| 0 Comments | 35 Views
Islam substantif dan Islam formalistik seringkali diposisikan
sebagai kategori-kategori yang bertentangan. Di satu sisi, Islam formalistik
dinilai sebagai cara pandang keislaman yang lebih menganggap penting kepatuhan
pada ritus, tata cara ibadah, norma hukum secara tekstual, serta struktur
kelembagaan keagamaan. Sementara di sisi lain, Islam substantif dinilai sebagai
cara pandang keislaman yang lebih mengutamakan dimensi substansi dan esensi
ajaran Islam, seperti nilai-nilai etika dan spiritualitas. Pertentangan ini
seringkali memunculkan konflik pemahaman dan perdebatan teoritis, dimana salah
satu dimensi dianggap lebih penting dan diposisikan secara lebih dominan
daripada dimensi yang lain.
Perlu dipahami bahwa pertentangan antara Islam formalistik dan Islam
substantif ini adalah pertentangan cara pandang keislaman dan bukan
pertentangan dalam ajaran Islam. Dua hal ini adalah tidak sama. Kita perlu
membedakan antara ajaran Islam dengan artikulasi atau manifestasi ajaran Islam.
Bahtiar Effendy
Islam memang bisa dimaknai secara substantif maupun secara
formalistik. Pemaknaan yang terkesan bertentangan ini bahkan bisa ditemukan
sejak dari pemaknaan terhadap kata “Islam” itu sendiri. Di dalam Alquran, kata islām
dalam bentuk maṣdar (kata benda abstrak) muncul dalam 8 ayat. Selain dalam
bentuk maṣdar, kata ini juga muncul dalam bentuk kata kerja (fi‘l),
seperti aslama, aslamtu, yuslimū, aslim, dan
lainnya, serta dalam bentuk subyek (fā‘il), seperti muslim, muslimūn,
muslimain, dan lainnya. Dari segi jumlah, kata islām dalam bentuk
kata kerja dan dalam bentuk subyek lebih banyak jumlahnya daripada kata ini
dalam bentuk kata benda (maṣdar).
Dari delapan ayat Alquran yang menyebutkan kata islām dalam
bentuk maṣdar, tiga ayat didahului dan diikuti dengan kata dīn, yang
berarti agama. Tiga ayat tersebut masing-masing dalam Q.S. Ali Imran [3]:19, Q.S.
Ali Imran [3]:85, dan Q.S. al-Maidah [5]:3. Para ahli tafsir cenderung memaknai
ketiga ayat ini secara formalistik, yakni merujuk pada Islam sebagai agama yang
dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Namun dalam lima ayat yang lain, masing-masing
dalam Q.S. al An‘am [6]:125, Q.S. at-Taubah [9]:74, Q.S. az-Zumar [39]:22, Q.S.
al-Hujurat [49]:17, dan Q.S. ash-Shaff [61]:7, kata islām tidak bisa serta-merta
dimaknai secara formalistik sebagai sebuah agama. Lima ayat tersebut dapat pula
dipahami secara substansialistik, yakni sebagai sikap pasrah sepenuhnya kepada Allah.
Pemaknaan secara substansialistik ini sesuai dengan arti kata islām,
yakni penyerahan diri atau ketundukan yang utuh (kepada Allah). Kepasrahan
mutlak kepada Allah merupakan substansi dan tolok ukur kebenaran agama yang diwahyukan
Allah.
Pemaknaan secara substantif dan sekaligus formalistik ini juga
bisa dicermati pada kata islām yang tercantum dalam Alquran dalam bentuk
kata kerja (fi‘l) dan subyek (fā‘il). Menurut Nurcholish Madjid
Atas dasar ini, para ulama besar di masa klasik, seperti Ibn Taymiyah
Kandungan makna substantif dan formalistik dalam kata islām
sebagaimana nampak di atas mengisyaratkan bahwa tidak tepat apabila kedua dimensi
tersebut ditempatkan dalam posisi yang bertentangan dan dikotomik. Cara pandang
substantif terhadap Islam sama pentingnya dengan cara pandang yang formalistik.
Keduanya ibarat dua sisi dari koin yang sama. Keduanya saling mendukung dan melengkapi, serta harus ditempatkan dalam
hubungan yang integratif. Cara pandang yang integratif terhadap dimensi
substansi dan formal dalam praktik keislaman dapat memperkaya cara pandang dan
pengalaman keagamaan, serta menjembatani perbedaan interpretasi terhadap Islam yang
semakin mudah ditemukan pada masa sekarang ini. Islam subtantif cum
formalistik lebih holistik, adaptif, dan relevan dengan tantangan kontemporer.
REFERENCES:
Effendy, Bahtiar. (2011). Islam dan Negara: Transformasi
Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Edisi Digital). Democracy
Project.
Taymiyah, Ibn. (1995). Iqtiḍā’ aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm.
Dār al-Fikr.
Madjid, Nurcholish. (1994). Pintu-pintu Menuju Tuhan.
Paramadina.
Leave a Comment