| 0 Comments | 46 Views
Karya: Eko Suhendro, M.Pd.
Dolanan anak Indonesia bukan sekadar aktivitas bermain, melainkan jejak panjang peradaban yang hidup, bergerak, dan diwariskan lintas generasi. Ia menjadi living cultural heritage yang memuat nilai sosial–emosional, spiritual, ekologis, estetika, serta kebhinekaan budaya yang membentuk karakter anak sejak usia dini. Di dalam setiap syair, gerak tubuh, aturan permainan, hingga penggunaan ruang alam, tersimpan filosofi pendidikan yang tak lekang oleh perubahan zaman.
Nilai sosial–emosional tercermin melalui kerja sama, empati, dan kemampuan menyelesaikan konflik yang muncul secara alami ketika anak berinteraksi dalam permainan kelompok. Nilai spiritual hadir melalui lirik, doa, atau simbol-simbol lokal yang merefleksikan kedekatan manusia dengan Sang Pencipta. Dimensi ekologis tampil dalam cara permainan memanfaatkan unsur alam—tanah, air, angin, cahaya—sebagai ruang belajar yang menghubungkan anak dengan lingkungannya. Kepekaan terhadap estetika tumbuh melalui ritme, gerakan, nyanyian, dan pola visual tradisional. Sementara nilai kebhinekaan budaya muncul dari keberagaman permainan yang berbeda di tiap daerah, memperkaya identitas kolektif sekaligus menanamkan toleransi sejak dini.
Keistimewaan Indonesia terletak pada kekayaan rekam jejak manuskrip historis yang mendokumentasikan permainan anak secara sistematis—suatu warisan yang tidak dimiliki banyak negara. Tradisi penulisan tentang dolanan bukan hanya mencatat permainan, tetapi juga menggambarkan ekosistem sosial tempat permainan itu hidup.
Beberapa manuskrip penting tersebut antara lain:
• Serat Centhini Jilid 2 (Paku Buwana V, 1814), yang memuat deskripsi permainan rakyat dalam konteks ritual, keseharian, dan pendidikan tradisional.
• Dolanan Bocah (Javanesche Kinderspelen) karya Prawira Winarsa (1912), katalog awal permainan anak Jawa beserta makna filosofis, struktur gerak, serta lirik-lirik dolanan.
• Serat Rarya Saraya (K.P.A. Koesoemadiningrat, 1913), dokumen yang menyingkap jenis permainan perempuan dan laki-laki dalam budaya keraton dan masyarakat luas.
• Javaansche Meisjesspelen en Kinderliedjes oleh H. Overbeck (1930), salah satu referensi kolonial terlengkap mengenai permainan dan lagu anak Jawa, disertai catatan etnografis yang detail.
• Jongensspelen dan Meisjesspelen karya J. L. Moens (1930), studi sistematis yang mengklasifikasi permainan berdasarkan fungsi sosial, ruang bermain, serta perkembangan motorik anak.
• Dolanan ing Klaten (Mangonprawiro, 1942), dokumentasi lokal yang menghubungkan permainan dengan ekologi pedesaan serta praktik keseharian masyarakat agraris.
Rangkaian manuskrip tersebut menegaskan bahwa dolanan anak bukan hanya tradisi lisan, tetapi tradisi ilmiah yang dicatat, ditafsir, dan diwariskan. Ia menggambarkan bagaimana masyarakat Nusantara memahami pendidikan anak sebagai proses holistik yang mengintegrasikan tubuh, pikiran, budaya, dan alam.
Di tengah tantangan modernisasi dan disrupsi digital, kebangkitan kembali dolanan anak menjadi agenda penting untuk menguatkan identitas budaya sekaligus memperkaya strategi pendidikan. Menghidupkan kembali manuskrip, mengajarkan permainan tradisional, dan menata ruang publik ramah anak adalah langkah strategis untuk memastikan bahwa warisan ini tetap relevan bagi generasi masa depan.
Karya ini hadir sebagai ajakan untuk melihat bahwa bermain bukanlah aktivitas sederhana; ia adalah pintu masuk memahami jiwa bangsa, merawat akar budaya, dan membangun masa depan yang berakar pada kearifan lokal. Dolanan anak adalah budaya hidup—dan selama ia dimainkan, budaya itu akan terus bernapas.
Leave a Comment