| 0 Comments | 1573 Views
BincangSyariah.Com – Islam dan Nasrani (baca: Kristen) saat ini merupakan dua agama yang berbeda. Mulanya, semua agama yang diturunkan Allah melalui para nabinya adalah sama. Akan tetapi, seiring wafatnya Nabi yang membawa risalah ilahi, terkadang risalah ilahi ini mengalami penyimpangan-penyimpangan oleh para penerusnya.
Dalam agama Nasrani, penyimpangan ini muncul ketika diproklamirkannya doktrin Trinitas yang dicetuskan oleh Paus yang disebut sebagai Rasul pada abad ke 4 masehi, tepatnya tahun 325 M pada Konsili Nicea yang dipimpin oleh Paus Aleksander dari Alexandria Mesir ketika menafsirkan ungkapan “anak Tuhan” untuk Isa.
Teks konsili itu menggambarkan bahwa Yesus adalah “Allah dari allah, Terang dari terang, maha Allah dari maha allah, diperanakkan, bukan dibuat, satu substansi dengan Bapa” (Naithon et.al. T.t.:39).
Nabi Muhammad saw pernah mengajak para penganut agama Nasrani (dalam hal ini Kaisar Romawi, Heraklius) untuk kembali kepada risalah ilahi yang lurus, dengan mengirimkan surat sebagai berikut.
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَابًا مِّنْ دُونِ اللّهِ
“Wahai Ahlul Kitab, marilah (berpegang) kepada kata (ketetapan) yang sama, antara kami dan kamu semua, bahwa kita tidak menyembah kecuali kepada Allah dan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita (sesama manusia) menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. (al-Bukhari [I]: 9)
Redaksi surat yang diabadikan oleh Allah dalam Q.S. Ali Imran [3]: 64 ini berisi ajakan Nabi Muhammad kepada Kaisar Heraklius untuk menuju pada kalimah sawa′ ‘kata yang sama’ adalah ajakan untuk melakukan tiga hal yang dahulu dilakukan oleh seluruh pemeluk agama-agama semitik, yaitu 1) hanya menyembah Allah swt., 2) tidak menyekutukan Allah swt., dan 3) menjadikan sesama manusia sebagai Tuhan.
Adapun anggapan bahwa menjadikan pendeta sebagai Tuhan dengan cara mengikuti keputusan halal maupun haram tanpa merujuk kepada dalil yang disyariatkan oleh Allah swt. telah ditafsirkan sendiri oleh Nabi Muhammad saw. melalui riwayat ‘Ady bin H{ātim yang dahulu adalah pengikut ajaran Nasrani. Menurut ‘Ady bin H{ātim, kaum Nasrani tidak pernah menjadikan pendeta mereka sebagai Tuhan. Mendengar pernyataan ini, Nabi Muhammad saw. bersabda kepada ‘Ady bin H{ātim,
أَلَيْسَ كَانُوْا يُحِلُّوْنَ لَكُمْ وَيُحَرِّمُوْنَ فَتَأْخُذُوْنَ بِقَوْلِهِمْ؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ الرَّسُوْلُ هُوَ ذَاكَ
“Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian dan mereka mengharamkan, lalu kalian mengikuti ucapan mereka?”. ‘Ady bin H{ātim berkata, “Benar”. Maka Rasulullah bersabda, “Itulah yang dimaksud beribadah kepada mereka (para pendeta)” (HR at-Turmudzi no. 3090)
Dari penjelasan Nabi Muhammad saw. dalam hadis ini, yang dimaksud dengan menyembah pemimpin agama adalah bukan bersujud di hadapan mereka, melainkan menjadikan ucapan mereka sebagai landasan untuk menentukan halal dan haram, berdosa atau tidak, sementara mereka tidak melihat bagaimana ketetapan Allah swt. mengenai hukum tersebut.
