| 0 Comments | 606 Views

Card Image

diterbitkan di buku The Journey of Santri: Perjalanan Santri Meraih Prestasi

Perjalanan hidupku cenderung datar. Karenanya, ia barangkali tidak menarik untuk diceritakan. Ia tidak seperti narasi kisah- kisah sekuel yang menggugah emosi, ia tidak punya dinamika naik-turun yang apik untuk menyihir para pembaca jika diadaptasi menjadi carpet atau novel atau penonton jika diadaptasi menjadi film.

Jika ada satu hal yang membuatku menuliskan ini, maka itu adalah sebuah keyakinan, keyakinan seorang anak bahwa perjalanan hidupnya senantiasa dilindungi dan ditopang oleh komitmen dan doa orang tua. Cara terbaik menggambarkan kehidupan masa kecilku barangkali melalui sepeda motor Bapak—Apa kami memanggilnya— Honda CB 100 keluaran 1986. Onda Sebe, begitulah kami menyebutnya. Beberapa daerah memang menyebut ‘sepeda motor’ dengan istilah Honda atau onda. Sama seperti semua deterjen disebut rinso atau odol disebut pepsodent. Sebe, mungkin memang seri motornya, motor CB. Apapun itu, Onda Sebe itu sangat dekat denganku.

Mengapa demikian? Onda Sebe adalah sepeda motor yang dipakai orang tuaku. Entah kenapa, ia begitu menyenangi motor ini. Motor itu telah ada sebelum aku dilahirkan. Sampai sekarang masih ada. Kondisinya? Aku tidak tahu bagaimana menggambarkannya. Mungkin begini saja. Pada waktu-waktu tertentu, motor itu tidak ada yang bisa mengendarai selain Apa. Jadi tak perlu dikunci, karena dijamin tidak ada yang bisa mengambil. Bahkan, slot kuncinya juga sudah tidak aktif. Bisa Anda bayangkan? Tapi jika tuannya datang, jreng-jreng, dengan ajaib ia hidup dan membawa orang tua kemana dia suka.

Karena ia telah ada bahkan sebelum aku berdarah, berdaging, bertubuh, dan bernyawa, tentu saja ia telah menyimpan banyak memori, melebihi dari apa yang bisa diceritakan. Tentu saja bukan hanya memori tentang keluargaku secara utuh, bukan aku pribadi. Sepertinya tidak berlebihan jika CB itu telah menjadi ‘monumen’ bagi keluarga kami.

Sekolahku ketika itu agak jauh dari perumahan warga. Di belakangnya ada semak belukar. Praktis, aku di sana benar-benar sendirian. Tidak aneh bagiku ketika itu. Karena memang aku tinggal di desa. Semak belukar ada di mana-mana. Sesekali justru pulang sekolah aku dan teman-teman cari jalan pintas memasuki semak dan parak warga.

Ketika remaja, zaman nakalnya anak sekolahan, aku bukanlah siswa patuh yang duduk melipat tangan di kursi paling depan sambil serius mendengarkan guru mengajar plus tidak pernah ketinggalan catatan. Kenakalan-kenakalan anak sekolahan juga aku jalani. Mulai dari tidur di kelas, menyontek ketika ujian, tidak mengerjakan PR, mengerjakan PR matematika pada saat pelajaran Bahasa Indonesia, ribut dan bikin heboh di kelas, dan sebagainya. Tapi, bukan kebetulan, bolos sekolah tidak termasuk dalam list kenakalanku waktu di sekolah. Begitulah sebuah komitmen orang tua menurun kepada anaknya.

Komitmen itu tidak dipaksakan, ia datang dari dalam. Tampaknya, orang tuaku cukup berhasil menanamkan komitmen yang tadi itu. Komitmen tersebut terbawa meskipun saya telah meninggalkan rumah, belajar di pesantren. Tidak jauh sih dari rumah. Hanya jarak perjalanan darat 1 jam. Tapi ketidakhadiran orang tua di sekitar ketika di pesantren tidak begitu banyak berpengaruh terhadap gaya belajar dan sekolahku, karena mereka telah menanamkan komitmen itu.

Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek, itulah nama pondok pesantren tempatku ngaji. Selama enam tahun aku di sana, menimba ilmu kepada sejumlah guru. Jadwal ajar di sana sangat padat karena menggabungkan tiga kurikulum; kurikulum Diknas, Kemenag, dan muatan lokal. Dalam padatnya jadwal tersebut, aku masih sempat aktif beraktivitas di kegiatan-kegiatan ekstra. Di dunia seni, aku pernah ikut grup musik—aku bermain lira dan pertunjukan pantomim. Aku juga aktif mengikuti program-program kebahasaan. Di sana, kami digenjot sedemikian rupa untuk bisa lancar berbahasa Arab dan Inggris. Lomba pidato, itulah yang sering saya ikuti selama di pondok pesantren.

Pengetahuan dasar tentang disiplin-disiplin ilmu Islam tentu saja juga mulai ditempa di masa pesantren. Saya mulai mengenal Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid, Ushul Fiqh, `Ulūm al-Qur’ān, dan sejarah. Ilmu alat juga; Nahwu, Sharf, Mantiq, dan Balaghah.

Kehidupan di pesantren menciptakan sebuah mimpi, menuntut ilmu di Mesir. Pesantren kami bukanlah pesantren yang sangat hierarkis dan ketat dengan milieu senioritas. Akan tetapi, para senior memang ‘memesona’. Melihat mereka membaca kitab gundul tanpa baris, yang tulisannya rapat dan kecil, sebagiannya sangat tebal, terdecak kagum di dalam hati. “Kapan ya aku bisa seperti mereka?!” Salah satu kekaguman yang muncul tentu melihat mereka yang melanjutkan studi ke Mesir. Bagaimana tidak! Para alumni yang studi di Mesir adalah mereka yang diidealkan. Setiap tahun mereka dilepas secara simbolik di Masjid, di depan semua santri. “Suatu saat, saya harus ke Mesir!”, begitu gumamku ketika itu.

Kesempatan itu datang. Di kelas 4 (begitu kami menyebut kelas 1 Aliyah atau kelas 10 untuk sistem pendidikan Nasional saat ini), dibuka seleksi beasiswa untuk pendidikan tingkat Tsanawiyah (setingkat SLTA di Indonesia) di Mesir melalui kedutaan besar. Saya cukup percaya diri dengan jalannya seleksi. Ternyata percaya diri tidak cukup, karena waktu itu memang saya tidak lulus.

Kegagalan ke Mesir bukanlah satu-satunya kegagalan yang saya dapatkan. Beberapa kali saya dilibatkan dalam perlombaan- perlombaan, mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, dan mentok di tingkat provinsi. Tapi perlombaan-perlombaan itu tidak ada yang begitu mengesankan. Suatu ketika, saya mengikuti program exchange student ke Amerika Serikat. Saya juga gagal!

Tunas Mimpiku Berkembang di Jogja

Di antara kegagalan tersebut, satu keberhasilan yang sangat penting saya syukuri, mendapatkan beasiswa PBSB jurusan Tafsir-Hadis di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jika keberangkatanku ke pondok pesantren di umur 12 saya anggap sebagai milestone penting dalam perjalanan hidupku, maka beasiswa dan Yogyakarta adalah milestone penting lainnya. Hingga saat ini, saya punya dua kota istimewa: Bukittinggi dan Yogyakarta. Bukittinggi untuk 6 tahun nyantri, dan Yogyakarta untuk 6 tahun studi lanjutan S1 dan S2.

Singkat cerita, saya lulus seleksi, dan terbang ke Yogyakarta. Di sini petualangan baru dimulai. Jogja ternyata menyenangkan. Aku menikmati sekali masa-masa di Yogyakarta. Kotanya cukup kecil. Iklim akademisnya sangat kental, tak salah ia disebut kota pelajar. Aku merasa cocok dengan Yogyakarta, dan tentu saja UIN Sunan Kalijaga. Di waktu-waktu tertentu, barangkali hampir sekali dalam seminggu ada even-even akademis, baik berupa seminar, bedah buku, atau workshop, mendatangkan pembicara-pembicara kawakan di bidang masing-masing.

Di Yogyakarta kamu juga akan menemukan banyak forum-forum diskusi informal. Aku ikut beberapa. Pernah aku ikut kelas gender untuk pemula yang diadakan oleh LSM Mahardika. Pernah pula aku ikut kelas Epistemologi di penerbit Kanisius Yogyakarta. Ketika Masjid UIN Sunan Kalijaga rampung, di sana ada kajian rutin; yang sering aku ikuti adalah sirah nabawiyah dan tafsir.

