| 0 Comments | 25 Views
Pendidikan anak usia dini yang bermutu bukan diukur dari seberapa cepat anak mengenal gawai, tetapi dari seberapa utuh ia tumbuh sebagai manusia.
Guru Pejuang Digital dan Anak Usia Dini: Saatnya Menarik Rem
Transformasi digital pendidikan adalah agenda besar nasional. Melalui program Guru Pejuang Digital (GPD) dan Inpres Nomor 7 Tahun 2025 tentang Digitalisasi Pembelajaran, negara menempatkan guru sebagai garda depan inovasi teknologi. Di atas kertas, kebijakan ini tampak progresif. Namun, ketika diturunkan ke Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), muncul pertanyaan mendasar yang tidak boleh diabaikan: apakah intensifikasi digital benar-benar relevan, bahkan aman, bagi anak usia dini?
Pertanyaan ini bukan sekadar wacana akademik. Berbagai negara Eropa yang justru memiliki literasi digital tinggi mengambil arah kebijakan berlawanan. Prancis melarang penggunaan gawai bagi anak di bawah enam tahun. Finlandia dan Swedia menarik kembali tablet dari sekolah dasar. Organisasi kesehatan dunia merekomendasikan nol screen time untuk anak di bawah dua tahun, dan sangat terbatas untuk usia berikutnya. Alasan mereka konsisten: paparan layar dini berkorelasi dengan meningkatnya tantrum, gangguan regulasi emosi, masalah penglihatan, postur tubuh, keterlambatan bahasa, hingga penurunan kesehatan mental anak.
Ironisnya, di Indonesia, justru muncul dorongan agar guru PAUD menjadi “pejuang digital”. Di sinilah letak masalah kebijakan.
Paradigma Salah Tentang Literasi Digital pada PAUD
Masalah utama bukan pada niat kebijakan, melainkan pada asumsi pedagogisnya. Dalam banyak praktik, literasi digital disederhanakan menjadi penggunaan gawai oleh anak. Padahal, dalam ilmu perkembangan anak, literasi digital anak usia dini tidak identik dengan interaksi layar. Anak usia dini belajar terutama melalui tubuh, gerak, relasi sosial, dan pengalaman konkret. Ketika teknologi masuk terlalu dini, ia bukan memperkaya, melainkan sering mengganggu proses tersebut.
PAUD bukan sekolah mini versi SD. Ia adalah fase fondasional pembentukan regulasi emosi, empati, keseimbangan tubuh, dan rasa aman sosial. Ketika kebijakan digitalisasi diterapkan secara seragam lintas jenjang, negara tanpa sadar melakukan policy overreach: memaksakan logika pendidikan orang dewasa ke dunia anak usia dini.
Dolanan dan Pengetahuan yang Tidak Diakui
Dalam komunitas Muslim Jawa, misalnya, permainan tradisional atau dolanan anak telah lama berfungsi sebagai praktik pembentukan batin yang bersifat embodied dan komunal. Melalui dolanan, anak belajar menunggu giliran, mengelola emosi, memahami perasaan teman, menghadapi kalah dan menang, serta membangun kebersamaan. Ini adalah pembelajaran kompleks, tetapi tidak tercatat dalam indikator digital, tidak terukur dalam platform, dan karena itu sering dianggap tidak penting.
Inilah problem yang lebih dalam: rezim penilaian modern hanya mengakui pembelajaran yang terukur, akademik, dan berbasis teknologi. Praktik embodied-relasional seperti dolanan dimiskinkan secara epistemik. Ia hidup, bermakna, dan efektif, tetapi tidak dianggap sebagai “pengetahuan sah”.
Ketika GPD mendorong guru untuk menunjukkan inovasi digital, guru PAUD berada dalam dilema. Di satu sisi, mereka tahu anak-anak membutuhkan bermain fisik dan interaksi nyata. Di sisi lain, sistem menuntut bukti kinerja berbasis platform. Akibatnya, teknologi digunakan bukan karena kebutuhan anak, melainkan demi memenuhi ekspektasi kebijakan.
Pedagogi Kritis atas Kebijakan Digital
Dari perspektif pedagogi kritis, pertanyaan kuncinya bukan “seberapa canggih teknologinya”, melainkan “siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan”. Pada PAUD, kebijakan digital yang tidak sensitif usia berisiko mengkolonisasi masa kanak-kanak oleh logika industri teknologi. Anak dinormalisasi untuk duduk, menatap layar, dan menerima stimulasi instan, sementara praktik bermain bebas dan relasional dianggap kuno.
Lebih jauh, beban moral dialihkan ke guru. Guru PAUD dituntut menjadi pejuang digital, padahal peran paling penting mereka justru sebagai penjaga batas: penjaga tubuh anak, emosi anak, dan ritme perkembangan anak.
Reposisi yang Mendesak
Kritik ini bukan penolakan terhadap teknologi. Yang dibutuhkan adalah reposisi kebijakan. Pada PAUD, teknologi seharusnya digunakan untuk guru, bukan untuk anak. Untuk perencanaan pembelajaran, dokumentasi perkembangan, komunikasi dengan orang tua, dan administrasi. Bukan untuk menambah screen time anak.
Guru PAUD tidak perlu menjadi Guru Pejuang Digital. Mereka perlu menjadi Guru Penjaga Keseimbangan Digital. Guru yang tahu kapan teknologi digunakan dan kapan harus dihentikan. Guru yang berani mengatakan bahwa bermain, dolanan, gerak, dan interaksi tatap muka adalah inti pendidikan anak usia dini.
Jika negara-negara maju justru menarik rem digital demi melindungi anak, Indonesia perlu bertanya dengan jujur: apakah kita sedang mempersiapkan masa depan anak, atau sekadar mengejar citra modernisasi pendidikan?
Pendidikan anak usia dini yang bermutu bukan diukur dari seberapa cepat anak mengenal gawai, tetapi dari seberapa utuh ia tumbuh sebagai manusia.
Leave a Comment