| 0 Comments | 32 Views

Card Image

Sumber foto: FOSGAMA Mesir

Istilah “Islam normatif” muncul dalam ranah studi Islam di era modern sebagai sebuah konsep. Para akademisi dari kalangan orientalis Barat dan sarjana Muslim kontemporer menyadari bahwa mengkaji Islam sebagai sekadar kumpulan doktrin teologis atau aturan peribadatan formal tidak lagi memadai. Lebih daripada itu, Islam perlu dilihat sebagai realitas yang kompleks dan multidimensional yang termanifestasikan dalam berbagai aspek, seperti doktrin keagamaan, sosial, hukum, politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan bahkan spiritualitas. Tokoh seperti Wilfred Cantwell Smith (1957), Marshall G.S. Hodgson (1974), Fazlur Rahman (1979), Abdullah Saeed (2006), Harun Nasution (1985), hingga Amin Abdullah (1996) secara konsisten menegaskan kompleksitas ini dan menguraikan beragam aspek realitas keislaman dalam karya-karya mereka dengan menggunakan Islam normatif sebagai salah satu kerangka kerja konseptual.

Tidak bisa dipastikan siapa yang pertama kali menggunakan konsep Islam normatif ini secara spesifik. Namun demikian, Fazlur Rahman seringkali dijadikan referensi ketika sarjana modern menggunakan konsep ini. Dalam karyanya Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Rahman menekankan perlunya membedakan antara Islam normatif (normative Islam) dan Islam historis (historical Islam). Ia menggunakan konsep Islam normatif (normative Islam) untuk menyebut ajaran inti Islam sebagaimana termaktub dalam Alquran dan Hadits. Aspek normatif ini perlu dibedakan dengan aspek historis yang berupa interpretasi dan praktik historis umat Islam. Rahman mengakui bahwa beberapa sarjana Barat telah memberikan kontribusi penting dalam studi Islam dengan memberikan wawasan baru berkenaan dengan perkembangan Islam historis, meskipun mereka terhalang untuk berkontribusi secara akademik pada Islam normatif (Rahman, 1982).

Senada dengan distingsi konseptual yang dirumuskan Rahman tersebut, di Indonesia, konsep Islam normatif menjadi lebih populer melalui karya Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Pada bagian pengantar karya tersebut, Abdullah menulis:

Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagamaan manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Ia tidak lagi hanya dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu –meskipun fenomena ini sampai kapan pun adalah ciri khas daripada agama-agama yang ada– tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut dan terkait erat dengan historisitas pemahaman dan interpretasi orang-perorang atau kelompok-perkelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model amalan dan praktik-praktik ajaran agama yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya, normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat pendekatan doktrinal-teologis, sedangkan historisitas keberagamaan manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural, maupun antropologis (Abdullah, 1996).

 

Pandangan dari Fazlur Rahman dan Amin Abdullah di atas menunjukkan bahwa konsep Islam normatif berkenaan dengan empat hal. Pertama, Islam normatif merujuk pada versi Islam yang ideal atau resmi, yakni ajaran Islam sebagaimana termaktub di dalam Alquran dan Hadits sebagai sumber yang paling otoritatif, serta pemikiran para ulama, baik berupa pandangan maupun keilmuan, yang bersumber langsung pada sumber Alquran dan Hadits. Kedua, Islam normatif merupakan ajaran inti Islam yang terdiri dari doktrin tentang keyakinan (‘aqīdah), prinsip-prinsip ibadah (shalat, puasa, zakat, haji), hukum-hukum syariat, serta nilai-nilai etika yang berlaku universal. Aspek-aspek ini dikenal sebagai ‘aqīdah, syarī‘ah, dan mu‘āmalah. Ketiga, Islam normatif menjadi standar acuan serta standar normatif dan ideal yang bersifat preskriptif dan mengajarkan bagaimana seharusnya ajaran-ajaran Islam dipahami dan diamalkan oleh umat Muslim. Keempat, dalam studi Islam, konsep Islam normatif dibedakan dengan Islam historis (atau bisa juga: Islam empiris), yakni Islam sebagaimana dipahami dan dipraktikkan dalam realitas sehari-hari umat Muslim di berbagai belahan dunia. Islam historis atau Islam empiris terkait erat dengan keragaman latar belakang budaya umat Muslim, penafsiran lokal, praktik-praktik tradisional, hingga penyimpangan-penyimpangan yang mungkin saja terjadi.

Nasr Hamid Abu Zaid mengajukan klasifikasi yang sedikit berbeda. Menurutnya, realitas keislaman dapat dikelompokkan ke dalam tiga wilayah. Pertama, wilayah teks asli Islam (the original text of Islam), yaitu Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad yang otentik. Kedua, wilayah pemikiran Islam, yang merupakan beragam pandangan dan keilmuan yang muncul dari penafsiran terhadap teks asli Islam (Alquran dan Sunnah). Ketiga, wilayah praktik keislaman yang dilakukan oleh umat Muslim (Abu Zaid, 1997). Klasifikasi ini, meskipun tidak secara spesifik menyebutkan aspek normatif dan historis, secara implisit menggambarkan dimensi normativitas ajaran Islam (teks asli; Alquran dan Sunnah, serta wilayah pemikiran Islam) dan dimensi historisitas yang berupa praktik keislaman yang bersifat historis-empirik.

