| 0 Comments | 30 Views

Card Image

Depan Masjid Hagia Sophia, 03 Dec 2023

Di kota tua ini langkahku beku,

tapi hatiku mencair di hadapan dua sejarah yang saling menunggu.

 

Siang itu, langit Istanbul seperti lukisan kelabu yang tenang. Angin musim dingin menyelinap lewat sela-sela syalku, menusuk tapi tidak mengusirku dari niat jalan kaki. Aku sedang safar, dan dalam status musafir yang sah menurut fiqih—jarak sudah lebih dari 85 kilometer dari kampung halaman, dan niat keluar kota juga jelas. Maka shalatku boleh diringkas dan dijamak. Tapi langkah-langkah kakiku ke arah Masjid Biru dan Hagia Sophia tetap terasa utuh.

Aku datang dari arah Sultanahmet, menyusuri jalan batu tua yang sepertinya sudah dilalui jutaan kaki dari berbagai abad. Dari kejauhan, Masjid Biru memanggilku dengan enam menara menjulang, seolah hendak merangkul langit. Di sisi lain, Hagia Sophia berdiri tenang, seperti ibu tua yang menyimpan ribuan rahasia di balik mata senyapnya. Keduanya menunggu dengan diam yang agung.

Suhu siang itu mungkin sekitar 7 derajat. Tapi di tengah hawa dingin itu, keramaian turis membuat suasana tetap hangat. Sebagian pakai jaket tebal, sebagian lain memegang roti simit dan teh panas. Aku menyusup ke antara mereka, bukan untuk berfoto, tapi untuk mengamati bagaimana bangunan bisa hidup bukan karena temboknya, tapi karena narasi yang terus digendongnya.

Saat masuk ke Masjid Biru, sepatu dilepas, kaki dingin menyentuh karpet yang empuk. Shalat dzuhur baru saja usai. Ada ketenangan yang aneh—mungkin karena aku tahu, shalatku yang dua rakaat barusan bukan bentuk kemalasan, tapi justru ketaatan. Fiqih membolehkan musafir untuk meng-qashar shalat, bukan untuk menyederhanakan ibadah, tapi agar perjalanan tidak jadi alasan meninggalkannya. Di tengah udara dingin dan bahu yang mulai pegal karena ransel, aku bersyukur fiqih Islam selalu punya ruang untuk realitas.

Langit-langit Masjid Biru tetap memesona. Ubin birunya seperti mendekatkan langit ke tanah. Aku duduk lama di pojok saf, hanya untuk meresapi irama zikir para pengunjung. Ada yang turis sekadar kagum, ada yang jamaah Turki yang khusyuk, ada juga yang tampak seperti aku—berusaha memahami, bukan sekadar melihat. Nama "Masjid Biru" (Blue Mosque) sebenarnya adalah julukan dari wisatawan asing karena interiornya yang dihiasi lebih dari 20.000 ubin keramik biru dari İznik, yang mendominasi ruang dalamnya. Namun nama resminya adalah Masjid Sultan Ahmed – dinamai sesuai nama pendirinya, Sultan Ahmed I, yang membangunnya antara tahun 1609–1616 M.

Keluar dari Masjid Biru, aku menghela napas panjang. Udara dingin langsung menyerbu wajahku. Tapi di seberang sana, Hagia Sophia seperti memanggil. Langkahku menyeberangi pelataran, dan aku kembali merasa kecil. Bukan karena bangunannya tinggi, tapi karena kisahnya dalam. Di sinilah sejarah Bizantium bertemu Islam, lalu berlapis-lapis cerita dari kekaisaran hingga republik.

             nampak 2 kubah Masjid Biru dan Hagia Sophia


Begitu masuk, suasananya langsung berbeda. Hagia Sophia lebih gelap, lebih berat, tapi bukan dalam arti negatif. Ia seperti perpustakaan tua yang menyimpan catatan-catatan hidup manusia lintas iman. Di atas, mosaik Bunda Maria masih menatap. Di bawah, karpet hijau baru menyambut para musafir yang ingin bersujud. Sekilas terasa ganjil, tapi aku ingat bahwa Islam itu luas. Bahwa sujud bisa terjadi di tempat yang pernah mengumandangkan doa dengan bahasa dan kiblat berbeda.

Azan ashar bergema saat aku masih berdiri di tengah ruang utama. Suaranya menggema ke segala arah. Aku ragu, apakah shalat di sini atau mencari tempat yang lebih hangat? Tapi fiqih kembali menyapa: "Jika engkau musafir, maka shalatmu diberi keringanan." Aku memilih menjamak. Nanti maghrib bisa dijamak ta’khir sekalian, biar tidak perlu kedinginan dua kali. Rasanya seperti diberi ruang oleh agama untuk bernapas.

Aku keluar dengan langkah ringan. Matahari sudah miring, meski belum benar-benar tenggelam. Tapi hari terasa panjang. Bukan karena waktu, tapi karena isi kepala dan hati yang terlalu penuh. Masjid Biru dan Hagia Sophia tak sekadar bangunan. Mereka seperti dua pintu berbeda yang mengarah ke ruangan yang sama: ruang kontemplasi, ruang pengakuan bahwa sejarah dan agama tidak selalu bersih, tapi bisa saling mengobati.

Dalam langkah pulang ke hostel, aku berhenti sejenak melihat jaketku yang mulai menyerap dingin. Tapi hati terasa hangat. Aku ingat pelajaran dari guru-guru fiqih: bahwa agama tidak datang untuk memberatkan, tapi untuk memudahkan. Bahkan dalam safar, dalam dingin, dalam lelah—Allah tidak ingin kita membebani diri. Tapi juga tidak ingin kita mengabaikan-Nya.

Mungkin itulah yang kurasakan hari itu. Di antara dua bangunan besar, di antara shalat dua rakaat dan jamak dua waktu, di antara kaki yang lelah dan hati yang penuh—aku merasa disapa oleh Tuhan. Bukan lewat suara, tapi lewat suasana. Lewat dingin yang tak sampai menggigilkan. Lewat kemegahan yang tak membuat takut. Dan lewat fiqih yang memeluk, bukan menuntut.

Kalau suatu hari nanti aku kembali, mungkin musimnya akan berbeda. Tapi pelajaran hari ini akan tetap sama: bahwa menjadi musafir bukan berarti kehilangan arah. Justru dalam perjalanan, aku menemukan kembali kiblat yang sesungguhnya—bukan hanya arah shalat, tapi arah hidup.




Leave a Comment