| 0 Comments | 27 Views

Card Image

Sumber foto: islami.co


Islam, sebagai agama, seringkali dipahami secara formalistik, bahkan oleh para pemeluknya. Formal artinya resmi, yakni sesuai dengan aturan, ketentuan, dan berdasarkan struktur yang berlaku. Pemahaman terhadap Islam secara formalistik berarti pemahaman yang lebih menekankan aspek yang formal, seperti doktrin, aturan, ritual, dan struktur normatif yang berlaku sebagai ajaran Islam secara resmi. Misalnya, pada setiap malam bulan Ramadhan sebagian besar umat Islam melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah di masjid. Para jamaah mengikuti gerakan dan bacaan imam secara mekanis, tanpa memahami makna bacaan atau hikmah di balik gerakan shalat. Ibadah shalat tarawih menjadi sekedar rutinitas fisik dan mekanis. Contoh lainnya, dalam beberapa kasus haji “plus”, prosesi ritual haji menjadi ajang swafoto dan upload status. Ritual haji secara formal terlaksanakan, namun dimensi spiritual dari ritual tersebut relatif terabaikan. Dua contoh tersebut menunjukkan bagaimana Islam dipahami secara formalistik dengan lebih mementingkan pelaksanaan ritual dan simbol keagamaan Islam yang dianggap resmi.

Pemahaman formalistik terhadap Islam berkenaan dengan beberapa aspek. Pertama, doktrin dan aturan-aturan keagamaan. Dalam hal ini, Islam dimengerti sebagai sekumpulan ajaran formal yang memuat norma, nilai, doktrin, dan aturan-aturan hukum yang terkodifikasi, sebagaimana terangkum dalam Alquran dan Hadits. Islam sebagai agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW memiliki sistem doktrinal dan ajaran yang dinilai berbeda dengan agama-agama lainnya, misalnya Yahudi dan Nasrani. Kodifikasi sistem ajaran Islam ini dikenal sebagai syariah. Bagi umat Islam, syariah merupakan acuan formal dalam mengatur kehidupan individual, sosial, dan bahkan politik. Syariah diyakini telah menjelaskan sistem sosial, ekonomi, dan politik Islam yang menyeluruh dan terperinci (Effendy, 2011). Islam formalistik mengukur kualitas keislaman seseorang dari penegakan dan pelaksanaan aturan-aturan yang termuat dalam syariah.

Kedua, ibadah dan ritual. Dalam hal ini, Islam dimengerti sebagai sistem kepercayaan yang dimanifestasikan dalam praktik ibadah dan ritual-ritual keagamaan yang terstruktur. Praktik ini tidak hanya melibatkan amalan individual tetapi juga ritual komunal. Kegiatan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji dipahami sebagai sarana formal untuk mengekspresikan keimanan setiap individu Muslim dan sekaligus mempererat ikatan sosial dalam komunitas. Ibadah dan ritual tersebut adalah khas Islam dan berbeda dengan sistem ritual dan peribadatan agama-agama yang lain. Keterlibatan individu Muslim dalam ibadah dan ritual keislaman menegaskan identitas, semangat persatuan, dan solidaritas antar umat. Islam formalistik menilai kualitas keislaman seorang Muslim dari seberapa banyak ia telah menjalankan ibadah dan ritual tersebut secara formal.

Ketiga, institusi keagamaan (religious institution). Dalam hal ini, Islam dimengerti sebagai agama dalam bentuk institusional yang ditandai dengan keberadaan lembaga-lembaga resmi seperti masjid, pesantren, dan organisasi-organisasi keislaman lainnya. Lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi keagamaan, pendidikan, serta kegiatan sosial yang mendukung penyebaran nilai-nilai Islam. Masjid berperan sebagai tempat ibadah dan pusat peradaban umat, pesantren menjadi lembaga pendidikan dan pembinaan karakter generasi muda, sementara organisasi keislaman berperan sebagai wadah bersama umat Islam dalam menyelenggarakan program-program dakwah, kemanusiaan, dan keumatan. Institusi keagamaan Islam menjadi wadah dimana keyakinan dan praktik keagamaan dipertautkan secara organisasional dan dilestarikan agar dapat dijalankan secara berkelanjutan. Islam formalistik mengganggap penting keterlibatan individu Muslim dalam institusi keislaman dan seringkali dijadikan sebagai jangkar identitas keislamannya.

Keempat, fungsi sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dalam hal ini, Islam dimengerti sebagai agama yang mempunyai peran penting dalam pembentukan identitas kolektif serta pembangunan tatanan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang berlandaskan pada nilai-nilai keislaman. Islam turut mengatur dinamika sosial dan memberikan kerangka bagi pengambilan keputusan dalam berbagai aspek kehidupan. Pemahaman formalistik terhadap Islam mengedepankan bentuk-bentuk formal ajaran Islam dalam mengatur dan mengelola moralitas, etika, dan tatanan sosial masyarakat.

