| 1 Comments | 1049 Views
panjimasyarakat.com Seorang mahasiswa bertanya kepada dosen, “Pak, setelah meninggal, di mana tempat orang-orang non Muslim yang telah berjasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga karya-karya mereka banyak dinikmati seluruh umat manusia. Apakah nanti mereka berada di surga atau neraka?” Apakah saat ini ketika di alam barzakh mereka tidur dengan damai karena mendapat kiriman amal dari karya-karya mereka, atau mereka sedang mengalami pengalaman pahit dengan malaikat penjaga kubur?” Jika mereka tergolong ahli neraka karena keimanannya, berarti Tuhan tidak adil, bukankah jasa mereka sangat bermanfaat bagi umat manusia!
Demi menjawab pertanyaan ini, sang dosen hanya mengajak mahasiswanya untuk menyimak kembali sirah nabawiyah (biografi Nabi Muhammad) terutama yang berkenaan dengan paman beliau, Abu Thalib. Abu Thalib sangat menyayangi Rasulullah saw. Sejak Nabi Muhammad berusia 8 tahun sang paman sudah mengasuhnya, demi menjalankan amanat ayahanda sang paman, Abdul Muthalib, sebelum beliau meninggal dunia. Sang paman yang dalam riwayat tidak mau menerima ajakan Nabi Muhammad untuk memeluk Islam hingga akhir hayatnya, ia tetap melindungi beliau, bahkan rela mengorbankan nyawa sekalipun demi kemenakan tercinta. “Kalian tidak akan dapat menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku” begitu di antara ucapan pembelaan sang paman kepada kemenakannnya. Dukungannya terhadap dakwah kemenakannya pun total, ketika Nabi Muhammad akan menyampaikan risalah kenabian untuk pertama kalinya di hadapan Bani Hasyim meskipun dihujat oleh Abu Lahab, “berdirilah dan katakanlah apa yang akan engkau katakan. Sebarkan misi Tuhanmu, karena engkau adalah Al Amin,” demikian sang paman membesarkan hati kemenakannya.
Meskipun demikian berjasa pembelaan sang paman terhadap kemenakannya dan agama Islam, tetap saja dalam riwayat hadis yang shahih sang paman akan berdiam di neraka, meskipun dengan siksaan yang terringan karena enggannya sang paman untuk mengikuti agama yang didakwahkan pamannya tersebut.
Siksa yang paling ringan bagi penduduk neraka adalah siksaan terhadap Abu Tholib, yaitu ia memakai sandal yang membuat otaknya mendidih (HR Muslim:317)
Dari kisah ini, setidaknya ada beberapa pelajaran yang kita petik. Meskipun betapa besar jasa seseorang bagi umat manusia, jika ia tidak beriman kepada Allah dan Nabi terakhir-Nya, Muhammad saw., ia tetap tidak dapat menerima surganya Allah. Jika dilihat dari jasanya, Abu Thalib termasuk orang yang memiliki andil besar dalam penyebaran Islam pada periode awal di Mekah, sebagai cikal bakal tersebarnya agama Islam secara universal hingga saat ini. Betapa besar jasa Abu Thalib untuk menegakkan agama Islam yang juga bisa kita rasakan hingga negara kita saat ini. Bukankah itu hasil jerih payah pengorbanan sang Paman? Lantas, mengapa sang Paman tetap berada di neraka?
Marmara Universitesi, Turkey
Menganggap non Muslim sebagai penghuni neraka, bukan keniscayaan
Meskipun demikian, Islam tidak pernah mengajarkan kepada pemeluknya untuk memandang sebelah mata kepada non muslim. Nabi Muhammad biasa bergaul dengan pemeluk agama lain selagi mereka tidak menyakiti, melukai, atau memerangi umat Islam. Humanisme tetap dijunjung tinggi. Adalah sebuah kesalahan jika di dunia ini kita memandang rendah mereka hanya karena beda keimanan, bahkan sampai mengklaim mereka sebagai penghuni neraka.
Ketegasan masuknya non-muslim ke neraka hanya bisa diyakini jika sampai akhir hayat mereka tidak mengubah agamanya menjadi agama Islam. Posisi non muslim berada di neraka baru bisa dipastikan ketika mereka meninggal dunia. Mengenai hal ini, kembali bisa kita lihat bagaimana peristiwa Abu Thalib menjelang kematiannya.
