| 0 Comments | 27 Views

Salah satu sumbangan penting Walid Saleh adalah upayanya untuk mengekskavasi poin-poin penting dalam sejarah tafsīr yang terkubur oleh historiografi tafsīr modern, baik yang populer di kalangan Muslim modern maupun di akademia Barat. Penekanan Saleh terhadap posisi sentral yang dimainkan sekelompok ulama yang ia sebut ‘mazhab Naisabur’, menjadi bagian dari kulminasi sumbangsihnya itu. Walid Saleh menekankan bahwa mazhab ini memiliki pengaruh besar yang menyebabkan perlunya kajian ulang terhadap sejarah literatur tafsir Islam abad pertengahan, yang selama ini hanya didasarkan pada katalog karya tafsir cetak abad ke-19 dan ke-20, bukan pada manuskrip asli yang masih ada.

Dalam rekonstruksi Saleh, istilah Mazhab tafsīr Naisabur (Nishapuri School) merujuk kepada tradisi tafsīr yang berkembang di sekitar pemikiran tiga ulama besar abad ke-11 di kota tersebut. Menurut penilaian Saleh, tradisi ini berhasil membawa perubahan besar dalam genre tafsir Al-Qur’an dan ilmu-ilmu Al-Qur’an secara umum. Tiga tokoh sentral dalam mazhab ini adalah Ibn Ḥabib (w. 406/1015), muridnya al-Ṯa'labi (w. 427/1035), dan murid Ṯa'labi, yaitu al-Wāhidi (w. 468/1076). 

Sarjana modern yang pertama menyadari peran penting mazhab ini sebenarnya adalah Isaiah Goldfeld dalam kajiannya terhadap mukadimah tafsīr  al-Ṯa'labi. Namun, setelah Goldfield, kontribusi mazhab Naisabur hampir terlupakan dalam studi tafsir modern. Menurut Saleh, Ṯa'labi dan muridnya, Wāhidi, memainkan peran penting dalam membentuk genre tafsīr. Saleh lalu menarik genealogi ini lebih ke belakang lagi, ke Ibn Ḥabib yang merupakan guru al-Ṯaʿlabi. Meskipun sebagian besar karya Ibn Ḥabib telah hilang, ditambah dengan pengucilannya akibat afiliasinya pada mazhab Karramiyah, pemikirannya tetap lestari melalui murid dan ‘cucu’ muridnya.

Posisi Penting Kota Naisabur

Walid Saleh mengaitkan kemunculan mazhab ini dengan lingkungan intelektual Naisabur yang kosmopolit dan komplit. Di kota ini, cabang-cabang keilmuan yang kelak menjadi pendukung dan bagian tak terpisahkan dari tradisi tafsīr Sunni dikembangkan menjadi lebih dalam dan sistematis. Kota Naisabur menjadi tempat dialog intelektual yang nantinya membentuk sintesis Sunni yang menyeimbangkan tradisi rasional Kalam dan mistisisme sufi, dan memberikannya basis justifikasi tekstual lewat analisis kebahasaan (filologi).   

Di kota inilah, beberapa peletak dasar teologi rasional Sunni muncul, sebut saja Abul-Maʿāli al-Juwaini (guru al-Ghazali) dan Ibn Furak (406/1015). Tradisi tasawuf Sunni pun menemukan momentumnya di kota ini dengan aktivitas hagiografer sufi Abu ʿAbd-al-Raḥmān Muhammad as-Sulami dan mistikus Abul-Qāsim Qušayri. Sementara signifikansi Naisabur sebagai pusat kajian filologi Arab dikaitkan Saleh dengan penyusunan Tahḏib al-Luḡa karya Abu Manṣur Muhammad Azhari (370/980), leksikon penting yang menjadi dasar ilmu leksikografi Arab. 

Di kota ini pulalah jaringan madrasah Nizamiyah pertama kali dicetuskan sebagai institusi pendidikan formal untuk mendukung ortodoksi Sunni. Tentu saja, sintesis intelektual ini kemudian menemukan kendaraannya untuk menyebarkan pengaruhnya ke seantero dunia Islam lewat institusi madrasah tersebut. 

Pengaruh Mazhab Naisabur

Dengan pudarnya nama Ibn Ḥabib, pengaruh mazhab Naisabur baru benar-benar terasa melalui karya-karya muridnya, al-Ṯaʿlabi. Ia adalah penulis salah satu tafsir al-Qur’an paling penting di abad pertengahan, yaitu al-Kaṣf wa 'l-Bayān ʿan Tafsir al-Qur’an. Dalam mukadimah tafsirnya, al-Ṯaʿlabi memberikan penilaian kritis terhadap perkembangan tafsir selama empat abad sebelumnya. Dengan demikian, karya ini bukan sekadar tafsīr, tetapi juga sebuah upaya besar untuk meninjau dan memperbaiki kekurangan dalam disiplin tafsīr pada empat abad pertama. 

