| 0 Comments | 20 Views

Card Image

Cover buku Islam Substantif


Untuk membantu kita dalam memahami konsep Islam substantif, kiranya lebih tepat bila kita menempatkan konsep ini sebagai antitesa Islam formalistik yang telah saya bahas pada tulisan terdahulu. Dalam konteks perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, begitulah yang berlaku. Islam substantif muncul sebagai gagasan konseptual yang menantang kecenderungan formalistik di kalangan umat Islam di Indonesia, terutama dalam menyikapi persoalan politik dan bagaimana mestinya bentuk keterlibatan mereka di ranah politik.

Gagasan Islam substantif disuarakan oleh Azyumardi Azra, seorang cendikiawan Muslim Indonesia kontemporer (Rosmani, 2013). Meskipun gagasan tersebut sudah bisa dilacak dalam manifestasi konseptual yang berbeda pada masa Orde Baru, misalnya konsep neo-modernisme Nurcholish Madjid (Latif, 2022), Islam rasional Harun Nasution (Wasim, 2008), atau substantif reading Abdurrahman Wahid (Hosen, 2013), namun gagasan Islam substantif menemukan momentumnya setelah jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998. Azra menuangkan gagasannya itu dalam sebuah karya yang diterbitkan oleh penerbit Mizan tahun 2000. Karya itu berjudul: “Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih(Azra, 2000).

Substansi artinya inti, pokok, watak yang sebenarnya dari sesuatu, atau sesuatu yang mendasari. Secara harfiah, substansi berarti sesuatu atau hal yang menjadi dasar atau fondasi dari sesuatu yang lain. Substansi menyiratkan adanya suatu inti yang menopang agar sesuatu dapat berdiri atau eksis. Secara luas, istilah ini digunakan di berbagai disiplin ilmu untuk merujuk pada inti atau hakikat dari suatu entitas. Dalam filsafat (Aristoteles) misalnya, substansi adalah perpaduan antara materi (hyle) dan bentuk (morphe) yang membentuk entitas yang nyata dan konkret. Dalam ilmu alam, substansi mengacu pada materi atau zat yang menyusun objek secara fisik. Singkatnya, istilah substansi mencakup pengertian bahwa suatu objek memiliki hakikat atau inti yang menentukan identitas dan eksistensinya.

Konsep Islam substantif yang dimaksud Azra mengacu pada pandangan bahwa Islam sebagai agama memiliki substansi yang menjadi inti dan hakikat keberadaannya. Substansi itu berupa nilai-nilai dan prinsip-prinsip fundamental, dan bukan aturan-aturan, ibadah formal, ritual, maupun institusi keagamaan, sebagaimana yang diyakini oleh pandangan Islam formalistik. Bagi Azra, umat Islam harus lebih berkomitmen pada nilai-nilai dan prinsip fundamental tersebut ketimbang pada aturan-aturan maupun institusi formal keagamaan Islam. Pada titik inilah kita bisa menempatkan gagasan Islam substantif ini sebagai antitesa Islam formalistik.

Gagasan Islam subsantif yang disuarakan Azra ini dilatar-belakangi oleh konteks dinamika politik umat Islam di Indonesia pasca Orde Baru. Ia mengemukakan bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, telah terjadi perubahan yang sangat cepat dalam lanskap politik di Indonesia. Reformasi telah membuka peluang yang lebih luas bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam dinamika politik Indonesia. Dalam konteks ini ia berpendapat bahwa ketertarikan masyarakat bukan lagi pada formalitas simbol, seperti bendera, partai, atau atribut politik Islam, melainkan pada substansi moral, yakni nilai-nilai keadilan sosial dan egalitarianisme sebagai landasan wacana politik Islam. Oleh sebab itu, menurutnya, gerakan dan cita-cita politik Islam di era Reformasi perlu diorientasikan pada upaya untuk mewujudkan substansi moral tersebut, dan bukan pada penegakan aturan-aturan atau institusi formal yang bercorak Islam.

Arza mengkritik kecenderungan umat Islam di Indonesia yang memahami Islam secara formalistik. Ia menilai bahwa Islam formalistik terlalu menekankan aspek pelaksanaan aturan, ritual, dan struktur institusional agama dan mengabaikan dimensi yang lebih substansial, yakni nilai-nilai dan prinsip-prinsip fundamental yang seharusnya ditempatkan sebagai orientasi keberagamaan. Menurutnya, kecenderungan itu telah berakibat pada kondisi umat Islam yang terkotak-kotak dalam kerangka aturan dan lembaga yang eksklusif.

Azra juga menilai bahwa penekanan yang berlebihan pada dimensi formalitas itu telah menimbulkan keterbatasan umat Islam dalam menggali makna keislaman secara lebih humanis dan progresif. Selain itu, praktik keislaman menjadi dogmatis, kaku, dan cenderung menciptakan jarak antara pengalaman keislaman dengan realitas kehidupan modern. Akibatnya, umat Islam gagal merespons dinamika kehidupan modern dan kompleksitas permasalahan keumatan yang muncul pada masa mutakhir. Oleh karena itu, Azra menekankan perlunya reorientasi pemikiran keislaman dengan mengembalikannya pada inti atau substansi ajaran Islam yang mendasar. Menurutnya, reorientasi pada substansi ini akan mampu mendorong transformasi kehidupan sosial, sehingga Islam dapat berperan sebagai kekuatan pemersatu dalam membangun peradaban yang inklusif.

