, berkas desa diatur ulang untuk menjadi lebih
sistematis, sebuah inisiatif yang sebagian besar adalah hasil kerja keras Ezra
Danin, yang nantinya akan memainkan peran penting dalam pengusiran etnis
Palestina.
Rekrutmen Ezra Danin, seorang petani jeruk yang sukses, membantu
meningkatkan efisiensi operasi intelijen dan organisasi berkas desa. Berkas setiap
desa yang dikumpulkan pasca-1943 mencakup deskripsi rinci tentang peternakan,
budidaya, jumlah pohon di perkebunan, kualitas setiap kebun buah (bahkan setiap
batang pohon!), luas kepemilikan tanah rata-rata per keluarga, jumlah mobil,
nama pemilik toko, anggota bengkel, serta nama pengrajin dan keterampilan
mereka.
Selanjutnya, detail cermat ditambahkan tentang setiap klan dan afiliasi
politiknya, stratifikasi sosial antara bangsawan dan petani biasa, dan nama
pegawai negeri sipil di pemerintahan Mandatory. Kerja keras dalam pengumpulan
data menciptakan momentum sendiri, dan sekitar tahun 1945, detail tambahan
mulai muncul seperti deskripsi masjid desa, nama imam mereka (dengan
karakterisasi seperti “dia adalah orang biasa”), dan bahkan catatan akurat tentang
interior rumah tokoh.
Tidak mengherankan, saat berakhirnya Mandat mendekat, informasi menjadi
lebih terfokus pada aspek militer: jumlah penjaga di setiap desa (sebagian
besar tidak memiliki) dan jumlah serta kualitas senjata yang tersedia bagi penduduk
desa (umumnya kuno atau bahkan tidak ada). Danin merekrut seorang Yahudi Jerman
bernama Yaacov Shimoni, yang kemudian menjadi salah satu Orientalis terkemuka
Israel, dan menempatkannya sebagai kepala “proyek khusus” di desa-desa,
terutama untuk mengawasi pekerjaan para informan.
Satu informan, yang diberi julukan “bendahara” (ha-gizbar) oleh Danin
dan Shimoni, menjadi sumber informasi bagi para pengumpul data dan mengawasi
jaringan kolaborator atas nama mereka hingga tahun 1945, ketika dia terungkap
dan dibunuh oleh militan Palestina. Rekan kerja lainnya yang bekerja dengan
Danin dan Shimoni adalah Yehoshua Palmon dan Tuvia Lishanski, yang juga
terlibat dalam persiapan pengusiran etnis Palestina. Lishanski sudah sibuk pada
tahun 1940-an mengatur kampanye untuk mengusir paksa penyewa yang tinggal di
tanah yang dibeli oleh JNF dari pemilik tanah saat ini atau yang tidak ada.
Tidak jauh dari desa Furiedis dan pemukiman Yahudi “veteran,” Zikhron
Yaacov, di mana sekarang ada jalan yang menghubungkan jalan raya pantai dengan
Marj Ibn Amr (Emeq Izrael) melalui Wadi Milk, terletak sebuah desa muda bernama
Shefeya. Di sini, pada tahun 1944, unit khusus yang dipekerjakan oleh proyek
berkas desa menerima pelatihan mereka, dan dari tempat ini mereka pergi dalam
misi pengintaian mereka. Shefeya tampak sangat mirip dengan desa mata-mata
dalam Perang Dingin: orang Yahudi berkeliling sambil berbicara bahasa Arab dan
berusaha meniru apa yang mereka percayai sebagai adat dan perilaku orang
Palestina di pedesaan.
Banyak tahun kemudian, pada tahun 2002, salah satu rekrutan pertama ke
basis pelatihan khusus ini mengingat misi pengintaian pertamanya ke desa
terdekat Umm al-Zaynat pada tahun 1944. Tujuannya adalah untuk menyurvei desa
dan membawa kembali detail tentang tempat tinggal mukhtar, lokasi masjid,
tempat tinggal orang-orang kaya desa, siapa yang aktif dalam pemberontakan
1936–39, dan lainnya.