Karena sifatnya yang merupakan dekonstruksi sekaligus rekonstruksi terhadap cara terbaik memahami al-Qurʾā, maka secara efektif al-Ṯaʿlabi telah menjadikan tafsir sebagai media utama untuk mendefinisikan (ulang) sekaligus membela posisi-posisi teologi arus utama, yang tak lain adalah Sunnisme.  Namun bukan berarti ia menjadi eksklusif dan menyensor suara-suara aliran lain. Justeru sebaliknya, metodologi al-Ṯaʿlabi bersifat ensiklopedis, dengan tujuan memasukkan sebanyak mungkin suara dari berbagai sekte Muslim.

Pendekatannya yang inklusif itu membuka jalan bagi genre tafsīr untuk menjadi wadah yang menyatukan dan mendialogkan perspektif Sunni, mistik Sufi, dan bahkan beberapa elemen Syiah. Selain itu, al-Ṯaʿlabi menekankan pentingnya analisis kebahasaan (filologi) sebagai alat hermeneutika dalam menanggapi tantangan Mu’tazilah yang berbasis pada metode analisis kebahasaan. Namun, al-Ṯaʿlabi tidak mengorbankan tradisi salaf Sunni yang lebih menekankan semangat kesalehan emosional (pietistic).

Keseimbangan ini memungkinkan Ṯaʿlabi memasukkan elemen-elemen Sufi dan Syiah ke dalam tafsir Sunni tanpa mengganggu kerangka dasar ortodoksi Sunni. Contohnya, Ṯaʿlabi memasukkan pandangan mistik as-Sulami dan hadis-hadis yang menghormati keluarga Nabi (Ahlulbait), tetapi tetap mempertahankan hierarki Sunni. Hal ini menjadikan al-Kaṣf wa 'l-Bayān sebagai karya yang unik, menggabungkan tradisi mitologis dan filologi canggih dalam tafsir Sunni. Capaian inilah yang menjadi cetak biru sekaligus standar terbaik yang diikuti oleh mufassir setelahnya. Olehnya, al-Kaṣf wa 'l-Bayān dianggap Walid Saleh sebagai penanda dimulainya masa ‘klasik’ dalam sejarah tafsīr.  

Murid al-Ṯaʿlabi, al-Wāhidi, juga memainkan peran penting dalam mazhab Naisabur. Ia menulis tiga tafsir Al-Qur’an yang semuanya sangat berpengaruh, namun dua di antaranya adalah yang paling penting, yakni al-Basiṭ dan al-Wasīṭ. Al-Basiṭ adalah proyek ambisius al-Wāhidi yang berupaya membersihkan hermeneutika Sunni dari elemen pietistic. Dalam tafsir ini, al-Wāhidi memberikan penekanan yang sangat besar pada pendekatan filologi yang ketat. Ia bahkan mengadopsi beberapa metode hermeneutika dari tradisi Mu’tazilah.

Namun, semangat rasionalitas yang ketat ini ternyata kurang cocok untuk menjaga keseimbangan yang dicapai gurunya. Proyek al-Basiṭ yang bertujuan membangun tafsir Sunni yang murni berdasarkan filologi dianggap terlalu kaku dan kontraproduktif. Akhirnya, Wāhidi mengembangkan pendekatan yang lebih inklusif dalam al-Wasīṭ, mengakomodasi lebih banyak elemen pietistic Sunni.

Meski demikian, ketelitian intelektual al-Wāhidi dalam al-Basiṭ tetap memberi dampak signifikan. Ia menunjukkan bahwa hermeneutika Sunni mampu menyamai kecanggihan intelektual Mu’tazilah tanpa kehilangan jati dirinya. Pengaruh penting kecanggihan ala Sunni pada karya al-Wāhidi sering diilustrasikan oleh Walid Saleh lewat sosok al-Ghazali. Raksasa teologi Sunni itu konon sangat menjunjung tinggi karya-karya al-Wāhidi. Ia bahkan terinspirasi untuk mengadopsi judul serupa untuk karya-karya fikihnya, yakni al-Wajiz dan al-Basiṭ.