Gagasan Islam substantif menegaskan beberapa hal.

Pertama, penekanan pada nilai-nilai universal. Dalam gagasan Islam substantif, nilai-nilai universal yang terkandung dalam Islam dijadikan sebagai fundamen, acuan, dan orientasi dalam mempraktekkan ajaran-ajarannya. Gagasan ini menekankan pada penerapan nilai-nilai universal Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam aspek sosial, ekonomi, hingga hubungan antar-manusia. Dalam pandangan Islam substantif, pada masa modern ini, banyak kalangan yang memahami Islam hanya sebatas agama dengan sekumpulan ritual semata, seperti shalat, puasa, dan ibadah ritual lainnya. Mereka tidak menyadari bahwa di balik formalitas ritual tersebut terkandung nilai-nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang jauh lebih penting dan universal. Gagasan Islam substantif mengajak umat Islam untuk tidak berhenti pada praktek Islam formalistik, melainkan terus menggali dan memahami nilai-nilai universal Islam yang terkandung dalam Alquran dan hadits, serta berupaya mewujudkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kedua, keadilan sosial sebagai inti ajaran. Gagasan Islam substantif menempatkan keadilan sosial sebagai imperatif yang harus diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Imperatif ini berakar pada inti ajaran Islam bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara adil tanpa membedakan latar belakang, status sosial, kelompok maupun etnis. Ketidak-adilan muncul karena perbedaan-perbedaan tersebut telah terinternalisasi dan menjadi realitas objektif dalam pola pikir kolektif dan struktur sosial umat dan kemudian berubah menjadi alat politik yang mengkonstruksi identitas secara eksklusif. Hal ini menjadi pemicu konflik yang berkelanjutan dan mendistorsi nilai-nilai keadilan yang diajarkan Islam.

Ketiga, penerapan nilai-nilai moral Islam dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan Islam substantif mengajarkan agar setiap aspek kehidupan didasarkan atas penerapan nilai-nilai etika dan moralitas yang baik. Pada dimensi nilai-nilai moral inilah ajaran Islam menjadi relevan untuk menyikapi persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan di Indonesia saat ini. Gagasan Islam substantif meyakini bahwa penerapan yang terstruktur dan sistematik terhadap nilai-nilai moral Islam itu secara individu dan kolektif akan melahirkan masyarakat yang tidak hanya maju secara teknologi tetapi juga unggul dalam moralitas dan kepedulian terhadap sesama.

Keempat, dialog dan kolaborasi. Gagasan Islam substantif menekankan pentingnya membuka ruang dialog antar umat beragama dan antar budaya. Dialog ini menjadi mungkin dilaksanakan karena pada dasarnya ajaran dari setiap agama berorientasi pada nilai-nilai universal yang sama. Perbedaan terjadi pada manifestasi nilai-nilai tersebut dalam bentuk ajaran formal. Dengan sikap yang saling memahami dan menghormati perbedaan, serta membuka diri untuk berdialog dan berkolaborasi antar-kelompok dan antar-agama, umat Islam akan mampu memberikan kontribusi positif dalam tatanan masyarakat global.

Pandangan konseptual Azra tentang Islam substantif ini menuai keberatan dan kritik dari sejumlah kalangan. Azra dinilai telah melakukan pemisahan teoritis antara inti atau esensi ajaran Islam dengan praktik-praktik ritual formal dan institusional yang dianggap telah lama menyatu dalam tradisi keislaman. Para kritikus berpendapat bahwa meskipun tujuan utama Azra adalah mengembalikan vitalitas nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar Islam, pendekatannya cenderung mengabaikan peran strategis aturan hukum, ritual, dan struktur sosial yang selama ini telah menjadi fondasi identitas umat.

Para kritikus gagasan Islam substantif juga berpandangan bahwa pengalaman keagamaan umat Islam tidak memisahkan antara sisi batin dan manifestasi ritual. Kedua dimensi itu saling melengkapi dalam memperkuat identitas dan solidaritas umat. Mereka menilai bahwa dengan menekankan pada substansi atau nilai-nilai esensial, pandangan Azra beresiko mengesampingkan peran vital dari praktik-praktik formal yang selama ini telah menjadi wadah ekspresi keislaman umat dan solidaritas di kalangan mereka. Mereka menganggap pandangan Azra beresiko memunculkan fragmentasi pemahaman di kalangan umat Islam yang justru bisa melemahkan.®

 

REFERENCES

Rosmani, A. (2013). Mengenal Azyumardi Azra dalam Pemikiran Islam. Journal Analytica Islamica, 2(2).

Azra, A. (2000). Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih (I. Thaha, Ed.). Mizan.

Hosen, N. (2013). Religious Pluralism, Inclusive Secularism, and Democratic Constitutionalism: The Indonesian Experience. In Muslim Secular Democracy: Voices from Within. https://doi.org/10.1057/9781137282057

Latif, F. (2022). Peran Nurcholish Madjid dalam Perkembangan Pemikiran Noe-Modernisme Islam Indonesia, 1966-2005. Jurnal Humanitas: Katalisator Perubahan Dan Inovator Pendidikan, 9(1). https://doi.org/10.29408/jhm.v9i1.6646


Wasim, A. T. (2008). Islam Rasional (Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution). Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Leave a Comment