| 0 Comments | 24 Views
Digitalisasi pendidikan penting, tetapi untuk PAUD yang dibutuhkan adalah kebijakan “minim layar, maksimal bermain” dengan teknologi sebagai alat kerja guru, bukan konsumsi anak.
Gelombang digitalisasi pendidikan sedang dipercepat. Negara mendorong transformasi melalui penguatan infrastruktur, ekosistem platform, serta peran guru sebagai penggerak. Kerangka ini tampak, antara lain, dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 yang secara eksplisit memuat agenda revitalisasi satuan PAUD hingga menengah sekaligus digitalisasi pembelajaran. JDIH+1 Pemerintah juga merilis berbagai program implementasi digitalisasi pembelajaran yang menyasar ratusan ribu satuan pendidikan. Pauddikdasmen+1
Namun ada persoalan mendasar ketika agenda “percepatan” diterapkan dengan logika yang sama pada semua jenjang. PAUD bukan jenjang “lebih awal” dari SD yang tinggal dipercepat, melainkan fase perkembangan yang berbeda secara kualitatif. Jika kebijakan digitalisasi pada PAUD mengarah pada intensifikasi layar untuk anak, kita sedang menggeser tujuan pendidikan usia dini: dari membangun tubuh, emosi, bahasa, relasi, dan spiritualitas keseharian menuju sekadar mengejar indikator modernitas yang mudah dilaporkan.
Di titik ini, program seperti Guru Pejuang Digital (GPD) perlu diuji secara jernih: apakah “pejuang digital” untuk PAUD berarti memperbanyak interaksi anak dengan perangkat, atau memperkuat kompetensi guru agar teknologi dipakai untuk memperbaiki tata kelola pembelajaran tanpa merampas masa kanak-kanak? Pada ekosistem layanan “Rumah Pendidikan”, misalnya, sudah ada penamaan “Mitra Guru Pejuang Digital” sebagai bagian dari ruang kemitraan. pusatinformasi.rumahpendidikan.kemendikdasmen.go.id Artinya, narasi dan identitas “pejuang digital” telah diarusutamakan. Persoalannya bukan pada niat memperkuat guru, melainkan pada risiko tafsir implementasi di lapangan.
Kekeliruan kebijakan yang paling sering terjadi di PAUD
Jika negara-negara tersebut saja merasa perlu mengerem, mengapa kita menganggap PAUD harus ikut berlari? Di sini letak problem etiknya: masa kanak-kanak berisiko dikolonisasi oleh logika dunia dewasa yang menuntut efisiensi, data, dan percepatan.
“Pejuang” yang dibutuhkan PAUD adalah penjaga keseimbangan
Label “pejuang digital” membawa beban moral: seolah guru yang tidak mendigitalisasi aktivitas anak adalah guru yang tidak maju. Padahal, pada PAUD, peran inti guru bukan operator perangkat, melainkan kurator pengalaman belajar: mengatur ritme kelas, memelihara relasi, membangun regulasi emosi, memfasilitasi bermain embodied, dan menumbuhkan bahasa melalui interaksi nyata.
Karena itu, reposisi kebijakan paling masuk akal bukan menolak digitalisasi, tetapi mengubah sasaran digitalisasi. Prinsipnya sederhana:
-
Teknologi untuk guru, bukan untuk anak.Teknologi dipakai untuk perencanaan, dokumentasi perkembangan, komunikasi dengan orang tua, pelaporan, dan administrasi. Ini sejalan dengan kebutuhan peningkatan tata kelola yang memang menjadi tujuan besar digitalisasi pembelajaran. Pauddikdasmen+1
-
Kelas PAUD minim layar, maksimal bermain.Screen time anak di kelas tidak boleh menjadi kebiasaan rutin. Jika pun ada, harus bersifat sangat terbatas, terarah, dan tidak menggantikan permainan sosial, gerak, dan percakapan.
-
Pengakuan terhadap pedagogi lokal dan embodied sebagai indikator mutu.Jika kebijakan tidak mengakui dolanan anak, gerak, permainan, dan interaksi komunal sebagai bukti mutu, guru akan terus terdorong mengejar yang tampak modern tetapi miskin pengalaman perkembangan.
Poin terakhir ini penting untuk advokasi. Kebijakan bukan hanya “mengatur”, tetapi juga “menentukan apa yang dianggap bernilai”. Bila yang bernilai selalu yang digital, maka yang tumbuh adalah pendidikan yang bias perangkat.
Mengapa rujukan internasional relevan tetapi tidak boleh disalin mentah
Ada yang mungkin berargumen: “Indonesia berbeda, akses dan kualitas PAUD kita beragam, teknologi bisa membantu pemerataan.” Argumen ini benar sebagian. Tetapi justru karena keragaman dan keterbatasan, kita perlu memprioritaskan intervensi yang paling berdampak pada inti perkembangan anak. Untuk PAUD, inti itu bukan layar, melainkan relasi dan permainan.
Rujukan internasional berguna sebagai rambu, bukan sebagai template. WHO memberi batasan screen time sebagai prinsip kesehatan publik. World Health Organization+1 Swedia memberi contoh kebijakan kurikulum yang mengerem kewajiban perangkat pada prasekolah. Regeringskansliet+1 Kita bisa mengambil pelajaran: transformasi digital yang cerdas adalah transformasi yang memilih kapan harus mempercepat dan kapan harus menahan.
Rekomendasi kebijakan yang realistis dan dapat dieksekusi
Agar diskusi ini tidak berhenti sebagai opini, ada empat langkah kebijakan yang dapat segera dilakukan:
-
Pisahkan secara tegas desain GPD untuk PAUD dari jenjang lain.Inpres memberi mandat besar, tetapi implementasi PAUD harus berbasis perkembangan anak. JDIH+1
-
Tetapkan pedoman nasional “teknologi untuk kerja guru” di PAUD.Kementerian dapat merumuskan paket praktik baik: perencanaan, dokumentasi, komunikasi orang tua, bukan screen-based instruction untuk anak.
-
Adopsi rambu screen time sebagai standar kehati-hatian, bukan sekadar imbauan.Minimal, pedoman kelas PAUD harus kompatibel dengan rekomendasi WHO untuk usia dini. World Health Organization+1
-
Ubah indikator mutu PAUD agar tidak bias digital.Masukkan indikator bermain embodied, interaksi sosial, bahasa lisan, dan praktik budaya lokal sebagai bukti mutu yang setara dengan bukti digital.
Pada akhirnya, ukuran kemajuan PAUD tidak terletak pada seberapa cepat anak menyentuh layar, melainkan seberapa utuh anak tumbuh. Digitalisasi pendidikan adalah keniscayaan. Tetapi pada PAUD, kebijakan yang progresif sering kali justru tampak “melambat”: menahan layar, memperbanyak bermain, dan menguatkan peran guru sebagai penjaga keseimbangan perkembangan anak.
Leave a Comment