| 0 Comments | 13 Views
Dolanan Jawa sebagai Jalur Spiritual dan Pembelajaran yang Terpinggirkan
Yogyakarta, Indonesia — Di tengah dominasi teknologi digital, anak-anak di komunitas Muslim Jawa menghadapi tantangan ganda: paparan gadget yang berlebihan dan marginalisasi praktik pembelajaran tradisional. Penelitian terbaru mengungkap bahwa permainan tradisional Jawa (dolanan) berfungsi tidak hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai praktik pembentukan spiritual dan sosial yang bersifat embodied dan komunal, mengajarkan nilai-nilai seperti empati, integritas, ketahanan mental, dan kerukunan sosial.
Namun, dolanan semakin dimiskinkan dalam sistem pendidikan modern yang menekankan pembelajaran yang terukur, berbasis akademik, dan teknologi. Dalam paradigma ini, pengalaman fisik, ritme, dan interaksi sosial—yang menjadi inti pembelajaran melalui dolanan—tidak diakui sebagai “pengetahuan sah”, sehingga praktik ini sering dipinggirkan.
Dolanan Sebagai Laboratorium Spiritual Anak
Dalam konteks ini, dolanan berfungsi sebagai laboratorium kehidupan yang menanamkan nilai-nilai spiritual secara implisit:
-
Olah Rasa (Empati dan Keterhubungan Sosial)Permainan seperti Gobak Sodor dan Jamuran mengajarkan anak membaca bahasa tubuh teman, merasakan kegembiraan dan kekecewaan orang lain, menumbuhkan tepo seliro (tenggang rasa). Anak belajar bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi emosional nyata, membangun fondasi spiritual yang tidak bisa diukur dengan tes standar.
-
Nilai Kejujuran dan IntegritasDalam permainan Congklak (Dakonan), anak menghadapi ujian moral: bertindak jujur meski tidak ada pengawasan. Praktik ini mengembangkan kesadaran moral internal—sebuah bentuk spiritualitas dan karakter yang tidak diakui oleh standar akademik modern.
-
Ketahanan Mental dan Keseimbangan DiriPermainan Egrang melatih anak menghadapi kegagalan, menaklukkan rasa takut, dan belajar kesabaran. Dolanan mengajarkan bahwa keseimbangan hidup dan ketahanan jiwa dibangun melalui proses, bukan tombol “reset” instan ala permainan digital.
-
Guyub Rukun (Kerukunan Komunal)Permainan seperti Cublak-Cublak Suweng menuntut kerja sama dan konsensus. Anak belajar bahwa kebahagiaan muncul dari kolaborasi dan keterhubungan sosial, bukan pencapaian individu semata.
Dolanan vs Standar Pendidikan Modern
Penelitian ini menyoroti bahwa dalam komunitas Muslim Jawa, dolanan adalah praktik pembelajaran kompleks, yang menggabungkan spiritualitas, interaksi sosial, dan keterampilan emosional. Namun, relevansi pedagogisnya sering diabaikan oleh sistem pendidikan modern yang menilai keberhasilan berdasarkan output akademik, kognitif, dan berbasis teknologi. Dengan kata lain, dolanan tidak diakui sebagai “pengetahuan sah”, meskipun mengajarkan kompetensi spiritual dan sosial yang kritis untuk perkembangan holistik anak.
Seorang peneliti menjelaskan:
“Dolanan anak bukan sekadar aktivitas rekreasi. Ia adalah praktik pembelajaran embodied-relasional yang kaya, tetapi diabaikan karena tidak sesuai dengan rezim penilaian modern yang mengutamakan keterampilan yang terukur secara kuantitatif.”
Hal ini menegaskan bahwa dolanan bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga arena resistensi kultural, mempertahankan nilai-nilai lokal dan spiritual yang tidak dapat direduksi menjadi angka atau skor.
Menciptakan Keseimbangan di Era Digital
Dalam menghadapi dominasi teknologi, tantangan bukan sekadar meniadakan gadget, tetapi mengintegrasikan dolanan sebagai counter-balance. Aktivitas ini memungkinkan anak-anak tetap mengalami:
-
Keterhubungan sosial nyata
-
Pengalaman embodied dan ritmis
-
Pembelajaran moral dan spiritual yang hidup
Dengan demikian, dolanan bukan nostalgia masa lalu, tetapi strategi kritis untuk menyeimbangkan pengalaman anak di era digital, sekaligus menegaskan hak komunitas lokal atas pengakuan pengetahuan yang berbasis budaya.
Kesimpulan
Dolanan Jawa adalah lebih dari permainan; ia adalah praktik pendidikan dan spiritual yang komprehensif, mengajarkan anak-anak tentang empati, kejujuran, ketahanan mental, dan kebersamaan. Penelitian ini menekankan pentingnya pengakuan terhadap praktik lokal yang embodied dan komunal sebagai pengetahuan sah, sekaligus mengingatkan sistem pendidikan modern untuk tidak hanya mengutamakan hasil akademik dan teknologi, tetapi juga nilai spiritual dan sosial yang tumbuh dari pengalaman hidup nyata.
Menghidupkan kembali dolanan berarti memberi anak-anak jangkar budaya dan spiritual di tengah dunia digital yang serba cepat, mempersiapkan mereka menjadi manusia utuh yang mampu hadir secara penuh—fisik, sosial, dan spiritual.
Penulis:
Eko Suhendro
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Leave a Comment