Setiap kamis malam ada diskusi para dosen di kampus. Rabu malam tentu saja kelas Filsafat di Masjid Jendral Sudirman yang diampu oleh Bapak Fakhruddin Faiz. Beberapa dosen juga membuka forum diskusi di kediaman mereka. Aku beberapa kali ikut kelas Pak Sahiron Syamsuddin, yang membuka kelas `Ulumul Qur’an dan Hermeneutika. Modelnya seperti belajar di pesantren; membaca teks baris per baris, dan disyarah.

Yogyakarta juga membuka mataku; dunia ternyata lebih luas daripada yang aku bayangkan. Tafsir jauh lebih beragam daripadaJalālayn yang kubaca di tingkat Tsanawiyah dan al-Maraghi yang dibaca ketika Aliyah. Fikih lebih dinamis daripada Fath al-Mu`īn dan I`ānat al-Tālibīn yang tak tamat dibaca ketika di Pondok. Tentu saja, aku berkenalan dengan nama-nama baru yang berkontribusi dalam tradisi keilmuan Islam kontemporer seperti Arkoun, al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Fatimah Mernissi, Amida Wadud Muhsin, dan sebagainya. Benar kata para bijak bestari, semakin kamu masuk ke lautan ilmu, semakin kamu tahu betapa kerdilnya kamu. Kullumā izdadtu `ilman izdadtu mazrifatan bijahālatī; lebih kurang demikian kata Imam al- Syafi`i.

Dengan iklim seperti itu, di Yogyakarta aku juga mulai lebih intens berkenalan dengan dunia tulis menulis. Di suatu malam, selepas shalat Isya, tiba-tiba HP berdering; satu sms masuk. “Li, kita lagi bikin tim jurnal, mau g jadi layouter?”

“Boleh...!” Pesan terkirim.

Malam itu di lantai tiga Pondok Pesantren Aji Mahasiswa Al-Muhsin, sedang berlangsung rapat formatur CSSMoRA UIN Sunan Kalijaga. Entah siapa yang punya ide, namaku didapuk menjadi kandidat lay- outer. Barangkali mereka melihat jidatku ada ukiran-ukirannya, nyeni begitu; layak jadi layouter buletin/majalah. Kenyataannya? Pengetahuan dan pengalamanku tentang design grafis? NOL besar.!

Aku juga tidak tahu mengapa ketika itu aku begitu saja menerima tawaran mereka. Yang aku tahu, kalau sudah setuju, maka pertanggungjawabkan. Cari software Photoshop atau Corel Draw, latihan, otodidak. Tanya-tanya ke beberapa teman, baca tutorial di internet, lihat video di Youtube. Tapi tak bisa dipungkiri, dunia desain ini dunia seni; dan satu-satunya seni yang sangat dekat denganku hanyalah air seni. Makanya desain buletinnya—disepakati bermana SARUNG, berakronim Suara Rumput Ilalang—tak pernah bagus. Tapi ya tak mengapa, karena tahun pertama itu, aku bersama empat orang lainnya, Mas Apit, Mas Makmun, Wulan Suminar, dan Mbak Isti, konsisten mengeluarkan publikasi dwi mingguan.

Aktivitas di SARUNG membawaku lebih dalam ke dalam aktivitas menulis. Meskipun menjadi layouter, tak jarang tulisan yang masuk ke meja layouter masih butuh diedit. Dalam banyak kasus itu karena faktor kuantitas tulisan. Tulisan yang masuk terlalu pendek sementara ruang yang tersedia masih terlalu lapang. Akhirnya, aku terpaksa menambah sebisanya; kalau dikembalikan ke editor apalagi penulis, tentu saja penerbitan tertunda. Aku tak mau itu terjadi. Dalam beberapa kasus juga problem kualitas. Akhirnya, pengalaman di SARUNG membawaku ke jenjang yang lebih tinggi; mengurusi penerbitan majalah untuk CSSMoRA tingkat Nasional, Majalah SANTRI.

Bukan hanya bidang penulisan populer, aku juga melibatkan diri dalam tulisan akademik. Beberapa kali aku ikut Lomba Karya Tulis Ilmiah. Coba tebak, berapa kali aku juara? Tidak Pernah! Memang tulisan akademikku tidak pernah memenuhi selera juri perlombaan LKTI. Tapi aku cukup bersyukur, ternyata tulisanku cukup baik untuk selera beberapa redaktur jurnal. Di sini lah tulisanku lebih banyak muncul.

