| 0 Comments | 66 Views

Card Image

Kuala Lumpur, 21 Dec 2023

Hari itu, aku berdiri di bawah kaki Petronas Twin Towers. Panas matahari Kuala Lumpur tak membuat langkahku mundur. Justru cahaya itu membuat bayangan dua menara ini jatuh panjang ke tanah, seolah mengingatkan: mimpi yang tinggi selalu punya akar yang dalam.

Menara kembar ini dulunya adalah gedung tertinggi di dunia. Sekarang, mungkin sudah kalah tinggi, tapi bukan itu yang membuatku terpaku. Bukan juga desainnya yang futuristik, atau rangka baja dan kaca yang memantulkan langit kota. Yang membuatku diam adalah kesadaran bahwa menara ini adalah simbol. Simbol bahwa dunia Muslim, Asia Tenggara, dan bangsa yang sering dianggap pinggiran bisa berdiri sejajar—atau bahkan lebih tinggi—di antara pusat-pusat dunia.

Aku berjalan pelan di esplanade yang terbuka luas di hadapan menara. Orang-orang berfoto, duduk di rerumputan, atau sekadar berteduh di bawah pepohonan. Kota ini ramai, tapi di tempat ini, waktu terasa melambat. Barangkali karena menara ini tak hanya menyimpan fungsi, tapi juga rasa. Ada rasa bangga, tapi bukan dalam bentuk sombong. Seperti ingin berkata: “Kami juga bisa. Kami juga ada.”

Di dalam, lantai-lantainya dipenuhi kantor-kantor penting, tempat keputusan-keputusan besar dibuat. Tapi aku hanya menatap dari bawah. Menatap jembatan langit yang menghubungkan dua menara—skybridge—yang seolah menjembatani bukan hanya bangunan, tapi juga impian dan kenyataan.

Seorang bapak-bapak yang duduk tak jauh dariku berkata, “Dulu tanah ini biasa saja. Sekarang orang dari seluruh dunia datang.” Aku tersenyum dan mengangguk. Perubahan bisa datang kalau ada keberanian untuk membayangkan.

Twin Towers ini dibangun oleh tenaga dari berbagai negara, tapi tetap membawa identitas lokal dalam desainnya. Pola lantai yang terinspirasi dari bentuk geometri Islam. Pilar-pilar yang menyiratkan nilai stabilitas. Menara ini modern, tapi tetap punya akar budaya.

Aku duduk sejenak di bangku taman KLCC, menatap danau buatan yang memantulkan bayangan menara. Airnya tenang. Di balik suara anak-anak bermain, lalu lalang turis, dan deru kota, aku merasa sedang melihat sesuatu yang lebih dari sekadar arsitektur.

Mungkin kita perlu tempat seperti ini—bukan untuk mengagumi besi dan beton, tapi untuk mengingat bahwa kebesaran tidak lahir dari kekuatan semata, tapi dari keinginan untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita.

Aku melangkah pergi, meninggalkan Twin Towers di belakangku. Tapi aku tahu, yang tertinggal bukan hanya foto atau kesan visual. Yang tinggal adalah gagasan: bahwa berdiri tegak bukan tentang siapa yang paling tinggi, tapi siapa yang paling percaya pada langkahnya.

Tak hanya dua menara yang menjulang,
tapi keyakinan bahwa harapan bisa dibangun dan dikenang.


Leave a Comment