| 0 Comments | 16 Views

Card Image

Old City, 01 Oct 2024

Di bawah cahaya siang yang jujur dan jelas,
menara itu berdiri, menyimpan diam yang tak lekas tuntas.

Siang itu, kota Baku memantulkan terang yang bersih. Langit tanpa awan, dan angin dari Laut Kaspia hanya berembus pelan. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong kota tua yang dikelilingi tembok tinggi, menuju satu titik yang disebut-sebut sebagai jantung sejarahnya: Maiden Tower.

Menara gadis. Nama itu sendiri sudah mengandung teka-teki. Mengapa gadis? Siapa dia? Mengapa kisahnya tertinggal dalam batu, bukan dalam buku? Tapi hari itu, aku datang bukan untuk menjawab semuanya. Aku hanya ingin merasakan langsung, bagaimana berdiri di hadapan sesuatu yang telah berdiri sejak sebelum banyak hal di dunia ini dicipta ulang.

Tingginya sekitar 29 meter, dari batu-batu besar yang disusun seperti pahatan waktu. Warnanya cokelat keabu-abuan, sedikit kontras dengan langit biru terang dan bangunan-bangunan modern yang menjulang di kejauhan. Tapi anehnya, ia tidak terlihat kuno—ia terlihat tenang.

Begitu aku mendekat, suasana mulai berubah. Dari bising kota menjadi pelan, dari lalu-lalang turis menjadi langkah-langkah pelan yang mencari makna. Seorang anak kecil berlarian di pelataran, ibunya memanggilnya dengan lembut. Suara mereka terpantul di dinding menara, lalu lenyap seperti desir angin.

Aku memutuskan untuk masuk dan menaiki anak tangganya yang sempit. Langkah demi langkah, menara ini seperti mengajak kembali ke masa yang tak jelas. Tak ada catatan pasti siapa pembangunnya atau kapan persisnya selesai. Mungkin Zaman Besi. Mungkin era Sassania. Tapi bukankah banyak hal penting dalam hidup memang tidak selalu jelas asal-muasalnya?

Di setiap lantai, ada panel-panel penjelas. Tentang fungsi menara sebagai benteng, mercusuar, tempat ibadah, atau bahkan mungkin observatorium. Tapi aku lebih tertarik pada bagian yang tidak dijelaskan: bau batu tuanya, tekstur tangannya, dan rasa sepi yang ganjil di siang bolong itu.

Ketika sampai di atas, aku berhenti. Dari atas sini, laut tampak jauh tapi memanggil. Kota modern Baku membentang dengan garis-garis rapi, mobil-mobil kecil berjalan seperti semut, dan tiupan angin membawa aroma asin dari Kaspia yang lembut. Aku menarik napas panjang, lalu melepaskannya pelan-pelan. Mungkin inilah alasan kita bepergian: untuk berdiri di titik yang membuat kita diam tanpa terpaksa.

Legenda yang paling sering didengar adalah kisah seorang putri yang memilih melompat dari puncak menara ini karena dipaksa menikah. Mungkin benar, mungkin fiksi. Tapi setiap menara memang menyimpan kisah pengorbanan dan pilihan. Ia bisa menjadi simbol pelarian, tapi juga lambang keberanian.

Aku duduk sejenak di sisi menara atas, membiarkan mata membaca kota dan telinga menangkap suara samar azan dari kejauhan. Di siang yang terang itu, tidak ada kabut. Tapi justru dalam keterangannya, menara ini tetap menyimpan misteri. Dan aku merasa, tidak semua misteri perlu dipecahkan. Ada yang cukup disapa, disimpan dalam hati, lalu dibawa pulang sebagai pelajaran.


Leave a Comment