| 0 Comments | 13 Views

Card Image

pelataran Hagia Sophia di musim dingin (Turkiye, 03 Des 2023)

Di bawah langit Istanbul yang bening, menara-menara masjid memotong garis cakrawala. Azan Subuh berkumandang dari berbagai arah, saling bersahutan, menembus udara dingin yang menggigit pipi. Musim dingin membuat kota ini terbangun dengan enggan. Matahari, seolah tak ingin terburu-buru, baru menampakkan sinarnya saat jam di tangan menunjukkan angka yang di Indonesia sudah ramai oleh aktivitas.

Aku berdiri di tepi Selat Bosporus, memandang air yang membelah dua benua. Di sebelah barat, Eropa menyapa dengan bangunan-bangunan tua dan kafe yang baru saja membuka pintu. Di sebelah timur, Asia menanti, dibalut kabut tipis yang melayang rendah di atas atap rumah. Satu garis air ini, sejak ribuan tahun lalu, bukan hanya memisahkan daratan, tapi juga menyatukan kisah manusia: pedagang, pelaut, pasukan perang, hingga para musafir yang membawa cerita dari jauh.

Turkiye punya empat musim, dan aku datang untuk merasakan dua di antaranya. Musim panas, dengan siang yang panjang—matahari enggan tenggelam, membiarkan cahaya berlama-lama di langit hingga jam sembilan malam. Musim dingin, dengan siang yang pendek—sore datang terlalu cepat, membuat hari seperti dipotong separuh. Di tahun 2023, perbedaan itu sangat terasa: 21 Juni memberi 15 jam 8 menit cahaya, sementara 22 Desember hanya 9 jam 13 menit.

Bagi orang tropis seperti aku, yang terbiasa dengan panjang siang yang nyaris sama sepanjang tahun, ini adalah pelajaran astronomi yang hidup. Waktu shalat berubah drastis—Subuh di musim panas bisa datang pukul 03:30, sedangkan di musim dingin baru masuk pukul 06:30. Magrib di musim panas menunda hingga malam, sementara di musim dingin ia tiba saat langit baru saja mulai merona jingga.

Perubahan ini memaksaku untuk lebih peka. Rukhshah yang dulu hanya kukenal dari kitab fiqih kini terasa nyata. Menyatukan Zuhur dan Ashar saat berpindah kota. Memendekkan shalat karena perjalanan panjang. Tayamum ketika air terlalu dingin dan membahayakan tubuh. Semua menjadi bagian dari perjalanan, bukan sekadar teori. Aku teringat kisah ‘Amr bin al-‘Ash yang bertayamum di malam yang membeku, karena khawatir sakit jika berwudhu dengan air dingin. Di negeri empat musim ini, hadis itu seperti menemukan panggungnya sendiri.

Aku menapaki jalan-jalan batu di Sultanahmet, melewati Hagia Sophia yang telah melihat pergantian kekaisaran, agama, dan zaman. Dari Kekaisaran Romawi Timur, Kesultanan Utsmaniyah, hingga Republik Turkiye modern, kota ini menyimpan lapisan-lapisan sejarah seperti lingkar tahun pada batang pohon. Musim demi musim lewat di sini, tapi setiap generasi meninggalkan jejaknya.

Di musim panas, aku berjalan di bawah cahaya panjang yang membiarkan kota hidup lebih lama—pasar masih riuh saat senja, anak-anak berlarian di taman meski jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Di musim dingin, aku duduk di kafe kecil, menyeruput teh panas sambil memandang salju yang menutupi halaman masjid, membuat langkah orang-orang lebih lambat dan hati lebih tenang.

Mungkin itulah pelajaran terbesar dari dua musim ini: bahwa waktu tidak selalu datang dengan ritme yang kita kenal, dan ibadah pun menyesuaikan diri. Syariat Islam ternyata bukan kerangka kaku, tapi nafas yang mengikuti detak bumi dan peredaran matahari.

Aku pulang dari Turkiye membawa dua hal: ingatan akan warna cahaya yang berbeda di setiap musim, dan kesadaran bahwa perjalanan adalah guru yang tidak hanya mengajarkan tentang tempat, tapi juga tentang bagaimana kita membaca tanda-tanda Allah di langit dan di bumi.

di taman kota dengan bakcground Hagia Sophia saat musim panas, 23 Juni 2022


Leave a Comment