| 0 Comments | 14 Views

Card Image

Dari dolanan anak yang tertawa dan bernyanyi, lahirlah generasi yang beradab, beriman, dan mencintai budayanya

Menghidupkan Dolanan Anak Jawa: Warisan Budaya untuk Pendidikan Islam Holistik di PAUD

“Dolanan bukan sekadar permainan—ia adalah wahana penanaman nilai, pewarisan budaya, dan pembentukan jiwa anak sejak dini.”

Mengapa Dolanan Anak Perlu Diangkat Kembali?

Di tengah derasnya arus modernisasi dan dominasi media digital, permainan tradisional anak seperti cak ingkling, sluku-sluku bathok, dan cublak-cublak suweng semakin jarang dijumpai di lingkungan anak-anak Indonesia. Padahal, dolanan anak bukan sekadar hiburan masa lalu. Ia merupakan artefak budaya yang merekam nilai-nilai luhur bangsa sekaligus menjadi wahana edukasi yang sarat makna sosial, emosional, bahkan spiritual.

Dalam konteks Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dolanan anak dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan holistik yang mengembangkan dimensi kognitif, motorik, afektif, sosial, dan keagamaan anak secara simultan. Melalui permainan, anak belajar mengenali diri, berinteraksi dengan sesama, dan memahami nilai-nilai kehidupan secara alamiah.

Studi Naskah Klasik: Dari Serat Centhini hingga Dolanan ing Klaten

Sebuah penelitian filologis dan etnopedagogis terbaru telah mengeksplorasi enam naskah klasik Jawa yang merekam ragam dolanan anak sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Keenam naskah tersebut adalah:

  • Serat Centhini (1814) – merekam permainan dan tembang spiritual

  • Javanesche Kinderspelen (1912) – dokumentasi sistematik permainan anak

  • Serat Rarya Saraya (1913) – narasi dolanan dalam budaya keraton

  • Javaansche Meisjesspelen en Kinderliedjes (1930) – fokus pada permainan dan lagu anak perempuan

  • KBG 926–928 (1930) – klasifikasi dolanan anak dan struktur sosial

  • Dolanan ing Klaten (1942) – praktik permainan di masa penjajahan

Dari keenam naskah tersebut, ditemukan bahwa dolanan anak bukan hanya permainan bebas, melainkan bentuk sistematis pembelajaran nilai. Mulai dari kerja sama, disiplin, tanggung jawab, hingga spiritualitas melalui narasi-narasi penuh makna.

Integrasi Nilai Islam: Tauhid, Tazkiyatun Nafs, dan Fitrah Bermain

Menariknya, sebagian besar permainan tradisional Jawa sarat dengan nilai-nilai Islami yang selaras dengan konsep tauhid, tazkiyatun nafs, dan rahmah. Permainan seperti sluku-sluku bathok mengajak anak bertafakur dan menenangkan hati. Petak umpet (dhelikan) menanamkan nilai kejujuran dan amanah. Sementara gobag sodor dan jamuran melatih kepemimpinan, ukhuwah, serta sikap sportif dan sabar.

“Dolanan adalah bentuk ibadah sosial dalam Islam jika dilakukan dengan niat baik dan sarat nilai.”

Dalam hadis, Rasulullah ﷺ memberi ruang bagi cucu-cucunya bermain bahkan di sela ibadah. Ini menjadi dasar bahwa bermain adalah bagian dari fitrah anak yang perlu diarahkan, bukan ditekan. Oleh karena itu, dolanan anak dapat diangkat sebagai instrumen pembentukan akhlak melalui proses yang menyenangkan dan penuh kasih.

Mengapa Perlu Dihidupkan dalam Kurikulum PAUD?

Penelitian ini menghasilkan model konseptual pendidikan PAUD yang memadukan warisan budaya dolanan dengan nilai-nilai Islam secara kontekstual. Dalam model tersebut, dolanan anak digunakan sebagai bahan ajar tematik, basis pengembangan karakter, hingga strategi penanaman nilai spiritual.

Sayangnya, integrasi dolanan anak dalam PAUD saat ini masih bersifat insidental dan tergantung inisiatif guru. Tidak ada kerangka kerja baku atau indikator formal untuk menilai nilai-nilai yang diajarkan melalui permainan. Oleh karena itu, perlu dorongan dari institusi pendidikan, akademisi, dan pembuat kebijakan untuk merekonstruksi warisan dolanan sebagai bagian dari kurikulum resmi.

Arah Baru Pendidikan Islam Berbasis Budaya

Dolanan anak Jawa mengajarkan bahwa pendidikan tidak harus selalu formal dan teoritis. Justru dalam bentuk-bentuk sederhana dan menyenangkan inilah, nilai-nilai terdalam tentang kehidupan, iman, dan adab dapat ditanamkan. Dengan pendekatan ini, anak tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial.

“Dari dolanan anak yang tertawa dan bernyanyi, lahirlah generasi yang beradab, beriman, dan mencintai budayanya.”


Leave a Comment