Dari sudut pandang filsafat, pemahaman terhadap Islam secara formalistik ini merupakan pemahaman yang lebih mementingkan bentuk (form) daripada isi (substance; substansi) dalam beragama. Menurut Aristoteles, setiap entitas terdiri dari dua aspek fundamental, yaitu materi (hyle) dan bentuk (morphe). Materi adalah substansi dasar yang membentuk sesuatu atau komponen potensial yang belum terwujud, sementara bentuk adalah struktur atau kualitas yang memberikan identitas pada sesuatu atau realitas aktual sesuatu. Dalam konteks pemahaman Islam secara formalistik, kecenderungannya mengarah pada pengutamaan aspek eksternal yang menyerupai ‘bentuk’ (morphe), seperti ritual, institusi, dan aturan-aturan yang terkodifikasi, yang manifes, tampak, dan terorganisasi secara jelas.

Fazlur Rahman mengidentifikasi pemahaman terhadap Islam secara formalistik sebagai cara membaca dan mengamalkan Islam yang terlalu menekankan literalitas teks dan ritual, dimana aturan serta tata cara ibadah dipandang sebagai satu-satunya ukuran keabsahan keislaman. Menurutnya, pemahaman semacam itu mengabaikan konteks dan dinamika kehidupan (Rahman, 1966). Sementara menurut Nurcholish Madjid, pemahaman terhadap Islam secara formalistik merupakan bentuk pendekatan terhadap Islam yang kaku, dogmatis, mengakar pada tradisi taqlīd (meniru penafsiran lama tanpa kritik), dan lebih mengutamakan ritual dan norma-norma yang baku tanpa memberi ruang untuk pengembangan interpretasi yang kontekstual dan progresif (Madjid, 1998).

Meskipun banyak ahli yang mengkritik Islam formalistik karena dinilai kaku, hanya mementingkan tampilan lahir, dan lebih mengutamakan pelaksanaan ajaran Islam secara formalistik, pemahaman terhadap Islam secara formalistik ini memiliki peran krusial dan nilai positif tertentu. Peran dan nilai positif tersebut dapat dirinci berikut ini.

Pertama, kepastian doktrin, aturan, dan ritual. Islam formalistik menyediakan panduan dan tata cara yang jelas dan terstruktur tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan ajaran dan praktik keislaman, seperti rukun iman, rukun Islam, bacaan dalam shalat, hingga doa sehari-hari. Kepastian ini memudahkan pengajaran agama, menjamin keseragaman ibadah dan praktik ritual Islam yang dilaksanakan di berbagai wilayah umat Islam, serta mencegah kerancuan umat Islam dalam beribadah dan melaksanakan ajaran agama mereka.

Kedua, disiplin dan kesinambungan tradisi keagamaan. Islam formalistik –yang mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam secara formal– berperan penting dalam mengarahkan dan membina kebiasaan umat Islam dalam melaksanakan ibadah, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, ibadah-ibadah sunnah, serta ibadah-ibadah lainnya. Pembinaan kebiasaan ini bermanfaat bagi penanaman kedisiplinan diri yang tinggi. Secara komunal, ajaran-ajaran Islam yang dilaksanakan secara komunal dengan cara yang sama dari waktu ke waktu dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dapat menjaga kelestarian, kesinambungan, dan kontinuitas ajaran Islam.

Ketiga, identitas keagamaan. Islam formalistik, melalui doktrin, ajaran, ritual, simbol-simbol, dan institusi keislaman memberikan identitas keagamaan yang kuat bagi umat Islam. Kejelasan ajaran dan praktik keislaman membantu mereka merasakan kebersamaan dan ikatan kolektif sebagai ummah, serta mempertegas kedudukan mereka dalam lanskap keagamaan global. Di Indonesia misalnya, pelaksanaan ibadah formal tertentu, seperti haji, memberikan identitas dan status baru bagi individu yang melaksanakannya.

Keempat, stabilitas sosial. Islam formalistik menjamin terciptanya stabilitas sosial di kalangan umat Islam ketika mereka melaksanakan dan mengikuti ajaran dan ritual secara bersama. Dari pelaksanaan tersebut tercipta rasa persaudaraan dan solidaritas di antara mereka. Misalnya, pelaksanaan zakat, sedekah, dan pemotongan hewan qurban pada Idul Adha akan memperkuat rasa tolong-menolong, semangat gotong-royong dan saling membantu di kalangan umat Islam. Pelaksanaan ibadah tersebut secara rutin akan menjamin terciptanya stabilitas sosial di kalangan mereka.

Peran krusial dan nilai positif di atas menunjukkan bahwa kecenderungan beberapa kalangan umat Islam dalam memahami agamanya secara formalistik bukanlah fenomena yang sepenuhnya negatif. Islam formalistik bukan hanya soal kepatuhan lahiriah semata, melainkan juga merupakan fondasi yang kokoh untuk kedisiplinan diri, kontinuitas dan kesinambungan tradisi, kesatuan dan solidaritas ummah, serta stabilitas sosial yang mendukung perkembangan peradaban Islam yang lebih maju. ®


REFERENCES

 

Effendy, B. (2011). Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Edisi Digital). Democracy Project.

Madjid, N. (1998). Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer. In Jakarta: Paramadina.

Rahman, F. (1966). Islam. The University of Chicago Press.

 


Leave a Comment