| 0 Comments | 35 Views

Card Image

Islam substantif dan Islam formalistik seringkali diposisikan sebagai kategori-kategori yang bertentangan. Di satu sisi, Islam formalistik dinilai sebagai cara pandang keislaman yang lebih menganggap penting kepatuhan pada ritus, tata cara ibadah, norma hukum secara tekstual, serta struktur kelembagaan keagamaan. Sementara di sisi lain, Islam substantif dinilai sebagai cara pandang keislaman yang lebih mengutamakan dimensi substansi dan esensi ajaran Islam, seperti nilai-nilai etika dan spiritualitas. Pertentangan ini seringkali memunculkan konflik pemahaman dan perdebatan teoritis, dimana salah satu dimensi dianggap lebih penting dan diposisikan secara lebih dominan daripada dimensi yang lain.

Perlu dipahami bahwa pertentangan antara Islam formalistik dan Islam substantif ini adalah pertentangan cara pandang keislaman dan bukan pertentangan dalam ajaran Islam. Dua hal ini adalah tidak sama. Kita perlu membedakan antara ajaran Islam dengan artikulasi atau manifestasi ajaran Islam. Bahtiar Effendy (2011) mencatat bahwa Islam di Indonesia telah diartikulasikan secara berbeda di ranah sosio-kultural, ekonomis, dan politis. Ada kalangan Muslim yang mengedepankan dimensi formalistik dan legalistik, dan ada kalangan Muslim yang menomorsatukan dimensi substansif yang berupa nilai-nilai keadilan, kesamaan, partisipasi, dan musyawarah. Dalam konteks hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia, menurut Effendy, persoalan tidak muncul dari doktrin Islam, melainkan dari bagaimana Islam telah diartikulasikan secara berbeda oleh umat Muslim. Dengan demikian, Islam formalistik dan Islam substantif harus ditempatkan sebagai kategori-kategori artikulasi Islam di kalangan umat Muslim, dan bukan sebagai pertentangan di dalam doktrin dan ajaran Islam.

Islam memang bisa dimaknai secara substantif maupun secara formalistik. Pemaknaan yang terkesan bertentangan ini bahkan bisa ditemukan sejak dari pemaknaan terhadap kata “Islam” itu sendiri. Di dalam Alquran, kata islām dalam bentuk maṣdar (kata benda abstrak) muncul dalam 8 ayat. Selain dalam bentuk maṣdar, kata ini juga muncul dalam bentuk kata kerja (fi‘l), seperti aslama, aslamtu, yuslimū, aslim, dan lainnya, serta dalam bentuk subyek (fā‘il), seperti muslim, muslimūn, muslimain, dan lainnya. Dari segi jumlah, kata islām dalam bentuk kata kerja dan dalam bentuk subyek lebih banyak jumlahnya daripada kata ini dalam bentuk kata benda (maṣdar).

Dari delapan ayat Alquran yang menyebutkan kata islām dalam bentuk maṣdar, tiga ayat didahului dan diikuti dengan kata dīn, yang berarti agama. Tiga ayat tersebut masing-masing dalam Q.S. Ali Imran [3]:19, Q.S. Ali Imran [3]:85, dan Q.S. al-Maidah [5]:3. Para ahli tafsir cenderung memaknai ketiga ayat ini secara formalistik, yakni merujuk pada Islam sebagai agama yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Namun dalam lima ayat yang lain, masing-masing dalam Q.S. al An‘am [6]:125, Q.S. at-Taubah [9]:74, Q.S. az-Zumar [39]:22, Q.S. al-Hujurat [49]:17, dan Q.S. ash-Shaff [61]:7, kata islām tidak bisa serta-merta dimaknai secara formalistik sebagai sebuah agama. Lima ayat tersebut dapat pula dipahami secara substansialistik, yakni sebagai sikap pasrah sepenuhnya kepada Allah. Pemaknaan secara substansialistik ini sesuai dengan arti kata islām, yakni penyerahan diri atau ketundukan yang utuh (kepada Allah). Kepasrahan mutlak kepada Allah merupakan substansi dan tolok ukur kebenaran agama yang diwahyukan Allah.

Pemaknaan secara substantif dan sekaligus formalistik ini juga bisa dicermati pada kata islām yang tercantum dalam Alquran dalam bentuk kata kerja (fi‘l) dan subyek (fā‘il). Menurut Nurcholish Madjid (1994), agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW semuanya mengajarkan islām, yakni sikap pasrah sepenuhnya kepada Allah. Nabi Nuh mengajarkan islām (Q.S. Yunus [10]: 72). Nabi Ibrahim membawa ajaran islām dan mewasiatkannya kepada anak dan keturunannya, termasuk kepada anak dan keturunan Ya‘qub dan Isra’il (Q.S. al-Baqarah [2]: 130-134). Nabi Yusuf, yang merupakan anak Ya‘qub juga berdoa kepada Allah agar dapat mati dalam kondisi sebagai seorang muslim (orang yang ber-islām) (Q.S. Yusuf [12]:101). Bahkan para ahli sihir Mesir pada masa Fir‘aun yang pada mulanya mendukung Fir‘aun, akhirnya menyatakan iman mereka di hadapan Musa dan Fir‘aun seraya berdoa agar kelak mati sebagai orang muslim (Q.S. al-A‘raf [7]:126). Ayat-ayat tersebut, dan masih banyak ayat-ayat lainnya dalam Alquran yang menyebutkan kata islām dalam bentuk kata kerja (fi‘l) dan subyek (fā‘il) menunjukkan makna substantif disamping makna formalistik.

Atas dasar ini, para ulama besar di masa klasik, seperti Ibn Taymiyah (1995) berpendapat bahwa agama semua nabi adalah sama dan satu, yakni islām, meskipun syariatnya bermacam-macam. Pendapat ini menunjukkan adanya dimensi substansi dan formal sekaligus yang terkandung dalam kata islām dalam Alquran. Dimensi substansi mengacu pada ajaran tentang kepasrahan dan ketundukan kepada Allah, sementara dimensi formal mengacu pada representasi atau bentuk ajaran tersebut, yaitu agama Islam. Secara formal, agama islām bisa bermacam-macam bentuknya, sesuai dengan syariat yang dibawa oleh masing-masing nabi. Namun secara substantif, agama islām yang bermacam-macam bentuknya itu mengajarkan satu ajaran yang sama, yakni ketundukan dan kepatuhan kepada Allah SWT.

Kandungan makna substantif dan formalistik dalam kata islām sebagaimana nampak di atas mengisyaratkan bahwa tidak tepat apabila kedua dimensi tersebut ditempatkan dalam posisi yang bertentangan dan dikotomik. Cara pandang substantif terhadap Islam sama pentingnya dengan cara pandang yang formalistik. Keduanya ibarat dua sisi dari koin yang sama. Keduanya saling mendukung dan melengkapi, serta harus ditempatkan dalam hubungan yang integratif. Cara pandang yang integratif terhadap dimensi substansi dan formal dalam praktik keislaman dapat memperkaya cara pandang dan pengalaman keagamaan, serta menjembatani perbedaan interpretasi terhadap Islam yang semakin mudah ditemukan pada masa sekarang ini. Islam subtantif cum formalistik lebih holistik, adaptif, dan relevan dengan tantangan kontemporer.

 

REFERENCES:

 

Effendy, Bahtiar. (2011). Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Edisi Digital). Democracy Project.

Taymiyah, Ibn. (1995). Iqtiḍā’ aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm. Dār al-Fikr.

Madjid, Nurcholish. (1994). Pintu-pintu Menuju Tuhan. Paramadina.

 


Leave a Comment