Misi ini tidak berbahaya, karena para infiltrator tahu mereka bisa
memanfaatkan kode keramahan Arab tradisional dan bahkan menjadi tamu di rumah
mukhtar sendiri. Karena gagal mengumpulkan semua data yang mereka cari dalam
satu hari, mereka meminta diundang kembali. Untuk kunjungan kedua mereka,
mereka diinstruksikan untuk memastikan mendapatkan gambaran yang baik tentang
kesuburan tanah, yang kualitasnya tampaknya sangat mengesankan mereka: pada
tahun 1948, Umm al-Zaynat dihancurkan dan semua penduduknya diusir tanpa
provokasi dari pihak mereka sama sekali.
Pembaruan terakhir dari berkas desa dilakukan pada tahun 1947. Ini
difokuskan pada membuat daftar orang “dicari” di setiap desa. Pada tahun 1948,
pasukan Yahudi menggunakan daftar ini untuk operasi pencarian dan penangkapan
yang mereka lakukan segera setelah mereka menduduki sebuah desa. Artinya, pria
di desa-desa yang diduduki dibariskan lalu mereka yang namanya tercantum dalam
daftar akan diidentifikasi, seringkali oleh orang yang sama yang telah memberi
tahu tentang mereka pada awalnya, tetapi sekarang mengenakan karung kain di
atas kepalanya dengan dua lubang yang dipotong untuk matanya agar tidak
dikenali. Pria yang terpilih seringkali ditembak di tempat.
Di antara kriteria orang-orang yang dimasukkan dalam daftar ini adalah
terlibat dalam aksi melawan Inggris dan Zionis, keterlibatan dalam gerakan
nasional Palestina dan memiliki hubungan dekat dengan pemimpin gerakan, Mufti
Haj Amin al-Husayni, atau memiliki afiliasi dengan partainya. Seiring dominasi
Mufti dalam politik Palestina sejak Mandat didirikan pada tahun 1923, dan peran
prominennya di dalam Komite Tinggi Arab yang menjadi embrio pemerintahan
Palestina, pelanggaran semacam itu juga menjadi umum. Alasan lain untuk
dimasukkan dalam daftar adalah tuduhan seperti “diketahui pernah pergi ke
Lebanon” atau “ditangkap oleh otoritas Inggris karena menjadi anggota komite
nasional di desa.” Hasil pemeriksaan berkas tahun 1947 menunjukkan bahwa
desa-desa dengan sekitar 1.500 penduduk biasanya memiliki 20–30 tersangka
semacam itu.
Yigael Yadin mengingat bahwa pengetahuan yang sangat rinci tentang
setiap desa Palestina memungkinkan komando militer Zionis pada November 1947
untuk menyimpulkan dengan percaya diri bahwa “Arab Palestina tidak memiliki
orang yang dapat mengorganisir mereka dengan baik.” Satu-satunya hambatan
serius adalah Inggris: “Tanpa kehadiran Inggris, kita bisa meredam kerusuhan
Arab [dalam menentang Resolusi Pembagian PBB tahun 1947] dalam satu bulan.”
Bersiaplah untuk Pertempuran
Ketika gema Perang Dunia II mulai meredup, gerakan Zionis menemukan
pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana mewujudkan aspirasi negara
mereka. Pada tahap ini, jelas bahwa Palestina bukan lagi hambatan yang
signifikan bagi ambisi Zionis. Meski Palestina masih mewakili mayoritas
populasi di wilayah tersebut, mereka bukan lagi sebuah ancaman militer. Inggris
telah memadamkan kepemimpinan dan kemampuan pertahanan Palestina pada tahun
1939 selama Pemberontakan Arab, memberikan gerakan Zionis waktu yang cukup untuk
merancang langkah mereka berikutnya.