Semuanya berawal dari cita-cita kecil, yang mungkin saja tidak banyak dipikirkan para mahasiswa lainnya; “aku harus punya publikasi ilmiah yang nantinya aku rujuk sendiri di dalam skripsi!” Satu-satu cita-cita lainnya, “aku harus menulis skripsi dalam bahasa Inggris!”

Kedua cita-cita ini aku upayakan secara berbarengan. Makalah- makalah kelas selalu aku seriusi. Beberapa tema yang aku suka, dan potensial untuk ditindak lanjuti, aku terjemahkan ke Bahasa Inggris. Aku juga memperbaiki bahasa Inggrisku. Di semester tiga, aku ke Pare, meskipun hanya 2 minggu, mengambil kelas translation. Sejak saat itu, waktu-waktu iseng aku isi dengan membaca teks berbahasa Inggris dan menerjemahkan makalah sendiri ke bahasa Inggris.

Untuk refreshing, aku menonton film, dan memilih subtitle Inggris. Hasilnya, di semester kelima artikel pertamaku berbahasa Inggris diterbitkan di jurnal jurusan di Kampus, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis. Sungguh puas sekali rasanya ketika itu. Satu semester setelahnya, satu lagi tulisan review buku diterbitkan di Jurnal Musawa. Satu semester setelahnya, aku menulis skripsi berbahasa Inggris, dan salah satu footnote-nya mengutip artikelku di Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis. Ketika menuliskannya di daftar pustaka, rasanya lebih indah daripada mimpi basah!

Panggilan untuk Kembali ke Pesantren

Tahun 2012 aku menyelesaikan studi S1. Komitmen PBSB memanggilku untuk kembali pulang ke pesantren asal untuk pengabdian. Tapi, sebenarnya aku punya kesepakatan informal lain dengan pihak pondok.

Kalau kalian ingin jadi guru, di sini banyak guru! Tak usah pikirkan tentang itu (pengabdian)”, begitu lebih kurang kata Ust. Zulfahmi, kepala Madrasah Aliyah menjelang ia memberikan tandatangan rekomendasi keikutsertaan saya di PBSB.

“Pengabdian itu berjalan sepanjang saat, dalam bentuk yang beragam, tidak dibatas hal-hal teknis seperti ini”, demikian kata Buya Deswandi, Pimpinan Pondok ketika itu.

Singkatnya, pihak pondok, ketika aku mau mendaftar PBSB tidak mensyaratkan aku untuk balik mengabdi, karena bagi mereka itu hanya akan menghambat potensiku.

Akan tetapi, aku menghadapi situasi yang pas-pasan. Pas lulus, pas pondok lagi mencari guru, terutama untuk disiplin ilmu yang menuntut kemampuan baca kitab. Di samping itu, posisi-posisi strategis dan penentu kebijakan di tahun 2012 tidak lagi mereka yang menjabat di tahun 2008 ketika saya dilepas. Saya dipanggil balik untuk mengabdi.

Saya menghabiskan waktu satu tahun di pondok pesantren, melakukan apa saja yang bisa aku lakukan. Menjadi guru mata pelajaran, tentu saja. Aku mengajar Nahwu di kelas 2, Hadis di kelas 4, dan IT di kelas 5. Saya juga dilibatkan menjadi pembimbing dan penguji paper—semacam karya tulis tugas akhir seperti skripsi untuk mahasiswa S1, pembina Khidmatul Ummah—semacam KKN, dan tim pengajar program takhassus kitab kuning persiapan lomba MQK. Aku juga jadi wali kelas, pembina asrama, dan memegang ekstrakurikuler kelas menulis dan jurnalistik.

Tapi ternyata pengabdian juga mengasyikkan. Meskipun sibuknya bukan kepalang tanggung, saya cukup menikmatinya. Terutama sekali di beberapa momen, seperti ketika menjadi pelatih pementasan teater. Momen sangat menyenangkan, karena dengan pementasan tersebut aku berhasil menyatukan siswa kelas 4 IPS yang sebelumnya terkotak- kotak antargeng.

Kembali Studi Ke Jogja

Tapi aku hanya satu tahun menetap kembali di tanah pengabdian. Aku tidak bisa menyimpan mimpi untuk melanjutkan studi ke jenjang S2. Saya kembali ke Yogyakarta. Dua tahun terasa sangat singkat. Pada 2013 saya kembali, kemudian pada 2015 tiba-tiba lulus. Dan segera, di tahun yang sama, Alhamdulillah saya mendapatkan kabar gembira; studi lanjut ke jenjang S3.