Wilfred Cantwell Smith, seorang sarjana Kanada yang sangat berpengaruh dalam studi perbandingan agama juga memperkenalkan distingsi konseptual antara iman (faith; yaitu keyakinan dan pengalaman individu Muslim) dan tradisi yang terakumulasi (cumulative tradition; yaitu Islam sebagaimana dipraktikkan dalam sejarah dan masyarakat Muslim). Sama halnya dengan Abu Zaid, meskipun tidak secara persis menggunakan istilah normative Islam dan historical Islam, distingsi konseptual Smith menggambarkan dimensi ideal-normatif dan historis-empiris yang sama dan mempengaruhi cara pandang para sarjana setelahnya dalam mempelajari agama-agama, termasuk Islam. Melalui distingsi konseptual tersebut, Smith menekankan bahwa agama bukanlah entitas yang statis, melainkan realitas yang hidup dan dihayati secara dinamis (Smith, 2021).

Marshall Goodwin Simms Hodgson, seorang sejarawan Amerika yang menulis karya monumental The Venture of Islam juga membuat pembedaan konseptual antara Islam dan Islamicate (Hodgson, 1974). Islam merujuk pada agama, sistem keyakinan, dan ibadah; sementara Islamicate merujuk pada seluruh aspek budaya, peradaban, dan kehidupan sosial masyarakat yang hidup di bawah pemerintahan Muslim, terlepas dari apakah aspek-aspek tersebut bersifat religius murni atau sekuler. Distingsi konseptual ini, meskipun menggunakan istilah yang berbeda, dapat membantu dalam memisahkan secara konseptual antara doktrin dan ajaran inti Islam yang bersifat normatif dengan ekspresi budaya dan sosial umat Muslim yang bersifat historis-empiris.

Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika yang menghasilkan banyak karya tentang Indonesia, juga secara implisit membedakan antara dimensi normatif dan historis Islam. Karyanya yang berjudul Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia menyuguhkan deskripsi historis yang membandingkan bagaimana Islam dipahami dan dipraktikkan secara sangat berbeda di Maroko dan Indonesia, meskipun ajaran Islam yang dipraktikkan di dua negara tersebut bersumber dari teks asli Islam yang sama. Geertz, yang membedakan antara esensi atau ideal Islam (yang seringkali diasosiasikan dengan teks dan doktrin resmi) dengan manifestasi empiris yang beragam) telah berhasil mendeskripsikan dengan sangat baik bagaimana dimensi historis Islam di Maroko dan Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya lokal, sejarah, dan struktur sosial masing-masing (Lewis & Geertz, 1969).

Dalam konteks studi Islam kontemporer, pemahaman terhadap konsep Islam normatif dan pembedaannya dengan Islam historis ini sangat diperlukan untuk menghasilkan analisa yang lebih cermat dan mendalam. Setidaknya ada tiga hal yang menunjukkan pentingnya konsep ini. Pertama, konsep ini dapat membantu pemahaman akademis dalam studi Islam dan studi agama secara umum untuk  membedakan antara ajaran yang bersifat fundamental dan universal dengan praktik, interpretasi, dan manifestasi yang beragam di ranah historis dan sosial. Kedua, konsep ini dapat membantu dalam memahami wacana tentang pembaruan (tajdīd) ataupun gerakan pemurnian yang berupaya memperbarui ataupun mengembalikan praktik keislaman agar sesuai dengan sumber aslinya. Ketiga, konsep ini dapat membantu dalam memahami bahwa keragaman praktik keislaman di kalangan umat Muslim perlu selalu diukur dan didialogkan dengan ajaran dan prinsip-prinsip dasar yang bersifat fundamental, normatif, dan ideal, sebagaimana terkandung dalam Alquran dan Hadits. ®


REFERENCES:

 

Abdullah, Amin. (1996). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Pustaka Pelajar.

Abu Zaid, Nasr Hamid. (1997). The Textuality of The Koran. In W. R. Hugenkoltz & K. Van Vliet-leigh (Eds.), Islam and Europe in Past and Present. NIAS.

Hodgson, Marshall. G. S. (1974). The Venture of Islam: Vols. I, II, III. University of Chicago Press.

Lewis, I. M., & Geertz, C. (1969). Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. Man, 4(3). https://doi.org/10.2307/2798148

Nasution, Harun. (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya: Vols. I, II. UI Press.

Rahman, Fazlur. (1979). Islam. University of Chicago Press.

Rahman, Fazlur. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press.

Saeed, Abdullah. (2006). Islamic thought: An introduction. In Islamic Thought: An Introduction. https://doi.org/10.4324/9780203015247

Smith, W. C. (1957). Islam in Modern History. Princenton University Press.

Smith, W. C. (2021). The Meaning and End of Religion. In The Meaning and End of Religion. https://doi.org/10.2307/j.ctv1hqdhgt

 


Leave a Comment