Pemimpin Zionis juga melihat dengan jelas sikap ambivalen dari
negara-negara Arab terhadap situasi Palestina. Dengan demikian, setelah ancaman
invasi Nazi ke Palestina hilang, pemimpin Zionis menyadari bahwa satu-satunya
rintangan yang tersisa dalam merebut tanah ini adalah kehadiran Inggris. Selama
Inggris masih berperang melawan Jerman Nazi, tekanan tidak mungkin dilakukan.
Namun, dengan berakhirnya perang dan munculnya pemerintahan Buruh pasca-perang
yang mencari solusi demokratis untuk Palestina, jelas bahwa Inggris harus
pergi.
Tentara Inggris sebanyak 100.000 orang tetap berada di Palestina pasca
perang. Dalam konteks populasi kurang dari dua juta orang, keberadaan mereka
merupakan penghalang yang signifikan, bahkan setelah Inggris mengurangi
kekuatannya sedikit setelah serangan teroris Yahudi terhadap Hotel King David.
Hal ini mendorong Ben-Gurion untuk menyimpulkan bahwa menerima kurang dari 100%
dari apa yang diminta dalam program Biltmore 1942 sudah cukup untuk
memungkinkan gerakan Zionis memenuhi impian dan ambisinya.
Pada hari-hari terakhir Agustus 1946, Ben-Gurion mengumpulkan pemimpin
gerakan Zionis di Royal Monsue Hotel di Paris. Dia meyakinkan anggota yang
lebih radikal bahwa 80 hingga 90 persen dari Mandat Palestina sudah cukup untuk
menciptakan negara yang layak, asalkan mereka dapat memastikan dominasi Yahudi.
Beberapa bulan kemudian, Jewish Agency menerjemahkan pandangan Ben-Gurion ke
dalam peta yang didistribusikan kepada pihak yang berwenang untuk menentukan
masa depan Palestina.
Dalam agenda Zionist tahun 1946, perjuangan melawan Inggris mendapat
titik terang ketika Inggris memutuskan pada Februari 1947 untuk meninggalkan
Palestina dan mentransfer masalah Palestina ke PBB. Inggris tak punya banyak
pilihan: setelah Holokaus, mereka tidak akan pernah dapat mengatasi
pemberontakan Yahudi yang mengintai seperti yang mereka lakukan dengan
pemberontakan Arab pada tahun 1930-an. Selain itu, terkait dengan keputusan
Partai Buruh untuk meninggalkan India, Palestina kehilangan daya tariknya yang
sebagian besar. Pada akhirnya, Inggris mundur dengan tergesa-gesa, tanpa
penyesalan.
Seiring berakhirnya tahun 1946, Ben-Gurion, bahkan sebelum keputusan
resmi Inggris, telah memahami bahwa Inggris akan segera meninggalkan Palestina.
Dengan bantuan timnya, ia mulai merancang strategi yang dapat diaplikasikan
terhadap penduduk Palestina segera setelah Inggris meninggalkan wilayah
tersebut. Strategi ini kemudian dikenal sebagai Rencana C, atau Gimel dalam
bahasa Ibrani.
Rencana C merupakan versi revisi dari dua rencana sebelumnya, Rencana A
dan Rencana B. Rencana A, juga dikenal sebagai “Rencana Elimelech,” dinamai
sesuai dengan Elimelech Avnir, komandan Haganah di Tel Aviv. Pada tahun 1937,
atas permintaan Ben-Gurion, dia merancang petunjuk awal tentang bagaimana
mengambil alih Palestina jika Inggris memutuskan untuk mundur. Rencana B
dirancang pada tahun 1946, dan tidak lama setelah itu, kedua rencana tersebut
digabungkan untuk membentuk Rencana C.
Rencana C, seperti rencana sebelumnya, bertujuan untuk mempersiapkan
komunitas Yahudi untuk kampanye serangan yang akan mereka lakukan terhadap
Palestina pedesaan dan perkotaan setelah kepergian Inggris. Tujuan dari
tindakan tersebut adalah untuk “mencegah” penduduk Palestina dari menyerang
pemukiman Yahudi dan membalas serangan terhadap rumah-rumah, jalan, dan lalu
lintas Yahudi.
