| 0 Comments | 24 Views

Card Image

Taman Nasional Sebangau, 30 Mei 2022

Siang itu aku berada di sebuah dunia yang terasa seperti tidak tersentuh waktu. Taman Nasional Sebangau, terbentang luas di antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan, adalah bentang alam yang diam-diam memeluk banyak kehidupan. Aku menaiki kelotok dari Palangka Raya, menyusuri sungai kecil yang tenang menuju kawasan hutan rawa gambut, dan akhirnya tiba di hamparan danau gelap berair gambut—tempat yang tidak selalu muncul dalam peta wisata, tapi punya makna besar bagi semesta.

Airnya tidak biru, melainkan hitam pekat, hasil dari rendaman zat organik alami yang lepas dari pohon-pohon gambut. Tapi justru di situlah keajaibannya. Air itu memantulkan langit dengan sempurna. Aku duduk di atas jembatan kayu, memandangi permukaan danau yang seperti kaca raksasa, seolah dunia atas dan bawah bercermin satu sama lain.

Sebangau adalah satu dari sedikit ekosistem rawa gambut yang masih tersisa dan terlindungi. Luasnya mencapai lebih dari 500 ribu hektare. Tapi yang lebih luas adalah fungsi ekologisnya: menyimpan karbon, menjaga iklim, memberi rumah pada ribuan spesies. Jika hutan-hutan lain adalah paru-paru, maka Sebangau adalah jantung dan memori yang merekam napas bumi dari zaman ke zaman.

Aku menyusuri jembatan edukasi dan memandang sekitar. Hutan tropis yang lebat, sesekali dihuni suara burung rangkong dan panggilan jauh primata. Orangutan hidup di sini secara liar, membangun sarangnya di antara pohon-pohon keras yang akarnya menjalin rapat di tanah berair. Tapi saat ini, yang kudengar hanyalah suara angin dan gemercik air. Hening yang penuh isi.

Seorang pemandu dari komunitas lokal mendekatiku dan mulai bercerita. Ia bilang, danau-danau kecil di kawasan ini dahulu jadi jalur persembunyian pejuang, juga tempat keramat dalam budaya Dayak. “Kami percaya, di balik air hitam ini, ada jiwa-jiwa yang menjaga,” katanya lirih, sambil memandangi air. Aku tidak bertanya banyak. Ada cerita yang lebih baik dipahami lewat rasa.

Berada di Sebangau seperti sedang membaca babak lain dari Indonesia. Bukan tentang gedung-gedung tinggi atau kota padat, tapi tentang tanah air yang tenang, lambat, dan menghidupkan. Aku merasa bukan sedang melancong, tapi belajar diam di hadapan sesuatu yang lebih tua dan lebih bijak dariku.

Aku membayangkan musim kemarau panjang. Air danau menyusut, hewan mencari tempat baru. Atau musim hujan deras yang membuat seluruh rawa tergenang, menciptakan ilusi laut daratan. Alam di sini bergerak dengan cara yang hanya bisa dipahami jika kita mau memperlambat langkah.

Setelah beberapa jam di sana, aku merasa bukan sekadar pengunjung, tapi peziarah. Mengunjungi tempat yang selama ini menyelamatkan lebih banyak dari yang kita sadari. Tempat yang tidak pernah meminta dilihat, tapi terus menjaga.

Dan ketika kelotok membawaku kembali ke Palangka Raya, aku menatap danau itu sekali lagi. Diamnya berkata banyak. Tentang keseimbangan, tentang rasa cukup, tentang bagaimana hidup bisa bersahaja tanpa kehilangan makna.

Di balik air hitam dan hening yang dalam,
kutinggalkan rinduku pada bumi yang diam.


Leave a Comment