Ketetapan halal dan haram yang ditentukan oleh pendeta wajib diterima, seperti menerima peraturan dari Allah swt. Di antara praktik ini dapat dilihat pada ritual pengampunan dosa. Paus sebagai kepala gereja Kristen dapat mengampuni sendiri dosa orang yang berdosa melalui surat pengampunan (indulgensi), dan surat ampunan itu dapat diperjualbelikan. Penyimpangan jual beli dan tawar menawar indulgensi inilah yang menyulut pertentangan Martin Luther terhadap pihak gereja yang terjadi pada 31 Oktober 1517, sehingga agama Kristen terpecah menjadi dua, Kristen Katolik dan Kristen Protestan (Carney [ed], 2001: 236-237).
Pengampunan Dosa dalam Islam dan Kristen Katolik
Dalam ajaran Islam, yang berhak mengampuni dosa secara mutlak hanya Allah swt. Meskipun pada masa sahabat hidup bersama dengan Rasulullah saw., Nabi tidak memiliki wewenang untuk mengampuni dosa sahabatnya yang semasa dengan beliau, apalagi dosa umatnya saat ini. Berbeda dengan ajaran Katolik, yang menjadikan Romo sebagai manusia yang menentukan dosa seseorang diampuni atau tidak.
Riwayat tentang pengakuan dosa seorang sahabat yang telah melakukan dosa besar bisa didapati dalam potongan hadis berikut.
يروي بريدة بن الحصيب رضي الله عنه فيقول: جاء ماعز بن مالكٍ إلى النبي صلى الله عليه وسلم؛ فقال: يا رسول الله طهِّرني، فقال: «وَيْحَكَ! ارْجِعْ فَاسْتَغْفِرِ اللهَ وَتُبْ إِلَيْهِ». قال: فرجع غير بعيدٍ، ثمَّ جاء؛ فقال: يا رسول الله طهِّرني،. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «وَيْحَكَ ارْجِعْ فَاسْتَغْفِرِ اللهَ وَتُبْ إِلَيْهِ». قال: فرجع غير بعيدٍ ثمَّ جاء؛ فقال: يا رسول الله طهِّرني. فقال النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم مِثْلَ ذلك حتى إذا كانت الرابعة، قال له رسول الله: «فِيمَ أُطَهِّرُكَ؟» فقال: من الزِّنا. فسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم: «أَبِهِ جُنُونٌ؟» فَأُخْبِرَ أنَّه ليس بمجنونٍ فقال: «أَشَرِبَ خَمْرًا؟» فقام رجلٌ فَاسْتَنْكَهَهُ فَلَمْ يَجِدْ منه ريح خمرٍ. قال: فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «أَزَنَيْتَ؟» فقال: نعم
Diriwayatkan dari sahabat Buraidah, ia berkata: “suatu ketika Ma’iz bin Malik datang kepada Rasulullah SAW lalu ia berkata “wahai Rasulullah sucikanlah aku! Rasulullah SAW pun menjawab “apa-apaan kamu, mohon ampunlah kepada Allah, dan bertaubatlah”, lalu Ma’iz pun kembali mendekat kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku” RasulullahSAW pun menjawab “apa-apaan kamu, mohon ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah.”
Ma’iz pun kembali mendekat lagi dan berkata, “Wahai Rasulullah sucikanlah aku”, Rasulullah pun menjawab kembali “apa-apaan kamu, mohon ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah, sampai pada kali keempat Ma’iz mengulang perkataannya tersebut, Rasulullah SAW pun bertanya, dari apa aku harus membersihkanmu?
Ma’iz pun menjawab, dari dosa zina wahai Rasulullah, kemudian Rasulullah SAW pun bertanya kepada para sahabat yang ketika itu hadir, “Apakah dia gila?”, merkapun menjawab, “tidak wahai Rasul”, Rasulullah SAW kembali bertanya, “apakah ia sedang mabuk?” lalu salah seorang sahabat maju mendekati Maiz untuk mencium aroma bau mulutnya, dan ternyata tidak tercium bau minuman, lalu Rasulullah SAW kembali bertanya kepada Ma’iz, “apakah engkau benar-benar telah berzina?” Ma’iz pun menjawab “ya, wahai Rasulullah” (HR Muslim no 1695; HR An-Nasai no 7278; HR Ath-Thabrani no 18382).