Satu abad setelah masa al-Ṯaʿlabi, Abu Muhammad Husayn al-Bagawi (w. 516/1122), menulis Maʿālim al-Tanzil. Jika melihat catatan dan persebaran manuskrip, karya ini merupakan salah satu tafsīr paling populer di dunia Islam abad pertengahan, hanya kalah dari al-Kaššāf karya al-Zamakhshari (w. 538/1144) dan Anwār al-Tanzīl karya al-Baydawi. Namun, Maʿālim sebenarnya merupakan ringkasan dan versi yang disederhanakan dari al-Kašf wa al-Bayān karya al-Ṯaʿlabi. Tafsir al-Bagawi ini kemudian menjadi dasar bagi Lubab al-Taʾwil karya ʿAlaʾ al-Din ʿAli al-Khazin (w. 741/1340).

Al-Ṯaʿlabi memainkan peran besar dalam tradisi tafsir Sunni, sehingga dianggap sebagai "bapak kedua tafsir Sunni" setelah Ṭabari. Tafsir Ṭabari bahkan sering diakses melalui karya Ṯaʿlabi. Al-Kaššāf  karya al-Zamakhšari juga sangat dipengaruhi oleh tradisi Nishapuri, hingga judul tafsir Zamakhšari pun menjadi permainan kata dari karya al-Ṯaʿlabi, al-Kašf. Selain itu, al-Ṯaʿlabi juga menjadi model bagi tafsīr populer lainnya, yakni karya Abu ʿAbd-Allah al-Qurtūbī  (w. 671/1272). Sementara itu, dalam tradisi tafsir Syiah, al-Kašf memiliki dampak yang signifikan. Tafsir pertama dalam bahasa Persia, Rawd al-Jinan karya Abul-Futuh al-Rāzī , sangat dipengaruhi oleh al-Kašf. 

Terkubur Historiografi Taymiyyan?

Menurut Walid Saleh, sifat inklusif al-Kašf juga punya efek samping tersendiri: polemik anti Sunni dari kalangan Syiah sering kali menggunakan al-Kašf, karena tafsir ini mengandung banyak materi pro-Syiah. Hal ini membuat al-Kašf menjadi pusat konflik teologis, sehingga beberapa ulama Sunni akhirnya menganggapnya bermasalah. Ibn Taymiyyah (w. 728/1328), seorang ulama Hanbali, secara aktif menyerang reputasi al-Ṯaʿlabi dan al-Wahidi, karena karya-karya mereka sering dimanfaatkan oleh polemik Syiah. 

Meskipun serangan Ibnu Taymiyyah awalnya kurang berdampak. Namun meningkatnya pengaruh Ibnu Taymiyyah pada gerakan pemikiran dan politik Islam awal abad ke-20 kembali meneguhkan pengabaian terhadap al-Ṯaʿlabi dan al-Wahidi.  Poin inilah yang menjadi salah satu tesis penting Walid Saleh, bahwa cara Muslim moderen serta akademia Barat melihat sejarah tafsīr sangat dipengaruhi oleh dua historiografi ‘Taimiyyan’ atau ‘salafi outlook’. Historiografi ini menanamkan pengaruhnya lewat dua jalur penting; melalui sejarah tafsīr yang mengikuti cetak biru Hussain al-Ḏahabi dalam al-Tafsīr wa al-Mufassīrūn serta melalui pilihan tafsīr yang dicetak oleh lembaga-lembaga percetakan di dunia Arab, yang pada awal abad ke-20, sangat dipengaruhi oleh semangat Taymiyyan.

Catatan kaki


Tentang mazhab Naisabur:

https://iranicaonline.org/articles/exegesis-viii-nishapuri-school-quranic-exegesis 


https://www.academia.edu/566501/The_Last_of_the_Nishapuri_School_of_Tafsir_Al_Wahidi_d_468_1076_and_His_Significance_in_the_History_of_Quranic_Exegesis  

Tentang historiografi tafsīr yang katanya ‘salafi outlook’ itu

https://studitafsir.com/2022/04/14/dipertanyakannya-posisi-al-tafsir-wa-al-mufassirun-sebagai-sumber-utama-historiografi-tafsir/  (cek saja link-link dan artikel yang disebut di artikel ini)


Tentang pengaruh gerakan modernis, yang Taymiyyan itu, terhadap aktivitas percetakan buku di awal abad ke-20

https://santricendekia.com/merawat-khazanah-turats-warisan-muhammad-abduh-yang-terlupakan/  - cek buku Ahmad El Shamsi yang dirujuknya, berjudul ‘Rediscovering Classics’


Leave a Comment