| 0 Comments | 8 Views
Di era digital seperti sekarang, semakin jarang kita melihat anak-anak bermain di luar rumah. Padahal, beberapa dekade lalu, halaman rumah dan tanah lapang adalah ruang riuh penuh tawa, tempat anak-anak bermain gobak sodor, egrang, engklek, dan masak-masakan. Kini, permainan itu perlahan tergantikan oleh layar ponsel dan game daring yang membuat anak-anak lebih banyak duduk diam daripada berinteraksi langsung dengan teman sebaya.
Permainan tradisional seperti masak-masakan memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar aktivitas bermain. Ia adalah bentuk pendidikan alami yang menanamkan nilai kebersamaan, kreativitas, kerja sama, dan tanggung jawab sosial. Anak-anak belajar membangun komunikasi, berbagi peran, dan menyelesaikan tugas bersama. Di sinilah karakter sosial, empati, dan rasa saling menghargai mulai tumbuh.
Lebih dari itu, dolanan tradisional mengajarkan kreativitas dan imajinasi tanpa batas. Dengan bahan seadanya seperti tanah, daun, dan kaleng bekas, anak-anak menciptakan dunia kecil yang sarat makna. Mereka belajar berpikir kritis, memecahkan masalah sederhana, dan mengasah keterampilan motorik halus. Semua proses itu berlangsung alami tanpa tekanan, berbeda jauh dengan lingkungan digital yang serba instan.
Menjaga dolanan anak berarti menjaga kearifan lokal. Setiap permainan mengandung filosofi hidup masyarakat: kesederhanaan, gotong royong, dan cinta terhadap alam. Ketika permainan tradisional dilestarikan, kita sejatinya sedang mempertahankan identitas bangsa dari arus homogenisasi budaya global yang kian kuat.
Kini saatnya masyarakat dan lembaga pendidikan menghidupkan kembali dolanan tradisional di lingkungan sekolah dan rumah. Guru dan orang tua dapat menjadikan permainan tradisional sebagai bagian dari pembelajaran kontekstual yang menyenangkan, sarat nilai budaya, dan relevan dengan Profil Pelajar Pancasila. Anak tidak hanya belajar bermain, tetapi juga belajar hidup dalam harmoni dengan sesama dan alam.
Leave a Comment