| 0 Comments | 18 Views
Dalam diam menara menyimpan suara,
tak berkata, tapi mengerti sejarah dan luka.
Istanbul adalah kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Tapi beberapa bagiannya justru paling jujur saat malam tiba. Salah satunya: Galata Tower. Malam itu, aku berjalan kaki dari arah Taksim Square, menanjak pelan melalui gang-gang kecil berlapis batu tua. Taksim (dalam bahasa Arab: pembagian) adalah alun-alun utama dan kawasan pusat di kota Istanbul, Turki, yang sangat terkenal baik di kalangan warga lokal maupun turis.
Dari kejauhan, siluet menara itu berdiri diam—tapi rasanya seperti sedang memperhatikan siapa pun yang mendekat. Galata Tower tidak lagi jadi titik tertinggi di Istanbul. Tapi aura sejarahnya tak pernah tergantikan. Ia seperti kakek tua yang telah menyaksikan terlalu banyak hal: gempa, penaklukan, revolusi, pariwisata, dan barangkali juga cinta yang putus di bangku-bangku sekitarnya. Menara ini bukan sekadar bangunan, tapi semacam simpul waktu.
Begitu aku tiba di area sekeliling menara, suasana sudah tenang. Tak banyak turis. Beberapa pasangan muda duduk di tangga, ada yang menyanyi pelan, ada yang hanya diam sambil memandangi menara. Kafe-kafe kecil masih buka, tapi dengan lampu yang diredupkan. Kehidupan malam di sini tidak riuh. Ia lebih mirip perenungan.
Aku duduk di bangku batu tak jauh dari kaki menara. Di depanku, Galata berdiri kokoh, dindingnya tersorot lampu kuning hangat. Cahaya itu membuat retakan kecil pada batu tua menjadi tampak. Tanda-tanda umur. Tapi justru di situlah keindahannya: bangunan ini tidak menutupi usia, malah merayakannya.
Menara ini dibangun pertama kali oleh bangsa Genoa pada abad ke-14, ketika kawasan ini masih disebut Galata, koloni Kristen yang hidup berdampingan dengan Konstantinopel yang Bizantium. Setelah kota ini jatuh ke tangan Sultan Mehmed II, menara ini terus berganti fungsi—dari pengawas pelabuhan, menara api, penjara, hingga titik observasi angin.
Malam itu aku merasa sedang duduk bersama sejarah. Tidak membacanya dari buku, tapi menyerapnya dari udara. Setiap tiupan angin seolah membawa serpih kenangan: tentang Helvacı yang menjajakan manisan di bawah menara; tentang penjaga menara yang dulu menyalakan api sebagai sinyal; atau bahkan tentang Hezarfen Ahmed Çelebi yang konon terbang dari puncak menara menuju Üsküdar dengan sayap buatannya.
Bayangkan, di tempat yang sama, ratusan tahun lalu, seorang manusia mencoba terbang. Istanbul seakan selalu punya ruang bagi yang nekat dan bermimpi. Menara ini jadi saksi, bukan penentu. Ia tidak berteriak, tapi selalu melihat.
Di sekelilingku, suara mulai mereda. Sebagian kafe menutup. Pengunjung mulai turun satu per satu. Tapi aku tetap duduk. Entah kenapa, malam di sini bukan sesuatu yang ingin segera aku tinggalkan. Rasanya seperti sedang bercakap tanpa kata dengan tempat yang lebih tua dari seluruh keturunanku.
Galata di malam hari tidak menunjukkan kemegahan. Tapi justru dalam kesederhanaan itu ia mengajarkan sesuatu: bahwa kokohnya bangunan bukan dari tinggi atau desainnya, tapi dari kesetiaannya pada waktu. Menara ini tidak lari dari zaman. Ia tidak memilih masa mana yang ia cintai. Ia menerima semuanya.
Aku memandangi langit di atas menara. Awan bergerak pelan. Bulan separuh muncul di sisi barat. Aku membayangkan: berapa banyak orang yang pernah berdiri di tempat ini dan melihat langit yang sama? Berapa banyak doa, harapan, dan rahasia yang pernah disandarkan ke dinding batu itu?
Istanbul adalah kota dengan terlalu banyak lapisan. Tapi di Galata Tower, lapisan-lapisan itu seperti dilipat menjadi satu simpul sunyi. Ia bukan Hagia Sophia yang megah, atau Masjid Biru yang ramai. Tapi ia adalah saksi. Dan kadang, saksi adalah peran paling jujur dalam sejarah.
Aku sempat bertemu sepasang lansia Turki yang duduk tak jauh dariku. Mereka tidak banyak bicara. Hanya sesekali saling menatap, lalu kembali menunduk. Mungkin mereka hanya ingin menghabiskan waktu bersama Galata, seperti dua sahabat lama yang tak butuh percakapan. Pemandangan itu membuatku diam agak lama.
Malam terus bergeser. Lampu-lampu jalan satu per satu meredup. Tapi Galata tetap berdiri, seperti biasa. Seolah menegaskan bahwa waktu boleh berganti, tapi ia tetap di sini, mengingat semuanya—yang baik, yang buruk, yang gila, yang biasa-biasa saja.
Aku bangkit dari duduk. Pelan-pelan berjalan turun melewati gang sempit berbatu. Rasanya seperti meninggalkan sesuatu yang hidup. Tapi juga tahu bahwa ia tidak benar-benar pergi. Karena tempat seperti Galata Tower tidak tinggal di foto atau di catatan perjalanan. Ia tinggal dalam cara kita memaknai waktu setelahnya.
Dan malam itu, Galata Tower tidak memberiku pelajaran besar. Tapi ia membisikkan satu hal yang akan terus kuingat: bahwa diam pun bisa mengawasi, dan yang berdiri lama—meski tak bicara—selalu punya sesuatu untuk diajarkan.
Leave a Comment