| 0 Comments | 22 Views

Card Image

Labuan Bajo, 16 Feb 2024

Di ujung barat Nusa Tenggara, cahaya jatuh perlahan,
menyibak kisah tua yang disimpan laut dan savana.

    Langit Labuan Bajo siang itu seperti terbentang tanpa batas. Di bawahnya, laut berkilau tenang, seperti permukaan kaca yang sedang menunggu goresan langkah manusia. Aku berdiri di dermaga kecil, menatap barisan kapal kayu yang berjajar, siap membawa siapa saja menuju dunia lain—pulau-pulau yang tak hanya memesona, tapi juga menyimpan jejak waktu.

    Hari itu adalah hari terakhir dalam rangkaian perjalananku. Sebuah penutup yang tidak ingin segera ditutup. Sejak kemarin aku sudah menjejak di Pulau Padar, dengan tanjakan-tanjakan kecil menuju puncaknya yang menawarkan lanskap tiga teluk yang saling bersaing dalam keindahan. Tak ada pohon besar di sana, hanya savana dan angin. Tapi dari puncaknya, aku seperti melihat miniatur Indonesia—liar, luas, dan rapuh sekaligus.

    Lalu aku singgah di Pulau Komodo, rumah bagi reptil purba yang namanya mendunia. Di antara jalur tracking yang disediakan, aku merasa seperti sedang berjalan menembus zaman. Hewan-hewan ini bukan hanya makhluk buas—mereka adalah relik masa lalu yang masih diberi kesempatan untuk hidup berdampingan dengan manusia. Langka, dan karena itu harus dijaga.

    Pink Beach adalah kejutan berikutnya. Pantainya betul-betul berwarna merah muda, hasil percampuran pasir putih dan serpihan karang merah yang halus. Aku duduk lama di sana, membiarkan kakiku ditelan ombak kecil sambil berpikir: betapa banyak hal di dunia ini yang indah karena keberanian menjadi berbeda.

Kembali ke Labuan Bajo saat siang mendekati sore, aku berjalan perlahan di sepanjang pantai. Kota kecil ini dulunya hanyalah kampung nelayan sunyi. Tapi sekarang, wajahnya berubah—hotel berjejer, restoran menyajikan hidangan laut segar, dan kafe-kafe mungil penuh anak muda dari berbagai negara. Tapi tetap, di balik modernitas itu, aroma ikan asin dan perahu-perahu kecil masih menjadi denyut utama kota ini.

    Labuan Bajo bukan hanya pintu masuk ke keajaiban, tapi juga pengingat: bahwa kita sebagai bangsa, dan sebagai manusia, punya rumah di antara laut, bukit, dan keragaman. Tak semua harus seragam untuk bisa serasi. Di sinilah pelajaran itu terasa begitu nyata.

    Aku sempat berbincang dengan seorang pemandu lokal. Ia bercerita bahwa dulu, banyak warga muda pergi merantau ke kota besar. Tapi kini, banyak yang pulang, menjadi guide, fotografer, penjaga kapal, atau pemilik penginapan. “Labuan Bajo memanggil kami kembali,” katanya. Dan aku percaya, alam memang tahu caranya memanggil pulang.

    Perjalanan ini bukan sekadar wisata. Ini semacam pertemuan—antara aku dengan tanah yang selama ini hanya kubaca dari brosur dan artikel. Tapi kini, aku merasakannya langsung: anginnya, terik matanya, warganya, bahkan sepinya.

    Dan ketika kapal terakhir kembali ke pelabuhan, aku tahu: bahkan perpisahan pun bisa terasa hangat, jika diiringi rasa syukur telah sampai sejauh ini.

Di balik savana dan laut biru yang hening,
aku temukan rumah dalam perjalanan yang asing.




Leave a Comment