Saya diterima di salah satu Universitas di Jerman untuk melanjutkan studi. Bukan hanya diterima sebagai mahasiswa, saya juga mendapatkan beasiswa sekaligus kesempatan menjadi asisten peneliti seorang professor di sana. Hal ini membuat beban saya menjadi lebih ringan, karena saya tidak perlu lagi krusak-krusuk mencari beasiswa dari funding yang berbeda, seperti LPDP atau Beasiswa 5000 doktor.

Saya mendapatkan kesempatan kuliah bukan dari jalur yang populer di Indonesia, dari beasiswa 5000 doktor Kementerian Agamaatau LPDP, melainkan dari DFG (Deutsche Fourschungsgemeischaft). Saya mendapatkan semua itu secara kebetulan; terjadi begitu saja. Beberapa hari setelah saya sidang tesis di UIN Sunan Kalijaga, saya menemui salah seorang dosen, Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin.

Ketika itu saya minta wejangan dan rekomendasi siapa professor yang bisa saya hubungi untuk mendapatkan Letter of Acceptence (LoA). Ketika itu, maksud saya adalah untuk LPDP, karena saya belum bisa mendaftar lewat beasiswa 5000 doktor, terkendala masalah NIDN. Saya mengintai Angelika Neuwirth, salah seorang professor studi Al- Qur’an ternama dan yang saat ini tulisannya sangat mewarnai wacana studi Qur’an di Barat. Akan tetapi, menurut Pak Sahiron, ia sudah terlalu sepuh. Ia menyarankan Johanna Pink sebagai gantinya.

Kira-kira seminggu berselang, saya dihubungi oleh Ketua Jurusan Agama dan Filsafat di Pascasarjana, Bapak Dr. Moch Noor Ichwan. Katanya, seorang professor di Jerman sedang mengajukan proposal penelitian, dan dalam risetnya, ia akan butuh seorang calon mahasiswa S3 yang mampu berbahasa Arab, Inggris, dan Indonesia.

Kamu tertarik g?

Saya kaget, “kalau iya kamu saya rekomendasikan.”

Sepertinya si Bapak bercanda; tentu saja saya tertarik. Tapi siapa sangka, kekagetan saya bertambah setelah tahu bahwa si professor yang dimaksud oleh Pak Ichwan adalah Johanna Pink. Kebetulan, Kan?

Selanjutnya, pada Agustus 2015, UIN Sunan Kalijaga mengadakan konferensi studi Qur’an level Internasional bersama International Qur’anic Studies Association (IQSA). Banyak pakar studi Qur’an diundang ketika itu. Ini adalah momen yang sangat saya tunggu-tunggu selama hampir setahun semenjak pertama kali infonya beredar.

Pertama, tentu saja karena ini adalah konferensi studi Qur’an, tingkat internasional, dan saya adalah pelajar studi Qur’an. Kedua, karena nama-nama pakar yang disebut-sebut akan hadir. Ketiga, karena saya ikut mengirimkan paper untuk menjadi salah seorang pemakalah dalam Graduate Forum. Saya tidak menyangka ternyata ada satu alasan lainnya, alasan yang paling membuat saya semakin excited ketika rundown acara telah release; salah seorang dari pakar yang akan datang dan presentasi adalah Johanna Pink. Sebuah kebetulan lagi.

Saya sidang tesis pada bulan Juni 2015. Juli adalah Ramadhan, artinya saya pulang kampung. Agustus tanggal 3-6 adalah jadwal konferensi. Alhamdulillah paper saya diterima untuk dipresentasikan di sana. Dua hari setelahnya, saya diwisuda. Agustus menjadi bulan terbaik pada tahun itu. Akan tetapi, saya masih punya mimpi untuk lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Saya kembali mendatangi Bapak Ichwan menanyai tentang proposal riset Johanna Pink.

Saya mencium peluang yang belum pasti. Artinya, saya harus mengambil langkah yang lebih kongkrit dari sekedar menunggu. Saya memutuskan untuk membuat proposal disertasi sendiri, kembali ke target LPDP, dan ajukan kepada seorang professor sebagai calon supervisor. Siapa supervisor yang saya target? Tentu saja Johanna Pink. Saya melakukan korespondensi dengannya membahas proposal disertasi yang saya ajukan. Saya yakin, kalaupun penelitian yang diajukan oleh Johanna terlalu lama atau mandeg, saya akan menjalankan proposal ini, lalu berperang melalui LPDP.