Dari hadis di atas, ketika Nabi Muhammad saw pertama kali didatangi sahabat, Ma’iz bin Malik, yang mengakui dosanya, beliau tidak pernah bertanya dosa apa yang telah dilakukan Ma’iz. Akan tetapi, beliau langsung meminta Ma’iz untuk memohon langsung ampunan kepada Allah swt., tanpa melalui perantara beliau dan tanpa perlu menjelaskan bentuk dosa yang telah dilakukan.
Meskipun secara hukum apabila seorang muslim yang telah menikah melakuan perbuatan zina, maka hukumannya adalah dirajam hingga mati, tetapi dalam hadis di atas Nabi Muhammad tidak meminta Ma’iz mengakuinya, tetapi hanya diminta untuk bertaubat kepada Allah.
Dan, seandainya Ma’iz tidak memaksa hingga kali keempat (seperti dalam riwayat hadis), sebenarnya dosa zina Ma’iz telah diampuni cukup dengan pertaubatannya kepada Allah, tanpa perlu diketahui bentuk dosanya dan tanpa perlu dirajam hingga wafat.
Hal ini tentu berbeda dengan pengakuan dosa dalam ajaran Kristen Katolik, yang meminta umat yang berdosa untuk menyebutkan dosa-dosanya dan pada akhir pengakuan dosa, Romo akan memberikan penitensi (pertobatan atas dosa-dosa yang harus dilakukan sesegera mungkin).
Lalu, pada akhir absolusi (pernyataan pengampunan atas dosa-dosa kepada orang yang bertobat), Romo akan berkata, “Dengan kuasa Gereja, aku mengampuni dosa-dosamu dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.” Jika Romo membuat tanda salib, Anda juga membuat tanda salib. Romo kemudian akan mempersilakan Anda keluar dengan kata-kata seperti, “Pergilah dalam damai untuk mengasihi dan melayani Tuhan.” Jawablah dengan “Syukur kepada Allah”, berikan senyuman kepada Romo, dan keluarlah dari ruang pengakuan dosa.
Dari kisah sahabat Ma’iz di atas, dan prosesi pengampunan dosa di gereja Katolik, dapat diketahui dengan jelas beberapa perbedaan dalam pengampunan dosa. 1) Dalam ajaran Islam, Rasulullah ataupun Ulama sebagai pengganti beliau, tidak perlu mengetahui bentuk dosa pelaku maksiat, sedangkan dalam ajaran Kristen Katolik sang Romo berhak mengetahui dosa apa yang telah diperbuat pelaku maksiat, 2) Dalam ajaran Islam, yang berhak mengampuni dosa hanya Allah swt., dengan permohonan langsung kepada Allah, tanpa perlu perantara, sedangkan dalam ajaran Kristen Katolik yang memberikan ampunan mutlak adalah Romo, sebagai mediator antara pelaku maksiat dengan Tuhan, tetapi vonis akhir bahwa dosa telah terampuni dikeluarkan langsung dari lisan sang Romo yang seolah-olah pengganti Tuhan.
Perbedaan seperti inilah yang disebut Al-Quran bahwasanya pengikut agama Kristen menjadikan sesama manusia sebagai tuhan lain selain Allah, yang menunjukkan perbedaan mendasar antara ajaran agama Islam dan Kristen, sebagaimana termaktub pada ayat-ayat berikut.
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah (QS At-Taubah [9]: 31)
وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَابًا مِّنْ دُونِ اللّهِ
“…dan tidak (pula) sebagian kita (sesama manusia) menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah” (Q.S. Ali Imran [3]: 64)
Leave a Comment