| 0 Comments | 26 Views

Card Image

Putrajaya, 23 Dec 2023

Hari itu, langit Putrajaya bersih nyaris tanpa awan. Aku berdiri di pelataran besar Masjid Putra, menatap kubah merah muda yang menjulang—megah, tapi tak mengintimidasi. Warnanya lembut, seakan ingin bicara, “Mari masuk, mari diam sejenak.”

Putrajaya adalah kota administratif. Segalanya terasa rapi, bersih, dan tertata. Tapi justru di tengah keteraturan itulah, Masjid Putra muncul sebagai titik tenang yang lebih dalam dari sekadar estetika. Ia tak hanya berdiri untuk dilihat, tapi untuk menyentuh yang tak kasat mata.

Aku melangkah masuk melewati lorong berarsitektur Islam modern yang tetap bersahaja. Lantainya bersih, dindingnya tinggi, tapi suasananya tak membuat kita merasa kecil. Ini bukan bangunan untuk dilihat dari luar saja—ini ruang untuk kembali ke dalam.

Di dalam ruang utama, suasana terasa syahdu. Kubah besar di atas kepala memantulkan gema doa dengan lembut. Tak ada yang berteriak. Bahkan langkah pun terasa ingin diperlambat. Beberapa musafir duduk bersandar di dinding, memejamkan mata. Barangkali istirahat. Barangkali sedang berbicara diam-diam dengan Tuhan.

Aku pun duduk. Meletakkan ransel, melepaskan sejenak beban kota, beban pikiran. Saat itu aku sadar, menjadi musafir bukan hanya soal berpindah tempat, tapi soal memberi ruang bagi hati untuk diam dan merenung. Dan masjid ini, seperti tahu itu. Ia tak banyak bicara, tapi menyambut.

Dari jendela-jendela besar, aku melihat air danau Putrajaya mengalir tenang. Pemandangan itu serupa jeda. Aku teringat bahwa dalam fiqih, musafir diberikan keringanan—shalat boleh diqashar, puasa boleh ditunda. Tapi lebih dari sekadar keringanan hukum, perjalanan juga adalah ruang untuk mengendurkan ego, menyederhanakan keinginan.

Masjid Putra menggabungkan Timur Tengah dan Melayu dalam arsitektur. Tapi yang lebih penting: ia menggabungkan kecanggihan dengan ketenangan. Di kota yang sibuk dengan urusan negara, masjid ini berdiri sebagai napas panjang. Menawarkan waktu untuk melambat, di antara sistem yang serba cepat.

Di luar, turis masih berdatangan. Ada yang sibuk berfoto, ada yang masuk dengan kerudung pinjaman, menutupi aurat karena ingin menghormati. Dan aku senang melihatnya. Karena setiap langkah yang membawa hormat, walau hanya dalam bentuk kain pelindung kepala, tetap punya nilai.

Setelah berwudhu, aku kembali ke dalam dan shalat. Bukan karena rutinitas, tapi karena tubuh dan jiwa terasa ingin dibasuh. Setiap gerakan terasa lebih tenang, lebih sadar. Sujud di bawah kubah yang luas membuat segalanya terasa kecil dan cukup. Cukup untuk bersyukur. Cukup untuk istirahat.

Ketika keluar, aku sempat menoleh sekali lagi ke arah masjid. Di bawah terik siang, bangunan ini tidak menjadi silau, tapi justru teduh. Mungkin karena yang dibawanya bukan sekadar desain arsitektur, tapi niat untuk menghadirkan damai di tengah modernitas.

Di antara kaca dan danau yang tenang,
kubah merah muda menampung diam yang lapang.


Leave a Comment