Rencana C secara spesifik menyebutkan tindakan pembalasan yang bisa
diambil, termasuk menyerang kepemimpinan politik, pendukung keuangan, dan
mereka yang bertindak melawan Yahudi serta menyerang perwira senior Arab.
Selain itu, rencana ini juga mencakup penyerangan terhadap transportasi
Palestina, merusak sumber mata pencaharian, dan target ekonomi vital.
Namun, Rencana C kurang spesifik dalam hal operasional, dan dalam
beberapa bulan, rencana baru digarap, yaitu Rencana D (Dalet). Rencana ini
adalah yang menentukan nasib penduduk Palestina di wilayah yang dipilih oleh
pemimpin Zionist sebagai tanah bagi negara Yahudi di masa depan. Berbeda dengan
Rencana C, Rencana D secara langsung merujuk pada parameter geografis negara
Yahudi di masa depan dan nasib satu juta penduduk Palestina yang tinggal di
wilayah tersebut.
Memasuki akhir tahun 1946, Ben-Gurion telah mempersiapkan strategi
tindakan terhadap penduduk Palestina segera setelah Inggris meninggalkan
wilayah tersebut. Strategi ini dikenal sebagai Rencana C, atau Gimel dalam
bahasa Ibrani. Rencana ini mencakup serangkaian operasi yang melibatkan
penghancuran desa-desa, baik melalui pembakaran, peledakan, atau penanaman
ranjau di reruntuhan, terutama di pusat-pusat penduduk yang sulit dikendalikan
secara permanen. Alternatif lain adalah operasi penyisiran dan pengendalian,
yang melibatkan pengepungan desa-desa dan pencarian di dalamnya.
Perintah ini berlaku untuk semua desa dalam area operasi, tanpa
memandang posisinya atau tingkat perlawanan yang diharapkan. Ini merupakan
rencana utama untuk pengusiran semua desa di Palestina pedesaan. Instruksi
serupa juga diberikan untuk tindakan yang ditujukan pada pusat-pusat perkotaan
Palestina.
Perintah yang diberikan kepada unit di lapangan lebih detail. Negara ini
dibagi menjadi zona sesuai dengan jumlah brigade. Setiap komandan brigade
menerima daftar desa atau lingkungan di zona mereka yang harus diduduki,
dihancurkan, dan penduduknya diusir, dengan tanggal yang ditentukan. Beberapa
komandan menambahkan lokasi lain seiring berjalannya operasi mereka. Tetapi
sebaliknya, beberapa perintah terlalu ambisius dan tidak dapat dilaksanakan
sesuai jadwal.
Tak lama setelah Rencana D ditulis, itu didistribusikan ke komandan dua
belas brigade yang sekarang menjadi bagian dari Haganah. Setiap komandan
menerima daftar, disertai dengan deskripsi rinci desa-desa di wilayah
operasinya dan nasib dekat mereka—pendudukan, penghancuran, dan pengusiran.
Dokumen-dokumen Israel yang dirilis dari arsip IDF pada akhir tahun 1990-an
menunjukkan bahwa Rencana Dalet diberikan kepada para komandan brigade bukan
sebagai panduan yang samar, melainkan sebagai perintah operasional yang jelas.
Instruksi dan daftar desa yang diterima oleh para komandan militer tidak
memberikan batasan tentang bagaimana tindakan penghancuran atau pengusiran akan
dilaksanakan. Tidak ada ketentuan tentang bagaimana desa-desa dapat menghindari
nasib mereka, misalnya, melalui penyerahan tanpa syarat, sebagaimana dijanjikan
dalam dokumen umum. Ada perbedaan antara draf yang diberikan kepada politisi
dan yang diberikan kepada para komandan militer: draf resmi menyatakan bahwa
rencana tersebut tidak akan diaktifkan hingga setelah Mandat berakhir,
sementara para perwira di lapangan diperintahkan untuk mulai melaksanakannya
dalam beberapa hari setelah diadopsinya. Dichotomy ini merupakan ciri hubungan
yang ada di Israel antara militer dan politisi hingga saat ini—militer
seringkali memberikan informasi yang keliru kepada politisi tentang niat
sebenarnya mereka.