Saya beberapa kali melakukan revisi sesuai dengan review dia. Ketika proposal disertasi tersebut sampai pada titik paling akhir, editan terakhir, email dari Johanna Pink masuk, “Kamu tertarik untuk terlibat dengan riset saya? Funding-nya telah disetujui, dan saya sekarang memastikan siapa yang akan jadi asisten saya. Jika kamu setuju, kamu bikin satu proposal lagi, sesuai dengan tema besar proposal saya. Ada sejumlah kandidat lainnya. Semuanya saya suruh membuat proposal. Nanti saya akan pilih satu orang yang terbaik.” Wawww...!!!

Singkat cerita, saya diterima. Alhamdulillah. Begitulah ia, kebetulan demi kebetulan yang datang berganti-ganti di waktu yang tepat. Tidak ada yang istimewa. Secara sederhana begitulah kronologinya.

S3: Belajar Menjadi Muslim Jerman

Saat ini, saya masih di tahun akhir masa studi S3. Saya harus sesegera mungkin menyelesaikan disertasi, lulus, dan melanjutkan langkah. Studi S3 di Jerman memperlebar horizon saya. Saya mengalami hidup menjadi minoritas Muslim di tengah masyarakat non-Muslim, minoritas imigran Asia di tengah masyarakat Eropa. Pengalaman ini membuat saya berani menyatakan, setiap orang Indonesia harus memiliki sedikit pengalaman hidup menjadi minoritas. Hanya dengan itulah kita bisa menjadi lebih mengerti. Dengan itu pula lah, kita bisa meresapi lebih dalam tentang ‘diri’. Berpuasa di musim panas tanah Eropa, misalnya, memberikanku pengalaman Ramadhan yang sendiri, jauh dari hingar-bingar festivalisasi agama, dan agresivitas media dan pasar. Aku menemukan intimasi baru dalam 2 kali Ramadhan di Jerman.

Studi di Jerman juga telah membawaku untuk perjalanan workshop dan presentasi ke beberapa wilayah. Sekali kunjungan ke Leiden, 2 kali di dalam negeri Jerman, sekali di Inggris, dan satu lagi—ternyata mimpi lama terkabulkan, meskipun dalam bentuk yang berbeda— ke Mesir. Tidak pernah menyangka, satu per satu usaha dan langkah yang saya ambil gagal, tapi satu per satu keberhasilan juga datang dan sangat menentramkan.

Saya ingin melengkapi cerita di atas dengan catatan refleksi.

Pertama, saya sangat merasakan, apa yang kita dapatkan hari ini tidak lepas dari peran orang tua, baik berupa doa maupun karakter yang mereka tanamkan di kehidupan kita. Saya sangat bersyukur, orang tua saya telah membekali saya dengan komitmen dan karakter yang semoga bisa terus saya pertahankan. Sungguh, ucapan terimakasih dan upaya terus-menerus mengganti semua itu tidak akan pernah cukup. Bahkan, kata mengganti sungguh sangat tidak relevan!

Kedua, apa yang kita dapatkan hari ini ada hasil dari apa yang kita lakukan kemarin. Ini tentu saja berkenaan dengan komitmen. Ketika semester 3, saya telah bermimpi menulis skripsi berbahasa inggris, dan merujuk tulisan saya sendiri di dalamnya. Semenjak saat ini saya berjalan selangkah demi selangkah untuk mencapai itu semua. Saya membuat standar pribadi untuk kualitas makalah, dan sering iseng menerjemahkannya.

Saya telah bermimpi untuk menjadi seorang distinguished scholars. Dengan demikian, publikasi adalah tulang punggung mimpi ini, di samping presentasi-presentasi. Hingga saat ini, saya telah memiliki belasan publikasi artikel di jurnal-jurnal di Indonesia. Levelnya tentu saja harus dinaikkan, dan perjalanan menuju publikasi internasional masih sedang dilakoni. Komitmen ini pada akhirnya bermuara pada kompetensi, dan kompetensi berujung pengakuan dan kepercayaan. Dengan itu, langkah kita akan lapang menghadapi segala kemungkinan dan semua kesempatan yang datang.[]


Leave a Comment