Dikisahkan oleh Musayyab bin Hazan yang redaksi lengkapnya tertulis dalam Ath-Thabaqat al-Kubro karya Ibn Sa’ad, al-Mu’jam al-Kabir karya Ath-Thobari, dan Shahih Ibn Hibban: Bahwa menjelang kematian sang Paman, Nabi Muhammad saw sebagai kemenakan tercinta ikut hadir di dalam kamar beserta Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah. Menjelang sakaratul maut Abu Thalib, Nabi Muhammad mengajak pamannya untuk mengucapkan kalimat tauhid dengan mengatakan, “Wahai pamanku, ucapkanlah Laa Ilaaha illa Allah, aku akan menjadi saksi dengan ucapan itu di sisi Allah kelak”, tetapi Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah, yang keduanya beragama pagan, penyembah berhala, yang juga berada di kamar itu, mengingatkan agar Abu Thalib tetap mengikuti agama nenek moyang mereka dengan mengatakan “Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci agamanya Abdul Mutholib, bapakmu?”. Sampai nafas terakhir, sang paman memutuskan untuk tetap berada pada agama nenek moyangnya, yakni agama penyembah berhala. Menyaksikan ini, Nabi Muhammad terus menerus memohonkan ampunan kepada Allah untuk paman tercinta, hingga akhirnya turunlah ayat yang melarang akan hal ini:
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS At-Taubah:113)
Juga, untuk menghibur hati Nabi Muhammad, Allah swt menurunkan surat yang khusus membicarakan tentang Pamannya ini:
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS Al-Qasas: 56)
Kisah tentang paman Nabi di atas adalah kisah non muslim yang hingga akhir hayatnya tetap tidak memeluk Islam.
Beda halnya dengan seorang non muslim yang di akhir hayatnya ditutup dengan ucapan tauhid, persaksian keimanan kepada Allah, sebagai pertanda telah memeluk Islam. Untuk yang demikian, mereka mendapat surganya Allah. Kisah non muslim yang demikian terjadi pada pelayan Rasulullah yang sebelumnya beragama Yahudi. Hal ini diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik r.a.
.Anas r.a. berkata, “Ada seorang Yahudi melayani Nabi, kemudian ia jatuh sakit. Maka, Nabi datang menjenguknya, duduk di dekat kepalanya seraya bersabda kepadanya, ‘Masuk Islamlah.’ Lalu, ia melihat ayahnya yang ada di sisinya. Ayahnya berkata kepadanya, ‘Taatilah Abul Qasim saw.’ Lalu ia masuk Islam, kemudian Nabi keluar seraya mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan ia dari neraka.'” (HR Bukhari, Ahmad, dan Baihaqi)
Meskipun sang pelayan Rasulullah ini selama hidupnya beragama Yahudi, tetapi ketika sesaat menjelang wafatnya sempat diakhiri dengan kalimat tauhid, Rasulullah saw dengan wahyu yang didapati melalui Malaikat Jibril, tidak ragu memvonis bahwa tempat pelayan beliau ini adalah di surga.
Bukankah dalam beberapa hadist dinyatakan bahwa menjadi seorang mualaf akan membawa keutamaan / keuntungan yang sangat besar baginya, diantaranya :
- Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu
- Allah akan mencatat semua kebaikan yang telah dilakukan dan akan membalas kebaikan-kebaikan tersebut dengan pahala sebanyak 10 kali lipat hingga 700 kali lipat, sedangkan untuk satu kejahatan yang pernah ia lakukan akan mendapat balasan dengan balasan yang setimpal kecuali jika Allah telah memaafkannya.
Jadi, sangat mungkin kita sebagai muslim sejak lahir lebih banyak dosanya dibanding dengan orang non muslim yang masuk Islam lalu meninggal dunia. Ia akan kembali kepada Allah dengan dosa-dosa yang telah diampuni. Dengan demikian, tidaklah pantas bagi kita sebagai seorang muslim merendahkan non muslim dalam kehidupan sehari-hari, selagi mereka tidak memerangi kita, tidak merampas hak kita, dan tidak memusuhi kita. Apalagi mereka yang hidup berdampingan dengan damai di lingkungan kita.
Mungkin ini yang mendasari Gus Dur, salah satu petinggi PBNU dan mantan Presiden RI, dalam merangkul semua pemeluk agama atas nama humanisme. Ia tidak berani memvonis nonmuslim sebagai penghuni neraka, selagi belum terlihat bagaimana keimanan mereka sebelum wafatnya.
Dari kedua cerita tentang orang-orang yang selama hidupnya dekat dengan Rasulullah ini, yaitu pamannya dan pelayannya, setidaknya dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, Islam adalah satu-satunya agama yang diakui oleh Allah, yang jika seseorang meyakininya dengan ucapan kalimat tauhid “laa ilaaha illa Allah” surga merupakan jaminan baginya di Hari Akhir kelak. Seberapa pun banyak dan bermanfaatnya amal kebaikan seseorang bagi manusia, jika ia tidak melandasinya dengan ketauhidan kepada Allah, dalam hal ini ia tidak memeluk Islam, Allah tetap menempatkannya di neraka. Kedua, Islam agama yang menjunjung tinggi humanisme meskipun terhadap orang yang berbeda agama, selagi mereka tidak memusuhi dan memerangi Islam. Ketiga, Islam melarang pemeluknya mengklaim pemeluk agama lain bertempat di neraka, sebelum mereka benar-benar meninggalkan dunia ini dalam keadaan sebagai non muslim.
Comments
sikap humanisme Nabi Muhammad SAW memang tidak dapat diragukan lagi & bisa menjadi teladan bagi kita semua. VISIT OUR WEBSITE : Tel U
21 Oktober 2022 22:55Leave a Comment