Versi politik dari Rencana Dalet dan direktif militer memiliki tujuan
yang sama dalam skema ini. Artinya, bahkan sebelum instruksi langsung diterima
di lapangan, pasukan sudah memiliki pemahaman yang jelas tentang apa yang
diharapkan dari mereka. Shulamit Aloni, seorang perwira yang juga merupakan
pejuang hak sipil Israel yang terkenal dan berani, mengingat bagaimana perwira
politik tertentu akan turun tangan dan secara aktif memicu pasukan dengan
menggambarkan Palestina sebagai ancaman dan menggunakan Holokaus sebagai acuan
untuk operasi yang akan datang, sering kali rencananya akan dilaksanakan sehari
setelah proses indoktrinasi telah selesai.
Paradigma Ethnic Cleansing
Dalam buku yang sedang saya siapkan, saya berkeinginan untuk
mengeksplorasi proses pengusiran etnis yang terjadi pada tahun 1948, serta
sistem pemikiran yang telah membiarkan dunia melupakan dan pelaku untuk
menyangkal kejahatan yang dilakukan oleh gerakan Zionis terhadap rakyat
Palestina.
Saya berusaha mendukung pandangan bahwa paradigma pengusiran etnis harus
menggantikan paradigma perang sebagai landasan untuk penelitian ilmiah dan
diskusi publik tentang tahun 1948. Saya percaya bahwa tidak adanya paradigma
pengusiran etnis hingga saat ini merupakan salah satu alasan mengapa
penyangkalan terhadap bencana tersebut masih terus berlangsung. Bukan karena
gerakan Zionis, dalam proses pembentukan negara mereka, melakukan perang yang
“tragedi namun tak terhindarkan” yang menghasilkan pengusiran “sebagian dari
penduduk asli”. Sebaliknya, tujuan utamanya adalah pengusiran etnis dari tanah
yang mereka idamkan untuk negara baru mereka, dan perang adalah hasil dan alat
untuk mewujudkannya.
Bagi banyak orang, gagasan untuk mengadopsi paradigma pengusiran etnis
sebagai dasar a priori untuk narasi tahun 1948 mungkin terdengar seperti sebuah
tuduhan. Dan pada kenyataannya, ini adalah tuduhan saya sendiri terhadap
politisi yang merancang pengusiran etnis dan para jenderal yang menjalankannya.
Mereka adalah pahlawan perang kemerdekaan Yahudi, dan nama-nama mereka akan
sangat dikenal oleh sebagian besar pembaca. Daftar ini dimulai dengan pemimpin
tak terbantahkan dari gerakan Zionis, David Ben-Gurion, di rumah pribadinya di
mana semua bab dari skema pengusiran etnis dibahas dan disempurnakan.
Dia dibantu oleh sekelompok kecil orang yang saya sebut “Konsultan,”
yaitu persekongkolan ad hoc yang dibentuk hanya untuk merencanakan pemiskinan
rakyat Palestina. Dalam salah satu dokumen langka yang mencatat pertemuan badan
ini, itu disebut sebagai Komite Konsultan—Haveadah Hamyeazet; dalam dokumen
lain sebelas nama komite muncul. Meskipun nama-nama ini semuanya dihapus oleh
sensor, telah dimungkinkan untuk merekonstruksinya. Kaukus ini mempersiapkan
rencana pengusiran etnis dan mengawasi pelaksanaannya sampai tugas mengusir
setengah dari penduduk asli Palestina selesai. Itu termasuk terutama perwira
peringkat tertinggi dari angkatan bersenjata negara yang akan datang, seperti
Yigael Yadin dan Moshe Dayan yang legendaris. Mereka bergabung dengan figur
yang kurang dikenal di luar Israel tetapi kuat dalam etos lokal, seperti Yigal
Alon dan Yitzhak Sadeh, diikuti oleh komandan regional seperti Moshe Kalman,
yang membersihkan wilayah Safad, dan Moshe Carmel, yang mencabut akar sebagian
besar Galilea.
Yitzhak Rabin beroperasi baik di al-Lyyd dan Ramleh, maupun di daerah
Yerusalem yang lebih besar. Shimon Avidan membersihkan selatan; bertahun-tahun
kemudian Rehavam Ze’evi, yang berjuang bersamanya, berkata dengan kagum bahwa
dia “membersihkan barisannya dari puluhan desa dan kota.” Juga di front selatan
adalah Yitzhak Pundak, yang memberitahu Ha’Aretz pada tahun 2004, “Ada dua
ratus desa [di front] dan mereka hilang. Kami harus menghancurkannya, jika
tidak kita akan memiliki orang Arab di sini [yaitu di bagian selatan Palestina]
seperti yang kita miliki di Galilea. Kami akan memiliki satu juta Palestina
lagi.”
Para perwira militer ini berinteraksi dengan apa yang sekarang kita
sebut sebagai “Orientalis”: para ahli yang memiliki pengetahuan luas tentang
dunia Arab pada umumnya, dan Palestina khususnya, baik karena mereka berasal
dari tanah Arab atau karena mereka adalah sarjana di bidang studi Timur Tengah.
Beberapa di antara mereka adalah perwira intelijen di lapangan selama periode
krusial ini. Mereka bukan hanya pengumpul data tentang “musuh,” namun juga
perwira intelijen ini memainkan peran penting dalam persiapan pembersihan
etnis. Bahkan, beberapa di antara mereka secara pribadi terlibat dalam beberapa
kejahatan terburuk yang menjadi bagian dari pemiskinan sistematis orang
Palestina. Mereka memiliki wewenang akhir untuk menentukan desa mana yang akan
dihancurkan dan warga desa mana yang akan dieksekusi.
Dalam memori para korban selamat Palestina, mereka adalah orang-orang
yang, setelah sebuah desa atau lingkungan diduduki, menentukan nasib para
petani atau penduduk kota, yang bisa berarti penahanan atau kebebasan, atau
bahkan menentukan antara hidup dan mati. Operasi mereka pada tahun 1948 diawasi
oleh Issar Harel, yang kemudian menjadi kepala pertama Mossad dan Shin Bet,
layanan rahasia Israel.
Meski saya menyebut nama-nama mereka, bukan berarti tujuan saya adalah
untuk mengadili mereka secara anumerta. Sebaliknya, tujuan saya, baik di sini
maupun dalam buku saya, adalah untuk memberikan dimensi kemanusiaan pada para
pelaku kejahatan sekaligus para korban: saya ingin mencegah kejahatan yang
dilakukan Israel diatributkan pada faktor-faktor abstrak seperti “keadaan,”
“tentara,” atau sebagaimana dikatakan oleh Benny Morris, “la guerre comme la
guerre,” dan referensi samar lainnya yang membebaskan negara-negara berdaulat
dari tanggung jawab dan memberikan individu hati nurani yang jelas.
Saya menuduh, tetapi saya juga bagian dari masyarakat yang dihukum. Saya
merasa bertanggung jawab dan bagian dari cerita ini. Namun, seperti banyak
orang lain di masyarakat saya, saya percaya bahwa perjalanan menyakitkan ke
masa lalu adalah satu-satunya jalan ke depan jika kita ingin menciptakan masa
depan yang lebih baik bagi kita semua, baik rakyat Palestina maupun Israel.
*Diterjemahkan oleh Ayub dan ‘Aabidah Ummu ‘Aziizah dari artikel yang ditulis Illan Pappe.
Leave a Comment